Malam dirumah sakit.
Malam ini, rintik hujan masih sanggup membasahi tanah. Masih bisa membuat genangan air di setiap lubang kecil di jalanan terbuka. Hawa dingin, sunyi dan sepi membuat setiap orang yang berada di luar mungkin akan merasa tidak nyaman, takut dan gelisah. Sama halnya dengan kedua lelaki yang saat ini duduk bersampingan. Satunya lebih tua sedang satunya lebih muda.
Shizui, adik paling bungsu keluarga Lan yang selama 17 tahun hidup tidak pernah se-gelisah malam ini. Tidak pernah lagi menangis. Terakhir dia mengeluarkan airmata saat dia berumur 12 tahun, saat dia terjatuh dari sepeda. Namun, dengan adanya kedua kakaknya, tidak membuat dirinya menangis terlalu lama.
Keluarga yang hangat meskipun hanya ada mereka bertiga. Tanpa ayah, tanpa ibu. Namun kini, dia menangis lagi.
“Kak, aku ngga mau kak Wangji pergi. Aku masih mau hidup sama kalian berdua. Aku ngga mau kakak atau kak Wangji hilang dari hidup aku.”
Ucap Shizui, menangis.
“Kamu ngomong apa? Wangji kan tidur, dia baik-baik aja kan? Lagian, kita harus percaya dia pasti bakalan sembuh. Jangan nangis.”
Tegasnya, Lan XiChen. Mencoba berfikir positive meskipun jauh di dalam lubuk hatinya, dia juga mengatakan hal yang sama. Sama seperti apa yang baru saja Shizui katakan.
Takut tapi saling menguatkan. Hancur tapi saling percaya.
Tidak ada yang bisa duduk tenang malam ini. Baik Shizui atau kakak tertuanya, Xichen. Mereka duduk dan berdiri secara bergantian. Jika satunya duduk satunya akan berdiri, jika satunya menangis satunya akan tegar. Keduanya seperti mempunyai sebuah trust issue bahwa Lan Wangji bisa saja tidur tapi tidak akan bisa bangun. Atau, bisa saja dia tidur tapi akan bangun dalam waktu yang tidak bisa di tentukan. Seperti sebelumnya, dia pernah koma.
Sakit jantung yang di deritanya hampir satu tahun ini, membuat kondisi fisiknya semakin lemah. Terkadang membaik terkadang memburuk, tanpa sebab. Kadang membuatnya hilang kesadaran kadang juga stabil, tak menentu.
Kesehatan dan kesadarannya seperti tergantung pada obat dan peralatan medis. Meski begitu dia masih bersikap normal. Normal hanya untuk menyembunyikan rasa sakitnya di depan saudaranya. Normal hanya untuk memalsukan kesakitannya. Dia tidak suka banyak berbicara, apalagi jika harus mengeluh. Itu bukan dia.
Entah, malam ini terasa begitu berbeda. Hujan tidak berhenti sejak hore hari. Semakin malam terasa semakin dingin. Semakin deras hujan semakin membuat kedua pria yang duduk disana gelisah. Dan obrolan-obrolan ringan memecah suasana.
“Kalo kamu capek, pulang aja ya. Tidur di rumah.”
“Engga kak, aku ngga capek. Aku mau disini sampai pagi, sampai kak Wangji bangun.”
“Kamu yakin? Kita bisa jagain Wangji gantian.”
“Engga! Hari ini kak Wangji operasi buat masang ring ketiga. Aku mau disini juga jagain. Ya?”
“Yauda, kalo gitu kamu tidur di dalem. Kan ada sofa di kamar rawat Wangji.”
“Iya, nanti aja.”
“Kamu mau makan? Biar kakak beliin ke minimarket deket sini. Kantin Rumah Sakit jam segini uda tutup.”
“Engga, aku masih kenyang. Aku bisa minum air putih yang aku bawa, itu uda cukup.”
“Shizui, jangan terlalu banyak mikir. Wangji ngga akan kenapa-napa. Ok?”
“Hm, aku tau.”
“Setelah operasi pagi nanti, kamu pulang ya. Istirahat.”
“Iya.”
