Paradise bar.


Gerimis malam ini seperti datang untuk menemani Lan Wangi. Si tampan yang sedari tadi mengencangkan gas motornya, sedang memecah hiruk pikuk jalanan kota agar cepat sampai pada Paradise Bar yang kini ia tuju dengan terburu-buru.

Jangan macet please. si Iyan, kenapa lo polos banget? Dan kenapa juga lo mau aja diajak ke Bar itu? Please Yan, lo jangan aneh-aneh dulu. Lo jangan kenapa-napa dulu. Ngga ada yang jagain lo. Please, tunggu gue.

Gumam Wangji dalam hati.


Wangji yang baru saja sampai di tempat ramai dan brisik itu, langsung berlari masuk mencari teman mungilnya. Membelah kerumunan manusia yang tengah berdiri berdansa begitu gilanya.

Pandang matanya terus saja melirik kesana dan kemari. Tak menemukan sosok kecil itu di tempat ini. Menelfon pun terlalu lama, pikirnya.

Dengan baju yang sedikit basah akibat hujan di luar sana, tidak menahannya untuk terus bergerak mencari teman mungilnya.


Paradise Bar, adalah tempat untuk bersenang-senang bagi para kaula muda dan tua. Tua namun kaya.

Intinya, tempat ini adalah tempat mabuk yang paling elite dan sedikit berbahaya.


15 menit sudah Wangji berlalu lalang mencari Weiwuxian. Rasa khawatir membuatnya tak bisa berhenti untuk tetap mencari. Hingga akhirnya, sosok mungil berambut legam hitam itu terlihat diujung sana.

“YAAAN ..”

Benar. Itu benar Weiwuxian. Pria kecil yang kini sudah lemas kepalang itu begitu bau. Bau alkohol yang menguar dari mulut dan badannya terasa sangat kuat. “Sebanyak apa ia minum? — Wangji tidak tahu lagi.

“Jii ..”

“Yan, lo kenapa jadi gini sih?”

“Lo minum berapa gelas gila?”

“Uda gue bilang dua.”

“Dua tapi kenapa bisa kaya gini?”

Pertanyaan yang penuh gelisah itu Wangji lontarkan. Sambil menopang tubuh lunglai sahabat kecilnya yang kini sudah berada dalam jangkauan-nya.

“Jii, jangan ngomong. Jangan marah sama gue, Ji. Gue takut.”

Wangji hanya diam. Hanya bisa memandang dengan jarak dekat dan membawa lelaki itu keluar.


Dibawanya tubuh kecil itu untuk naik keatas motor besarnya. Sedikit gerimis, tapi apa daya? Jarak antara Paradise Bar dengan kost Iyan tidaklah begitu jauh.

Kehujanan sedikit tidak akan membuat mereka sakit.

“Yan, gue anter lo pulang. Lo masih bisa duduk kan?”

“Hm, bisa. Gue kuat. Duduk doang kan?”

Jawabnya sedikit sayu.

“Oke kalo gitu. Lo peluk gue. Peluk yang erat. Jangan di lepasin.”

“Iya, Ji.”

“Kita bakalan keujanan, Yan. Gapapa, kan? Daripada nunggu ujan reda, nanti makin lama. Naik grabcar juga gue malah kepikiran nan—“

“Diem, Ji. Jangan ngomong lagi gue mau muntah. Pala gue panas banget. Gue mau pulang.”

Pinta Weiwuxian sedikit lelah.

“Peluk gue.”


Keduanya kini berjalan menerpa hujan malam. Dingin tak begitu terasa bagi Lan Wangji, sebab di belakang sana ada seorang laki-laki yang sedang memeluk erat tubuhnya.

Laki-laki yang setengah sadar itu tengah menopangkan badannya pada punggung sang dominan.

Sambil menangis dibawah air hujan ia berkata,

Ji, meluk elo kaya gini kenapa rasanya anget banget? Padahal kita lagi keujanan.

Lagi,

Ji, gak tau kenapa gue nyaman banget sama lo.”

Sekali lagi,

“Ji, jangan ninggalin gue, ya?”

Sayangnya, semua kata itu hanya ada dalam hati.