Setelah membaca pesan dari Lan Wangji, Wei Wuxian memutuskan untuk segera pergi dari tempat dimana ia sekarang menunggu.
Tidak mudah untuk dirinya berjalan seorang diri. Terlebih lagi dia sedang berada di tempat asing saat ini.
Dia hanya bisa mengandalkan G-Maps serta G-translator untuk dapat berkomunikasi dengan orang-orang Paris.
Dia beranjak.
Mendorong membawa kopernya yang sedikit berat. Mengelus melindungi bayi mungilnya yang saat ini berada dalam perut kecil miliknya.
Perlahan berjalan menyusuri kota. Mencoba berbicara dan menemukan tempat tinggal untuk dirinya.
Siang ini hujan.
Gerimis dan mendung seolah menyamarkan setiap tetes airmatanya. Namun, tidak dengan luka hatinya.
Ia bawa setiap rasa sakitnya dibawah rerintikan hujan yang kian membuat tubuhnya basah.
Tidak ada payung, tidak ada seseorang yang merangkul. Dia sendiri – ah tidak, dia bersama bayi kecil dalam perutnya. Berdua, hanya berdua.
Akhirnya, 3,5 jam setelah ia berputar-putar di kota ini, dia bisa menemukan Flat yang sedikit murah. Tidak begitu besar tempatnya dan terlihat begitu nyaman untuk dirinya.
Dia bisa dengan mudah melihat indahnya Paris dan Eiffel dari dalam Flat barunya. Melihat betapa indah dan romantisanya negara ini. Tetapi tidak dengan luka yang baru dia ingatnya.
gambar
Setelah membereskan segala hal yang dia bawa, Wei Wuxian mencoba merebahkan tubuhnya pada kasur empuk yang berada pada Flat barunya. Ia kembali mengingat segala kenangan manis dan berharga yang pernah dirinya dan Lan Wangji lakukan bersama.
Saat itu di Spanyol.
Tempat mereka menghabiskan waktu bersama. Bulan Madu itu, sentuhan itu, ciuman serta pelukan yang dulu dia dapatkan dengan mudah kini teramat sangat sulit untuknya. Bahkan membayangkannya saja, rasanya sakit.
Segala hal itu, selalu diberikan oleh Lan Wangji di setiap pagi dan malam. Tapi kini, semua seperti di angan-angan.
Kehadiran wanita lain seolah mencabik hatinya. Memusnahkan segala impian barunya.
Sudah 45 menit Wei Wuxian berbaring di tempat tidurnya. Rasa mual, lapar, dan lelah masih saja ia rasa.
Mencoba untuk keluar mencari sepotong roti yang selalu ingin dia coba saat dia bisa ke Paris. Namun sakit di perutnya kian membelenggu, membuat dirinya melenguh menahan rasa nyeri itu.
“Ngghhh.. Sakit..”
Ia membungkukkan badannya. Memegangi perutnya yang mulai terasa ngilu dan panas.
Mencoba mendial nomor kontak Lan Wangji. Hanya dia lah satu-satunya yang ‘mungkin’ akan menolongnya.
Panggilan itu berdering tapi tidak ada sekalipun suara seseorang yang ia sangat rindukan menjawab.
Sekali lagi mencoba menghubungi.
Tetap saja, tidak ada suara yang bisa ia dengar.
Dia berfikir, “Apakah Lan Zhan sibuk? Atau Lan Zhan tidak membawa ponselnya? Atau mungkin, dia sedang bersama wanita itu?”
Dia tersenyum tipis sembari menahan rasa ngilu di perutnya. Entahlah, untuk apa dia tersenyum, hanya dia dan pikirannya yang tahu. Orang lain? Orang lain hanya bisa menerka-nerka itu.
Rasa sakit di perutnya sudah tidak bisa lagi Wei Wuxian tahan. Ketika dia hendak melangkah keluar, darah sudah berada di atas lantai. Tepat di ujung-ujung jemari kakinya.