Jawaban itu hanya dibalas dengan tepukan kecil oleh kakak paling besar di pundak Shizui. Isyarat bahwa semua akan baik-baik saja.
Setelah beberapa jam terlewati dan hujan mulai berhenti. Matahari terlihat berwarna dan para suster yang berjaga pagi mulai berlalu lalang di sekitarnya.
Jam menunjukkan pukul 06.00 yang menandakan kemungkinan Wangji sudah bangun dari tidur lelapnya.
Syukurlah, dia baik-baik saja. Masih bisa membuka mata dan bicara.
Shizui, yang sejak 2 jam lalu masuk dan tertidur di sofa, kini bangun untuk menyapa kakak keduanya. Disertai dengan suara pintu terbuka yang memperlihatkan dua sosok laki-laki yang tidak asing lagi baginya. Satu kakaknya satu lagi dokternya.
“Pagi Wangji, 30 menit lagi kita mulai operasi ya. Sebentar lagi suster kesini buat nyiapin semuanya. Jangan lupa minum air putih yang banyak. Ok?”
“Mn.”
“Makasih dok, tolong bantuannya buat adik saya ya.”
Saling melempar senyum. Tanda bahwa kedua lelaki yang tak lagi asing itu memberikan jawaban. Kini satunya telah keluar, hanya menyisakan Lan bersaudara di ruangan tersebut.
“Kak, gimana keadaan kakak?”
“Baik-baik aja. Ngga kenapa-napa. Ngga perlu khawatir, Shizui.”
“Wangji, jangan terlalu banyak gerak. Rileks, minum air dulu, 30 menit lagi harus operasi.”
“Kalian kenapa sih? Jangan terlalu kaku gitu. Aku ngga apa-apa. Lagian cuma operasi kaya biasanya kan.”
Shizui dan Xichen hanya bisa saling lempar pandang dan kemudian tersenyum. Tanpa menjawab apapun. Mengisyaratkan bahwa memang akan baik-baik saja.
“Kak, Weiying ngga kesini, kan?”
“Hm? Aku ngga tau, Wanyin ngga ngasih tau apa-apa. Kalo dia tau jadwal kamu operasi, dia pasti kesini kan? Ngga mungkin engga.”
“Dia, dia ngga tau. Aku ngga ngasih tau dia. Aku gak mau dia kesini, aku gak mau dia banyak gerak dan terlalu ngeluangin banyak waktu buat aku.”
“Wangji, Weiwuxian itu tunangan kamu. Dia pasti bakalan kesini. Dia pasti bakalan khawatir lah. Apa ngga jahat kalo kamu diem aja?”
“Aku rasa engga. Kakak tau kan, dia sekarang kaya gitu gara-gara aku. Dia .. “
“Wangji stop, kamu jangan terus-terusan nyalahin diri kamu sendiri. Itu cuma kecelakaan. Weiying buta itu bukan kesalahan kamu.”
“Tapi kak, kalo aja waktu itu aku ngga berantem sama dia dan aku mau bales chat dia, pasti semua ngga akan kaya gini. Seandainya aja waktu itu aku mau angkat telfon dia, semuanya pasti akan baik-baik aja.”
“Wangji, semuanya uda takdir. Weiwuxian ngga akan bertindak kaya gitu kalo dia ngga sesayang itu sama kamu.”
“Tapi tetep aja, semuanya salah aku kak. Aku yang salah. Aku yang uda bikin dia kecelakaan. Aku bikin dia buta.”
“Wangji udah. Stop nyalahin diri kamu sendiri kaya gini. Fokus aja sama kesembuhan kamu, ya? Kalo kamu sembuh, kamu bisa menebus rasa bersalah kamu ke Weiwuxian, iya kan?”
“Mn. Semoga.”
Waktu terus berjalan. Semua yang Xichen katakan itu benar. Fokus untuk sembuh, baru kemudian menebus kesalahan.
Tapi siapa yang tahu. Lan Wangji tetaplah Lan Wangji. Dia, berbeda. Dia, punya pemikiran yang berbeda di sudut kepalanya. Dia, berbicara dengan hatinya.
TBC.