Setetes kehidupan


Wei Wuxian membuka pintu kamar kost-nya. Menampakkan Jiang Cheng, sepupu-nya yang baru saja datang membawa sebuah bungkusan hangat di kedua tangannya.

“Apaan tuh? Tumben banyak amat bawa sesuatu?”

“Ya biasa emak gue. Masak sup teratai kesukaan lu. Suruh ngabisin katanya. Nih.”

Jiang Cheng memberikan bungkusan hangat itu pada Wei Wuxian. Mereka berdua masuk ke dalam kost yang saat ini Wei Wuxian tinggali seorang diri.

Ini adalah kesekian kalinya Jiang Cheng datang kemari. Biasanya, Jiang Cheng selalu datang kemari setiap satu bulan dua kali. Terkadang jika dia ingin, dia akan menginap dua hingga tiga hari disini.

“Lu baru bangun?”

Tanya Jiang Cheng sambil perlahan duduk di sofa mini dekat pinggiran kasur satu-satunya milik Wei Wuxian.

“Gak juga sih, uda mayan beberapa menit lalu. Btw lo kenapa bawa Wangji sih? Ga penting banget. Toh dia juga ujungnya nunggu di luar.”

Wei Wuxian dengan sedikit angkuh bertanya soal kedatangan Lan Wangji.

“Ya lu tau kan dia pasti mau ketemu elu. Temuin gih, masa setiap kali dia kesini lu suru tunggu di luar. Gak enak tau!”

Sambil menaruh makanan, Wei Wuxian menjawab,

“Ogah! Lagian siapa juga yang mau dia kesini. Lu juga tau kan Hua Cheng ngga akan suka kalau dia tau Lan Wangji dateng kesini.”

Jiang Cheng yang mendengar nama 'Hua Cheng' itu, hanya bisa menghela napas dalam-dalam.

“Wei Wuxian, lu makan gih supnya mumpung masih anget. Terus minum obat lu. Gue temenin.”

“Yaela, ntar juga gue makan kok. Uda lo pulang aja. Sekalian noh sama Wangji.”

“Lu jangan gitu kek. Gimana pun juga Lan Wangji tu peduli sama lo. Lagian dia juga tulus suka sama lo dari 6 tahun lalu. Ngga ada salahnya kalo lu—”

“STOP!!! Gue gak mau denger apa-apa lagi. Lu mendingan pulang sekarang. Bilang makasih sama emak lo. Sana!”

Wei Wuxian menyela. Entah mengapa, nama Lan Wangji selalu saja membuatnya sedikit traumatic. Seperti, Lan Wangi adalah satu-satunya orang yang sangat ia benci.

“Lu kenapa sih? Kenapa lu selalu kaya gini setiap kali kita ngomongin Wangji? Ada yang salah atau gimana?”

Jiang Cheng mencoba mencari tahu. Ia sedikit geram akan tingkah laku Wei Wuxian yang selalu saja terlihat sangat jelas membenci Lan Wangji.

“Ya karena dia suka sama gue itu kan gue jadi sering salah paham dan berantem sama Hua Cheng!! Lu tau gue sama Hua Cheng uda dalem banget!! Bahkan kita mau nikah, dan dia juga ngelarang gue deket atau apapun itu sama Lan Wangji!”

Wei Wuxian sedikit kesal dan berteriak. Menjelaskan segala hal tentang dirinya dan Hua Cheng. Memberikan alasan yang menurut Jiang Cheng tidak begitu masuk akal, membuat Jiang Cheng sedikit geram.

Hingga tanpa sengaja, Jiang Cheng mengatakan sekali lagi kebenaran yang Wei Wuxian lupakan.

Hua Cheng lu tuh uda mati! Ngerti gak? Dia uda ngga ada! Dia ninggalin elo! Dia kecelakaan bahkan lu tau itu. Dia nutup mata di hadapan lu juga kan?! Ngerti gak sih?? Inget gak lu?!”

DEG!

Kalimat itu seperti menghantam dada Wei Wuxian. Mengingatkan dirinya pada sebuah kenyataan. Membuat dirinya mengingat kembali segala hal dan kesedihan.

Wei Wuxian, tidak lagi sanggup berkata-kata seperti yang ia lakukan sebelumnya.

“Inget itu! Inget siapa orang yang ngerawat lu waktu lu sakit? Siapa orang yang diem aja waktu lu maki-maki? Siapa orang yang jagain lu 24 jam di rumah sakit gara-gara lu depressi? Siapa yang donorin darahnya waktu lu coba bunuh diri ngiris pergelangan tangan lu ampe lu keabisan darah? Lu utang nyawa sama dia. Siapa dia? Inget gak lu? Jangan bilang engga!”

Wei Wuxian hanya diam. Dia berdiri tepat di hadapan Jiang Cheng. Menatap kosong pada datarnya lantai di ruangan itu.

Jiang Cheng sekali lagi membuka segala ingatan lama.

“Iya!! Itu dia, Lan Wangji! Kalo ngga ada dia, mungkin lu juga mati saat itu. Gue bahkan gak bisa jagain lu karena gue pun sibuk ngurusin emak gue yang ikutan drop gara-gara lu depressi! Hua Cheng ninggalin lu, dia kecelakaan waktu lu berdua mau tunangan! Inget gak sie lu, hah?! Lu bahkan dateng ke kuburannya, Wei Wuxian!”

Jiang Cheng tak lagi menahannya. Dia mencoba mengingatkan segalanya pada sepupunya. Mencoba menjelaskan betapa gilanya Lan Wangji mencintainya. Menyelamatkan nyawa-nya. Memberikan setetas kehidupan untuknya.

Wei Wuxian diam. Tak lama, dia menangis. Kepalanya terasa sangat berat dan sakit. Semua kenangan manisnya bersama Hua Cheng sangatlah indah untuk menjadi sebuah cerita. Sayangnya, cerita indah itu tak lagi nyata. Semuanya berubah tepat ketika dunia mengambil satu-satunya miliknya.

Hua Cheng-nya. Kisahnya. Cintanya. Bahkan semenjak saat itu, dunianya tak lagi sama.

Dia seketika menyadari sesuatu. Menyadari kenapa Hua Cheng tak pernah lagi membalas pesannya. Mengapa Hua Cheng tak pernah lagi mengatakan cinta. Mengapa Hua Cheng tak lagi menyanjung dirinya.

Ternyata, dia lupa bahwa dunia telah mengambil kekasihnya.

Dia ingat.

Dia menangis.

Dia terluka.

Dunia terlalu kejam padanya.


Jiang Cheng hanya sanggup berdiri di hadapannya. Menghela napas panjang seperti dia pun lelah menjelaskan segala hal pada sepupunya.

Tak lama setelah itu. Jiang Cheng memutuskan untuk keluar dari tempat itu. Meninggalkan Wei Wuxian yang masih terjebak akan dirinya dan mengingat kembali semuanya.

Semuanya; rasa sakit, rasa cinta, rasa kehilangan serta segala kesedihan yang ia rasa. Membuatnya terdiam disana cukup lama.