Bathup and Breakup.


Semilir angin malam menerpa setiap sisi kaca jendela mobil yang terbuka. Asap rokok marlboro yang sedang di keluarkan oleh Feng Xin menembus udara malam itu. Tanpa suara, tanpa canda tawa. Hanya ada diam dan sunyi diantara keduanya.

Feng Xin merasa canggung untuk pertama kalinya, ia memilih untuk diam selama 25 menit perjalanan.

Sedangkan Mu Qing, ia merasa hawa malam ini berbeda dari sebelumnya. Malam ketika dia bersama dengan Feng Xin, adalah malam yang selalu ia nantikan. Malam bersama dengan Feng Xin adalah malam terindah selama 5 tahun mereka menjalin hubungan. Sekalipun, tidak pernah Feng Xin meragukan dia.

Sekalipun, Feng Xin tidak pernah membuatnya menangis atau kecewa. Bahkan, Feng Xin adalah satu-satunya manusia yang selalu membuatnya bahagia. Tapi, menit dan detik ini juga, semuanya terasa berbeda. Senyum dan canda tawa seperti musnah. Raut wajah bahagia, dan candu tawa yang biasa terdengar oleh kedunya seperti sirna seolah-olah semesta melarang dirinya untuk mendengar semua kebiasaan mereka berdua.

Sesampainya di apartment Feng Xin, Mu Qing memberanikan dirinya untuk sekali lagi bertanya. “Kenapa?” – sambil menutup pintu apartment milik Feng Xin. Menatap punggung badan Feng Xin seolah-olah menunggu sebuah jawaban pasti.

“Hm?” – Feng Xin hanya memberikan jawaban itu sambil menoleh ke arah Mu Qing tetap berdiri.

“Lo aneh banget hari ini. Gue bikin salah kah? Tolong, kasih tau.”

Feng Xin hanya memberikan smirknya pada Mu Qing. Ia berjalan pelan mendekati Mu Qing.

“Apa? Ngomong yang jelas, Mu Qing.”

Mu Qing menundukkan kepalanya. Menatap dinginnya lantai apartment. Apakah sedingin hatinya saat ini? Tak tahu. Entahlah. Mu Qing hanya sanggup diam dan berkaca-kaca. Memegang pucuk dagu Mu Qing. Menengadahkan pandangan Mu Qing hanya pada dirinya, Feng Xin.

“Gue cinta banget sama lo, Mu Qing.”

Mu Qing sedikit terkejut. Hatinya bahagia sanpai airmatanya jatuh setetes demi setetes.

“Lo jahat! Lo ngga kaya biasanya. Bikin gue takut tau gak lo.” – sambil menepuk-nepuk dada Feng Xin.

“Terus. Sebutin semua kebodohan dan kejahatan gue. Sebutin semua yang lo rasain tentang gue. Semuanya!”

Mu Qing merasa sesak. Dia tidak tahu harus mengatakan apa selain kata “jahat”. Kecuali hari ini, Feng Xin tidak sekalipun melakukan sesuatu yang buruk padanya. Dia selalu memperlakukan Mu Qing dengan indah dan bahagia. Setiap kali dia bersama dengan Feng Xin, dia akan merasa seperti satu-satunya manusia yang diperlakukan istimewa oleh dewa.

“Jangan nangis. Gue gak mau kesayangan gue netesin airmata. Bahkan sekalipun lo bahagia, lo dilarang Feng Xin buat nangis.”

“Kenapa? Kenapa gue bahagia pun gak boleh nangis?”

“Karena airmata lo seperti airmata surga buat gue. Satu tetes aja airmata lo yang jatuh, itu ngebuat hati gue hancur, Mu Qing.”

Kata-kata itu, kalimat indah itu, membuat Mu Qing terpana untuk sesaat. Sesaat sebelum bibir lembutnya tersentuh oleh bibir panas milik Feng Xin.

Feng Xin mengecup bibir lembut Mu Qing dengan nyaman dan aman. Mengecup, mengecap hingga ciuman itu larut begitu dalam dan basah. Feng Xin mendorong perlahan tubuh Mu Qing masuk kearah kamar mandi. Tidak sedikitpun melepas ciuman basah mereka. Tidak sedikitpun melonggarkan genggaman tangannya pada tubuh Mu Qing.

Erat. Sangat erat seperti tidak akan pernah ia lepas.

“Eungh .. Feng .. Xin .. Sstop.” Namun Feng Xin, masih terus menyesap bibir Mu Qing dan memainkan lidahnya.

“Ahn .. Fenghh .. Anhh ..” Lenguhan itu sangat candu. Membuat Feng Xin semakin gila tak terkendali.

Feng Xin mulai melepas baju milik Mu Qing satu persatu. Membuat kekasihnya itu telanjang bulat di hadapannya. Dan segera menyesap nipple merah milik Mu Qing.

“Eunghh .. Ahnhh .. Fenghh .. Xiingh ..”

Feng Xin berkata dengan lembut di telinga merah Mu Qing.

Ia berbisik begitu manis dan sayang, “Suka? Hm?” – Membuat Mu Qing semakin gelisah.

“Mau main disini ngga? Hm?” – Ah, bisikkan lembut Feng Xin selalu saja menggetarkan hati Mu Qing.

Sebenarnya, dimanapun mereka akan ber’main’, tidak masalah bagi Mu Qing. Selagi yang memainkannya adalah Feng Xin, bermain di bawah kolong tempat tidur pun akan terasa nikmat. – Batinnya.

“Ahhh .. Mu Qing. Gue uda sering mainin lo kaya gini, tapi kenapa lubang lo masih sempit aja sih, hm?” – Shit. Apapun kalimat Feng Xin, jika situasinya adalah Sex, selalu saja bisa membuat Mu Qing semakin mengeras.

