Sweet Night.
Malam ini Sanlang datang kerumah Xie Lian. Entah kenapa tiba-tiba saja rasa ingin menemui Xie Lian sedikit mengganggu pikirannya.
Semenjak pemakaman kedua orang tua Xie Lian, ada selama satu minggu penuh Sanlang menemani Xie Lian. Bahkan memasak dan merawat Xie Lian dirumahnya.
Tapi sekarang berbeda. Sanlang sudah mulai bekerja dan begitu sibuk hingga waktunya hanya dia gunakan untuk bekerja dari pagi hingga malam. Dari senin hingga sabtu, malah kadang, weekend pun dia sibukkan diri untuk bekerja.
Siapa yang sangka, satu minggu merawat Xie Lian saat itu juga membuat dirinya lebih mengerti bagaimana kepribadian Xie Lian.
Ornamen-ornamen pada dinding ruang tamu masih sama seperti dulu. Vas bunga dan figura, foto keluarga dan beberapa lukisan kuno masih menempel rapi disana.
Tidak ada tempat yang berantakan disana. Tentu saja. Xie Lian adalah orang yang bersih dan rapi. Tapi tidak untuk kamar pribadinya sendiri. Selalu berantakan dengan ranjang berwarna putih dimana diatasnya bantal dan guling tidak serapi seperti yang pernah Sanlang lihat.
Sanlang : “Ngga ada yang berubah, ya?”
Xielian : “Semuanya masih sama kak. Aku ngga mau ngerubah apa yang uda diatur sama orang tua aku.”
Sanlang duduk di sofa ruang tamu. Sedikit memandangi segala isi yang ada disana.
Xie Lian sedikit canggung.
Xie Lian : “Kak, mau minum apa?”
Sanlang : “Air putih hangat. Itu aja.”
Xie Lian : “Ngga pernah berubah. Dari dulu setiap kesini mintanya air putih anget.”
Sanlang : “Biar ngga ngerepotin kamu.”
Ah gila. Xie Lian merasa terlena, sedikit.
Kemudian dia ke dapur. Menuangkan air putih hangat dan membawanya kehadapan Sanlang.
Xie Lian : “Maaf ya kak aku gak punya apa-apa buat disuguhin. Belom ke supermarket. Gajian aku juga belom cair.”
Sanlang : “Gajian? Aku kira kamu kuliah?”
Xie Lian : “Iya aku kuliah sambil kerja. Part time aja sih buat kebutuhan sehari-hari.”
Sanlang tidak menjawab. Dia hanya mengangguk tipis tanda dia paham akan maksut Xie Lian.
Sanlang sedikit memperhatikan Xie Lian. Dia duduk di sofa tepat di hadapannya. Sanlang melihat Xie Lian seperti tidak nyaman.
Sanlang : “Kamu kenapa?”
Xie Lian terlihat sedikit pucat.
Xie Lian : “Ngga tau kak. Perut aku sakit. Ngga enak gitu rasanya.”
Sanlang sedikit cemas. Dia berpindah dari tempat duduknya untuk datang mendekat ke sisi Xie Lian.
Sanlang : “Kamu ngga lagi sakit kan?”
Tiba-tiba saja telapak tangan hangat itu berhenti tepat di dahi Xie Lian. Mencoba untuk memastikan bahwa lelaki cantik itu baik-baik saja.
Sanlang : “Kamu ngga demam. Tapi keringetan kaya gini. Ini pasti karena kamu makan samyang pedes terus minum susu tadi. Ke dokter, ya?”
Xie Lian menggelengkan kepalanya perlahan.
Xie Lian : “Ngga usah. Palingan sakit perut biasa. Aku gosokin make minyak kayu putih pasti enakan kok entar.”
Sanlang : “Ya sudah, mana minyak kayu putihnya. Biar saya yang gosokin.”
Kaget.
Jelas.
Batin Xie Lian : “Ada bagusnya juga sakit perut kaya gini. Diperhatiin dia lagi astaga.”
Saking kaget dan senangnya, Xie Lian sampai tidak menjawab pertanyaan Sanlang.
Sanlang : “Lian. Dimana?”
Xie Lian tersadar dari batinnya.
Xie Lian : “Hah? Oh?? Di kamar aku. Ada di kamar aku. Tunggu biar aku ambil keatas.”
Baru saja Xie Lian hendak mengangkat tubuhnya. Berencana untuk bangkit tapi di tahan oleh Sanlang.
Sanlang : “No. Jangan. Biar aku aja yang ambil. Kamu diem disini, oke?”
Aku?? Secara tidak sadar Sanlang berkata “Aku” yang artinya dia sedikit demi sedikit mulai bisa untuk tidak berkata terlalu formal.
Xie Lian : “Kak ngga usah. Biar aku aja. Lagian kamarku berantakan. Aku malu.”
Sanlang : “Oke. Kita keatas berdua. Biar kamu bisa sekalian rebahan.”
Xie Lian : “Hah?”
Sanlang : “Ngga apa-apa kan?”
Xie Lian : “I-iya gapapa sih. Tapi ..”
Belum selesai kalimat itu keluar dari bibir Xie Lian, tiba-tiba dia merasa tubuhnya seperti terangkat.
Sanlang menggendongnya.
Mengangkat tubuh hangat itu dalam genggamannya.
It’s a bridal style.
Xie Lian : “Kak???”
Sanlang : “Jangan gerak. Nanti kita jatuh.”
Tanpa sadar, Sanlang sudah membawa tubuhnya menaiki tangga menuju kamar Xie Lian.
Sanlang : “Dimana minyak kayu putihnya?”
Xie Lian : “Disana. Diatas tumpukan buku sebelah laptop aku. Coba liat.”
Sanlang melihatnya dan segera mengambil minyak kayu putih itu.
Dia duduk di pinggiran tempat tidur tepat dimana dia membaringkan Xie Lian tadi.
Sanlang : “Buka baju kamu.”
Xie Lian kaget.
Sanlang : “Maksutnya, buka baju kamu biar saya bisa ngolesin minyak kayu putihnya. Perut kamu sakit kan?”
Xie Lian paham. Tapi kata-kata Sanlang barusan sedikit ambigu memang. Tidak heran jika Xie Lian sedikit kaget.
Xie Lian : “Oh. Tapi kak, aku bisa ngolesin sendiri. Gak usah repot-repot hehe.”
Xie Lian jelas menolak karena dia malu.
Sanlang : “Gak perlu malu sama saya, Lian. Saya pernah ngerawat kamu sebelumnya. Saya pernah gantiin baju kamu dulu.”
Xie Lian : “HAH???”
Sanlang yang sadar kata-kata nya barusan sedikit ambigu, segera menjelaskan.
Sanlang : “Dulu saya pernah ngerawat kamu waktu kamu sakit. Satu minggu saya nginep disini, gantiin kamu baju juga kan?”
Xie Lian : “HAH???”
Sanlang hanya tersenyum. Seolah-olah dia tahu bahwa Xie Lian sedang malu.
Sanlang : “Bagian atas aja. Ngga semuanya saya buka.”
Xie Lian : “HAH??? GI-GIMANA??”
Sanlang tertawa tipis sambil memandang wajah putih Xie Lian.
Sanlang : “Kamu percaya sama saya kan?”
Xie Lian : “ ....... “
Xie Lian dengan rasa sedikit malunya mau tidak mau harus membuka setengah bajunya. Memperlihatkan bagian perutnya. Dan Sanlang dengan sabar dan lembut mengoleskan minyak kayu putih itu pada perutnya.
Setelah selesai. Mereka berdua cukup lama bercengkerama. Mengenang sedikit masa lalu saat Sanlang masih kuliah di awal semester. Mengenang bagaimana dulu Xie Lian sering bermain kerumahnya hingga larut malam. Mengenang saat-saat pilu saat kedua orang tua Xie Lian meninggal.
Hal ini membuat emosi Xie Lian sedikit meluap. Wajahnya tampak layu dan sedih mengingat ayah dan ibunya saat itu.
Sanlang mengerti. Dia mencoba mengalihkan perhatiannya.
Sanlang : “Jadi, selama ini kamu suka merhatiin saya?”
Xie Lian : “Mm. Cuma merhatiin kok soalnya aku bosen. Dan kebetulan kalo pagi-pagi aku suka bersih-bersih rumah, jadi secara ga langsung pasti keliatan kakak. Orang rumah kakak pas di depan rumah aku.”
Sanlang hanya tersenyum.
Xie Lian : “Kak Sanlang, kalo ngomong sama aku make aku kamu an aja, Ok? Jangan terlalu formal.”
Sanlang : “Saya coba ya. Saya uda terbiasa ngomong kaya begini. Bahkan sama mama papa kamu juga formal gini kan dulu?”
Xie Lian : “Iyasih, dari dulu kakak emang udah seformal itu. Tapi kalo bisa sama aku yang santai aja hehe.”
Sanlang hanya tersenyum.
Untuk beberapa saat, tanpa Xie Lian tahu. Sanlang sudah sangat memperhatikannya. Memandangi wajahnya saat dia berbicara.
Wajahnya begitu indah. Parasnya sangat lembut. Bibirnya merah merona. tubuhnya hangat dan tutur katanya sangat menyenangkan untuk di dengar.
Sekali lagi, Sanlang sangat terpesona.
Sadar bahwa Sanlang saat ini sedang memandang lembut dirinya, Xie Lian mulai merasa malu dan tersipu. Hatinya bergetar dan tangannya keringat dingin.
Suara detak jantungnya mungkin sudah terdengar oleh Sanlang.
Xie Lian : “Kak? Ke-kenapa? Jangan ngeliat aku kaya gitu aku malu.”
Sanlang masih tetap memandangnya.
Pandangan yang begitu lembut.
Sanlang : “Kamu cantik. Aku suka.”
DEG.
“Cantik?”
“Suka?”
Jantung Xie Lian seperti berhenti saat itu juga.
Dia tidak bisa lagi berkata-kata.
Perlahan kedua wajah itu mulai mendekat. Membuat nafas keduanya seperti bertaut seakan memaksa kedua bibir itu untuk bertemu.
Perlahan dan perlahan. Semakin dekat dekat dan dekat.
Hingga akhirnya, kedua bibir itu bertemu.
Kedua bibir mengecup satu sama lain.
Sanlang merasa dirinya sudah melewati batas. Tapi kesadaran itu tidak bisa membuat bibirnya melepas bibir lelaki yang dikecupnya.
Untuk beberapa saat kecupan itu masih hangat. Sampai pada menit berikutnya, Xie Lian lah yang memulai segalanya.
Xie Lian mulai mengecap bibir manis Sanlang. Seperti memberi Sanlang peluang untuk mengeluarkan gairahnya.
Rasa suka dan sayang yang selama ini Xie Lian pendam di dalam dirinya, mulai menguar.
Xie Lian : “Mmhh ..”
Ciuman itu masih intens.
Lenguhan Xie Lian membuat Sanlang sadar.
Dia melepas perlahan tautan itu.
Saling memandang.
Wajah keduanya terlihat malu dan salah tingkah.
Sanlang : “Ma-maaf. A-aku .. Gak maksut ..”
Xie Lian tersenyum. Dia merasa bahagia tapi kebahagiaan itu masih dia tahan.
Xie Lian : “Ahh, perut aku sakit lagi.”
Tentu saja, bohong.
Xie Lian hanya mencoba mencairkan suasana diantara mereka.
Sanlang : “Tidur. Ok? Aku gak mau kamu kenapa-napa.”
Xie Lian : “Kak, temenin aku ya?”
Sanlang : “Hah? Temenin? Iya kan ini aku temenin kamu.”
Xie Lian : “Maksut aku, nginep sini.”
Seperti yang sudah di tebak. Tidak ada penolakan.
Sanlang tetap disana untuk memastikan Xie Lian baik-baik saja.
Keduanya terlelap di ranjang yang sama.