KOSONG.
Akhir-akhir ini, cuaca sangat tidak mendukung. Selalu gerimis di pagi hari dan hujan deras di malam hari. Dingin-nya cuaca pagi ini tidak membuat Wei Wuxian, remaja berusia 18 tahun ini malas berangkat ke sekolah.
Dia adalah salah satu murid kelas III-IPA yang selalu saja malas mengerjakan PR. Setiap hari, kecuali hari minggu, dia akan selalu datang terlambat. Selalu membuat gaduh kelas dan teramat sangat jail. Tapi meski begitu, dia adalah salah satu murid laki-laki yang di sayangi teman-teman sekelasnya. Sejahil apapun tingkahnya, tidak pernah ada teman yang membencinya.
Saat bel berbunyi, dia mulai memasuki kelas. Dia sangat gembira ketika menyapa teman sekelasnya; Lan Wangji.
“WANGJI!!”
Dia menghampiri, “Eh, gimana PR dari Pak Qiren kemarin? Udah kamu kerjain belum?”
Lan Wangji hanya tersenyum. Tidak mengeluarkan sebuah suara. Sebagai gantinya, dia hanya mengangguk.
“Bagus! Aku juga udah. Biasanya aku males. Aku ngga suka mapel Pak Qiren. Tapi karena nilai aku turun terus, aku jadi harus produktif. Kamu juga selalu bantuin aku. Makasih ya.”
Wei Wuxian terus saja bergumam menjelaskan apa pun pada Lan Wangji.
Tak lama kemudian, Jiang Cheng duduk di bangku pojok sebelah kanan-nya. Ia berseru, “Wei Wuxian, PR uda belum?”
Wei Wuxian menjawab dengan wajah tengilnya, “Udah lah! Gila aja belum.”
Jiang Cheng hanya memberikan smirk tipisnya.
“Kayaknya setelah lu kecelakaan sebulan lalu, lu jadi lebih giat belajar ya?”
Wei Wuxian terlihat sangat menggemaskan. Hari ini dia sangat bersemangat.
“Masa sih? Emang sebelumnya gimana?”
“Sebelumnya kan lu males banget. Badung banget. Setiap hari lu telat mulu. Ngerjain PR kalo lagi mood doang.”
Wei Wuxian hanya tertawa.
“Harusnya lo seneng, temen lo sekarang jadi rajin gini.”
Jiang Cheng hanya tertawa kecil. Dia tidak menjawab apapun.
Suasana di kelas itu berjalan dengan seharusnya. Setelah 2 jam berlalu, bel istirahat pun berbunyi.
“Wangji, ke kantin bareng yuk?”
Ajak Wei Wuxian yang tiba-tiba saja bersuara.
Sebelum Lan Wangji menjawab, Jiang Cheng juga tiba-tiba melirik ke arah Wei Wuxian.
“Eh, ngapain lu? Ke kantin bareng yuk? Gue pengen beli gorengan deh.”
“Traktir gak?”
“Iya! Gue traktir deh. Lagian selama sebulan ini gue gak jajan bareng lu. Kangen, dikit. Hahaha.”
“Eh, lu duluan aja deh. Entar gue nyusul.”
Jiang Cheng sedikit bingung. Mereka seharusnya ke Kantin bersama.
“Lah, kenapa?”
Wei Wuxian mendekat dan berbisik ke dekat telinga Jiang Cheng.
“Gue mau ngobrol bentar sama Wangji. Dia keliatan aneh bgt hari ini.”
Jiang Cheng yang mendengar bisikan halus itu seketika kaget.
“Maksud lo? Lan Wangji?”
Wei Wuxian hanya menjawab dengan polos.
“Iya. Noh liat. Aneh banget kan dia dari tadi diem aja. Gue ajak ngobrol dari pagi tapi cuma di senyumin doang.”
Jiang seketika menoleh kearah tempat duduk Lan Wangji. Setelahnya, dia melihat wajah Wei Wuxian. Hal itu dia lakukan beberapa kali yang tentu saja membuat Wei Wuxian bingung.
“Eh, lu apaan dah. Aneh banget abis ngeliatin Wangji ngeliatin gue.”
Jiang Cheng tidak bisa berkata-kata lagi. Dia bingung sekaligus merasa heran.
“Lu yakin? Lu yakin disitu ada orangnya?”
“Hah? Maksud lo?”
Wei Wuxian merasa Jiang Cheng saat ini sedang bercanda.
“Hahaha .. Ya adalah. Kan di sebelah gue cuma ada lo sama Wangji doang dari kita setahun lalu. Posisi tempat duduk kita juga ngga boleh pindah-pindah kan? Gimana sih lo, Cheng.”
Wei Wuxian masih saja menganggap Jiang Cheng sedang bergurau.
Jiang Cheng hanya sanggup tercenggang. Saat itu juga Jiang Cheng mengatakan;
“Wei Wuxian.. Lan Wangji uda meninggal.”
“Hah? Apaan sih anjir. Orang dia masih di sebelah gue. Semalem aja dia masih dateng kerumah gue. Bahkan kita ngerjain PR bareng beberapa hari lalu. Ngaco lo ah. Males gue.”
Saat itu juga, Jiang Cheng menggenggam tangan Wei Wuxian. Mengajaknya keluar kelas menuju Mading sekolah.
Mading sekolah; Tempat untuk meletakkan segala informasi penting yang berhubungan dengan pendidikan, lomba, dan berbagai acara sekolah termasuk informasi penting lainnya mengenai perkembangan setiap murid di sekolah.
Jiang Cheng menarik pergelangan tangan Wei Wuxian dengan jantungnya yang berdebar. Setelah sampai di depan Mading, Jiang Cheng membiarkan Wei Wuxian melihat dan menamati apa yang ada di depan matanya. Apa yang saat ini di lihatnya.
“Nih. Lo baca dah tuh.”
Wei Wuxian membaca secara perlahan setiap info yang ada. Hingga saat dia ingin memalingkan wajahnya ke Jiang Cheng, ia melihat dengan jelas di bagian atas Mading. Tertempel jelas foto close up Lan Wangji memakai seragam sekolahnya. Disitu, tertulis dengan sangat jelas bahwa;
Reace In Peace
Our beloved student,
Lan Wangji Class III-IPA Thursday, October 31, 2021
Seketika, jantung Wei Wuxian terasa seperti ditarik paksa. Seluruh tubuhnya terasa kaku. Kaki tangan-nya terasa dingin. Wajahnya pucat pasi. Dia tidak percaya. Tidak ingin percaya tapi kenapa airmata-nya jatuh tanpa suara?
Jiang Cheng tahu Wei Wuxian akan menangis. Dia segera memeluknya.
“Jangan nangis. Dia udah nyelametin elo.”
Tentu saja. Wei Wuxian akan terus menangis. Bahkan, dia tidak bergerak sedikit pun dari tempat dimana dia berdiri saat ini.
Lan Wangi adalah satu-satunya murid yang selalu bersikap baik padanya. Selalu memberikan senyum hangatnya. Dia satu-satunya orang yang selalu berdiri di depan rumah Wei Wuxian setiap jam 6 pagi. Menjemputnya agar dia tidak selalu terlambat. Dia satu-satu nya orang yang rela menunggu nya saat dia mendapatkan hukuman berlari memutari lapangan 20 kali. Lan Wangji adalah satu-satunya yang rela membasahi tubuhnya demi menanggalkan tas miliknya untuk melindungi dirinya dari rintikan hujan. Lan Wangi adalah satu-satunya yang selalu tersenyum saat bersamanya.
“Waktu itu, lo hampir aja ketabrak truk di depan sekolah. Dan saat itu juga Wangji dateng nyelametin lo. Lo kelempar 10 meter, kepala lo kebentur. Lo koma sebulan.”
Jiang Cheng menceritakan kisah nyata itu. Sambil memeluk Wei Wuxian yang menangis. Mengelus kepala Wei Wuxian dengan lembut.
“Dia meninggal hari itu juga. Hari itu lo ulang tahun kan? Dan waktu di Rumah Sakit, dia sempet nitipin surat ke gue, katanya buat lo. Setiap hari suratnya gue bawa. Pengen rasanya gue buka, tapi gue gak bisa. Gimana pun juga itu peninggalan terakhir dia buat lo. Dan dua jam setelah itu, dia meninggal. Cuma sisa lo doang yang saat itu koma.”
Wei Wuxian masih menangis di pundak Jiang Cheng. Dia ingin bicara, tapi tidak bisa. Setiap untaian kata terasa berat bersandar di lidahnya.
“Maaf. Maafin gue karena gue baru ngasih tau lo sekarang. Gue kira, lo udah tau. Sampai akhirnya tadi, lo bilang lo ngobrol sama dia? Padahal dia jelas-jelas udah ngga ada.”
Wei Wuxian lemah. Lututnya seperti tak bertulang. Dia gemetar.
“Jangan nangis. Mungkin dia emang mau pamit sama lo.”
Hari itu, adalah hari terberat untuk Wei Wuxian. Entah perasaan apa yang dia punya untuk Lan Wangji, dia tidak tahu. Entah hal apa yang belum tersampaikan, dia juga tidak bisa berfikir.
Hanya air mata dan ke kosongan yang saat ini dia rasa.
Wei Wuxian kini berubah menjadi seorang yang sangat serius. Dia tidak pernah lagi datang terlambat. Tidak pernah lagi mengabaikan tugas sekolah. Bahkan dia lulus dengan nilai tertinggi dari semua murid yang ada di sekolah. Hanya saja, kali ini, dia susah untuk tersenyum. Dia seperti tidak memiliki dunia. Setiap hari dalam hidupnya, dia hanya belajar dan membaca.
Sampai pada umurnya yang ke 25 tahun, ia masih merasakan kekosongan itu. Wei Wuxian menyadari bahwa ia mencintai Lan Wangji.
Hingga pada suatu malam, dia seperti bertemu dengan kerinduannya. Dia sangat merindukan teman sebangku-nya. Dia ingin mengatakan, “Wangji, Lan Wangji, aku suka kamu.” Tapi, kalimat indah itu tidak akan pernah tersampaikan.
Sampai pada suatu malam, ia berjalan di bawah derasnya hujan. Membiarkan hujan menyapu airmatanya. Dan membiarkan dirinya di terbangkan jauh oleh berbagai macam kendaraan yang menghampiri tubuhnya.
FIN.