“Eunghh .. Fenghh .. Xiinnhh .. Ahnn ..”

“Terus! Terus panggil nama gue. Sebut nama gue. Lo cantik banget kalo lagi moaning kaya gitu. Gue suka.”

Feng Xin sangat suka. Sebegitu sukanya Feng Xin sampai-sampai dia tanpa sadar seperti mengobrak-abrik lubang Mu Qing. Memasuki nya dengan kasar. Menghentakkannya dengan sangat gahar dan kencang. Membuat Mu Qing sesak tanpa bisa menyebut namanya lagi. Hanya erangan-erangan panas yang kini terdengar dari dalam kamar mandi.

Masih di dalam sana. Masih bertaut antara lidah dengan lidah. Masih terhubung antara penis jantan dengan penis mungil keduanya.

Kali ini, Feng Xin berinisiatif untuk menyalakan shower. Membuat dirinya dan Mu Qing basah untuk menambah sensasi sex nya. Air bergemricik jatuh membasahi dan menyapu setiap sperma yang bercecer di atas lantai kamar mandinya. Ah sungguh.

Ini adalah Sex paling indah dan nikmat untuk keduanya di bandingkan sex yang beberapa kali pernah mereka lakukan di atas tempat tidur kekasihnya.


Lima ronde telah selesai. Menyisakan nafas berat antara Feng Xin dan Mu Qing yang masih berada disana. Oh, jangan lupa. Mereka masih telanjang tanpa sehelai pun busana.

Feng Xin perlahan-lahan memantapkan kalimatnya.

“Mu Qing ..”

Hanya di jawab dengan lembut oleh Mu Qing.

“Hm?”

“Ayo putus.”

DEG!

Putus?

Mu Qing mendorong tubuh Feng Xin sedikit kasar, meyiratkan rasa sakit yang baru satu detik lalu ia rasakan.

“Maksut lo?”

Feng Xin tidak bisa memandang wajah Mu Qing. Sekalipun, tidak bisa pula menatap kearah mata Mu Qing.

“Putus. Ayo kita putus. Sampai sini aja hubungan kita.”

Plaak ..

Pukulan ringan itu mendarat tepat di pipi kanan Feng Xin.

“Kita uda kaya gini dan lo mau mutusin gue?”

Sekali lagi Feng Xin diam. Bingung dengan apa yang harus ia katakan. Penjelasan apa yang harus dia berikan.

“Gue gak bisa lagi sama lo. Gue mau nikah. Sama cewek.”

Hancur. Segalanya runtuh. Hati Mu Qing seperti tertusuk ribuan pisau. Jantungnya seperti tertikam ribuan belati. Sakit! Ini teramat sangat sakit.

“Kalo mau mutusin gue, harusnya gak perlu bawa gue kesini. gak perlu kita ngewe disini. Kalo lo mau nikah, harusnya lo langsung aja bilang. Lo mainin gue atau emang gue nya yang bego?”

Kali ini, Feng Xin menatapnya. “Gue tau gue salah. Gue tau itu. Tapi gue gak bisa gak bertanggung jawab. Cewek itu hamil, Mu qing. Dia hamil anak gue.”

DEG!

Plaaakkk ..

Sekali lagi Mu Qing menamparnya. Kali ini tentu saja sangat keras.

“Lo gila??? Lo kenapa bisa ngehamilin anak orang? Lo ngapain aja? Bukannya selama ini lo sama gue?? Lo ..”

Entahlah. Mu Qing tidak tahu lagi kalimat apa yang pantas untuk memaki Feng Xin.

“Gue tau. Gue punya lo tapi waktu itu gue mabok. Gue gak tau kalo gue bakalan seceroboh itu. Waktu itu gue kira dia elo, gue beneran gak sadar Mu Qing. Please maafin gue. Gue harus tanggung jawab.”

Untuk beberapa saat. Ruang kamar mandi itu hening. Tidak ada yang berbicara tidak ada yang memulai kata-kata. Mungkin jika di dengar lagi, hanya terdengar suara detak jantung keduanya.

“Lo jahat.”

“Iya gue tau. Gue jahat. Gue minta maaf. Gue brengsek. Gue gak pantes dapetin maaf dari lo. Gue nyakitin hati lo. Tapi Mu Qing, gue serius gue cintanya sama lo doang.”

Mu Qing hanya diam. Menahan airmata yang ia bendung untuk tidak ia tumpahkan.

“Oke. Kita sampe sini aja.”

Setelah kalimat itu. Mu Qing bangkit dengan tubuh yang masih basah. Berjalan keluar dan mengambil baju milik Feng Xin secara acak. Kemudian memakainya dan pergi keluar meninggalkan apartment milik Feng Xin.

Sedangkan Feng Xin masih terduduk lemah tanpa busana. Menangisi setiap kebodohannya. Menangisi kepergian kekasihnya. Kakinya seperti mati rasa. Tubuhnya seperti melarangnya untuk bergerak. Hanya airmata nya yang terus memaksa keluar untuk menangisi setiap masa lalu yang ia perbuat hingga fatal.


Seminggu berlalu.

Feng Xin dan Mu Qing tidak lagi bertemu bahkan tidak juga saling menghubungi.

Diantara jarak ini, masih terasa bahwa keduanya tetap saling menunggu dan berharap.

Menunggu antara siapa yang akan kembali dan berharap semesta akan meniup kan sekali lagi takdir untuk mereka berdamai.

Tapi sepertinya, cinta diantara mereka tidak lagi di dukung oleh semesta.

Semua rasa yang pernah ada, perlahan juga akan musnah.

FIN.