Sebenernya, kita apa?


Wangji membuka pintu kost itu perlahan. Menyaksikan sosok indah yang kini ada di hadapannya, mengubah hatinya yang tadi sempat mati rasa menjadi luluh lemah.

Ia rindu, Wangji rindu.

Ingin memeluknya erat karena Iyan terlambat datang. Ingin meraih tangan Iyan dan menggenggamnya kuat tak mau lepas. Sedang dihadapannya hanya memberikan muka suram seperti tak nyaman dan ingin melontarkan banyak pertanyaan.

“Itu yang barusan, siapa?”

“Itu? Temen SMA.”

“Cewek kok masuk kesini sih, Ji? Ngapain dia?”

“Tadi ada urusan bentar. Uda yuk, masuk.”

Iyan mulai berjalan mendahului Lan Wangji. Memasuki kamar kost yang tidak begitu lebar. Kemudian melepas Jaket miliknya, meletakkannya di sebuah sofa kecil di ujung sana.

Memposisikan dirinya dengan bersandar pada lemari kecil di dekat sofa. Sedang Lan Wangji menyandarkan pantatnya pada ujung meja disebelah tempat tidurnya.

“Sorry ya. Tadi gue sama Kak Sanlang makan dulu. Jadi rada lama gue datengnya.”

“Iya, santai elah. Gue gapapa kok. Lo mau dateng jam berapa aja juga terserah.”

“Eh, Ji. Lo kemarin mabok ya? Kenapa? Ada masalah?”

“Haha. Uda, lupain aja uda gak penting. Lagian kemarin itu cuma minum gak jelas.”

“Beneran?”

“Mn. Beneran.”

“Yauda kalo gitu.”

“Lo mau susu anget ngga, Yan? Hujan kaya gini lo biasanya suka minum coklat anget kan? Gua bikinin, ya?”

“Engga. Gak usah. Gua cuma pengen ketemu lo aja. Lagian gue uda kenyang, uda banyak minum juga tadi.”


Weiwuxian beranjak. Ia berpindah dari posisi yang tadinya berdiri. Mulai merebahkan tubuh kecilnya diatas ranjang milik Lan Wangji.

“Ji..”

“Hm?”

“Maafin gue, ya?”

“Maaf buat?”

“Selama gue sama Kak Sanlang, gue sering nyuekin elo. Dan gue sadar itu.”

Wangji hanya diam mematung. Tidak merespon.

“Kak Sanlang baik banget ke gue. Lo juga. Kita temenan udah 13 tahun. Lo selalu ada dan jagain gue. Gue merasa bersalah banget kalo harus nyuekin elo. Maaf.”

Hanya itu yang Iyan sanggup katakan.

Kali ini, Wangji sedikit serius. Dia terbawa suasana. Dia bertanya,

“13 tahun kita temenan. Beberapa kali kita ngelakuin itu. Kita gituan juga sama-sama mau. Sebenernya, kita apa?”

“Kita temen kan, Ji?”

“Temen?”

“Iya. Kita temen kan?”

“Temen ngga ada yang ciuman, Yan. Temen ngga ngesex.”

Kali ini, Wangji beranikan diri untuk memberi penegasan. Dia masih berdiri, menatap lekat pada teman mungilnya dengan sedikit kekhawatiran.

“Iya, ya. Temen ngga ngesex, temen ngga ciuman. Terus kita apa ya, Ji? Kita ngelakuin semua itu, mana uda beberapa kali lagi.”

Wangji sedikit tak mengerti. Ia bangkit, berjalan menuju ranjang. Mendekati Iyan dan menatapnya tajam.

“Yan, lo pernah suka sama gua, ngga?”

“Hah? Suka? Suka yang gimana ya? Kalo sayang iya, gue sayang banget sama lo.”

“Waktu kita gituan, lo ngerasa pengen milikin gua, ngga?”

“Gue gak tau. Kadang kayaknya iya tapi kadang juga engga. Dan lo tau kan, gue suka sama Kak Sanlang?”

DEG.

Gue suka sama Kak Sanlang. — kata yang sukses menusuk jantungnya. Membuat Wangji tak lagi ingin berkata.

“Ji, gue hari ini nginep disini, ya? Gue males di kost.”

“Lo pulang aja ya, Yan? Gue lagi pengen sendiri.”

“Tumben? Lo beneran gapapa kan? Lo gak biasa nolak gue. Lo marah sama gue?”

“Engga. Gua cuma pengen sendirian aja. Mungkin gua lagi cape aja. Cape sama kerjaan gua. Bengkel lagi rame soalnya.”

“Hm gitu. Yauda, gue ngerti kok. Mungkin lo emang cape gak mau di ganggu.”

“Yauda. Gue balik aja, ya?”

“Gua anterin.”

“Gak usah. Biar gue minta tolong sama Kak Sanlang aja. Kan lo lagi cape. Lo istirahat aja, oke?”

“Hm.”— Adalah jawaban akhir dari Lan Wangji.