The blue ocean; Afterlife.
warning; heavy angst | major character death | baku | fictional story | sea creature | hurt-comfort | bxb | age-gap | wangxian main pair | hualian side pair | fantasy
mention of ancient greeks.
“aku, mencoba mati berkali-kali hanya untuk melihatmu.”
16 November 1975.
Masa lalu.
“Biarkan aku mengikutimu. Hidupku takkan seindah saat kau bersamaku. Hari-hariku takkan sehangat saat kau di dekatku. Aku tak lagi merasa aman jika kau pergi.”
“Disini, diatas kapal besar ini. Biarkan aku menjadi buih dan melebur bersama udara mengarungi samudera.”
“Tunggulah, aku pasti akan datang. Menggenggam erat tanganmu dan saat itulah giliranku untuk menjagamu.”
“Byuuurr ..”
Suara riakan laut bergemuruh malam itu. Malam dimana seorang anak laki-laki berumur 15 tahun, menjatuhkan dirinya dari tingginya kapal pesiar untuk mengakhiri hidupnya.
Pukul 11 malam. Dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya karena keputus asaan dan rasa tak siap karena kehilangan.
“Saat itu, aku merasa dinginnya air laut menusuk hingga ke tulang dan persendian. Aku seakan sanggup melawan dunia padahal aku sudah tak lagi bisa bertaruh nyawa. Nafasku mulai berat, air terus menerus masuk kedalam lubang hidungku. Mataku tak sanggup lagi terbuka. Perlahan keseimbanganku melemah. Aku tak lagi bisa merasakan kakiku bertumpu. Niatku, ingin akhiri semua ini. Tapi entahlah, saat aku kehilangan kesadaranku, disana seperti ada sosok indah yang kemudian merengkuh tubuh dinginku.”
“Aku hidup. Aku gagal mengakhiri hidupku. Seseorang menolongku.”
25 Desember 1976.
Masa lalu — Malam Natal.
“Di setiap malam Natal, aku dan keluargaku akan selalu berkumpul. Di sebuah Gereja Santa Maria, aku dan kakak-ku selalu berdoa. Setelahnya, kami akan merayakan Natal dan bertukar kado bersama. Membuka kado itu di atas sofa dekat perapian.”
“Suasana selalu hangat. Kakak-ku begitu menyayangiku. Dia melakukan segalanya untukku. Saat hari dimana aku pertama kali mengakhiri hidupku, dia lah yang sangat merindukan aku. Dia menjagaku hingga tak kenal waktu. Dia merawat dan membesarkan aku tanpa mengeluh. Yah, kakak yang hebat. Sungguh!
“Namun lagi-lagi, aku harus merepotkannya. Aku harus melukainya. Aku merasa hampa, hatiku kosong dan tak berdaya. Aku begitu merindukan-nya. Hingga tanpa sadar, aku berjalan menuju keluar. Aku terus berjalan hingga ditepian lautan. Kebetulan, rumah mewah kami dibangun dan dirikan di dekat laut, karena aku dan kakak-ku sangat suka dengan air. Kami selalu menghabiskan waktu di tepian laut. Aku yang akan berlari dan menepi, sedang kakak-ku akan melukis matahari dan segala isi bumi.”
“Aku terus berjalan sambil menangis. Aku merindukan-nya. Aku memanggil nama-nya. Tapi semua sudah berubah. Tidak akan ada lagi yang datang saat aku memanggil dan berteriak. Takkan ada lagi suara lembut yang dapat menghentikan semua gerakan.”
“Hingga sekali lagi, untuk yang kedua kali, aku ingin mengakhiri hidupku sendiri.”
“Aku biarkan tubuhku tenggelam. Aku biarkan dingin nya malam Natal menjadi saksi suasana dimana aku akan hilang. Aku biarkan kakak-ku di dalam sana menghabiskan cokelat panasnya tanpa tahu bahwa aku akan meninggalkannya. Yah, sekali lagi mencoba meninggalkannya.”
“Aku telah di penghujung nafasku. Tubuhku seperti layu. Nafasku mulai melemahkanku. Aku merasa sebentar lagi aku akan berada di surga, bersama-nya.”
“Aku melihat, sosok indah itu samar-samar merengkuhku. Memelukku erat dan kemudian mencium bibirku.”
“Aku seperti hilang kendali. Kematianku seperti tak direstui surgawi. Di dalam pagutan itu, aku merasa hangat meskipun sebenarnya dinginnya air laut menyelimuti kulitku. Rasanya aku ingin bertanya; Kau, siapa? — Sayangnya, aku tak bisa melihat dengan benar. Sial, lagi-lagi aku hilang kesadaran.”
23 Januari 1980.
Masa lalu — Bertemu.
“Lagi-lagi aku mulai merindukan-nya. Dan itu membuatku lemah. Semenjak hari itu, kakak-ku tak pernah lagi berada jauh dariku. Ia terus saja berada di dekatku. Apapun yang aku lakukan, jika kedua kaki ini mulai menyentuh pasir di tepi lautan, dia akan berlari dan mengejar.”
“Dia akan berkata,”
“Wangji, terimalah. Semua yang hilang takkan lagi kembali. Semua yang pergi takkan lagi menampakkan diri. Sekali hilang, selamanya takkan lagi datang.”
“Dan aku rasa itu benar.”
“Malam ini, di bawah sinar rembulan. Di bawah binar-binar cahaya bintang aku berdiri memandang lautan lepas. Gemuruh ombak begitu tenang, tapi dingin yang aku rasakan seperti mengingatkan kembali pada masa-masa diriku yang kelam.”
“Di tengah-tengah lamunanku, ada seseorang di balik batu besar. Dia seperti bersembunyi dan terlihat samar. Tidak asing, terasa sangat akrab dan membuatku penasaran.”
“Aku seperti mengenalnya. Siapa dia? Siapa namanya? Parasnya, bentuknya, keadaannya dan segala yang ada pada dirinya itu indah. Tapi, dia seperti tak nyata. Bahkan aku tak bisa menembus udara untuk dapat melihatnya dengan sempurna.”
“Rambut hitam panjangnya begitu indah. