Dingin.
“Ren, lo ngapain aja seharian di perpus kota?”
“Ya belajar. Nemenin kak Jeffey nyari bahan skripsi. Pas makan doang dia ngajakin gue keluar.”
“Oh gitu. Lo kenal deket sama kating lo itu?”
“Mm, uda kenal lama sih cuma deketnya baru sebulan ini.”
“Ohya? Sama gua, lama’an mana kenalnya?”
“Hahaha, ya sama lo lah, Harfa. Sama lo kenal dari SMP gila.”
“Oh.”
Obrolan singkat itu sedikit memecah suasana. Tidak ada rasa canggung bagi keduanya untuk saling bercerita. Namun, ada sedikit celah di relung hati terdalam milik Harfa saat Reno terlihat merona ketika menyebut nama-nya.; nama orang lain, dan tentu saja bukan dia.
“Yauda, lo uda makan kan. Sekarang tidur, besok lo kuliah kan?”
“Iyanih, males banget deh.”
“Besok kelas jam berapa?”
“Jam 9 pagi. Eh, anterin ya?”
“Iya, tapi berangkat rada awal ya soalnya gua kerja juga jam 9.”
“Iya oke. — Harfa, dingin.”
“Huh? Masa sih? Perasaan biasa aja tuh?”
“ACnya?”
“Temperaturnya uda 25 derajat. Masa lo kedinginan?”
“Iya, dingin.”
“Mau gua peluk?”
“Mauuu.”
“Yauda, deketan sini.”
Kedua lelaki itu saling bertaut badan. Mendekatkan setiap jengkal kulitnya satu sama lain untuk mendapatkan kehangatan.
Sesekali, jantung Harfa berdegup begitu kencang. Mungkin Reno pun bisa merasakan tapi sayangnya, ia hanya akan berfikir itu mungkin hal biasa saja.
Berbeda dengan Reno. Harfa menyadari bahwa degupan itu adalah sesuatu yang berbeda. Rasa yang aneh yang akhir-akhir ini sering ia rasa. Bahkan jauh sebelum Reno tinggal satu ruangan dengan dirinya.
Dan hari ini, perasaan aneh tak menentu itu tumbuh terasa semakin kuat. Tapi, Harfa masih belum menyadari perasaan seperti apa yang kian mengganggu pikirannya.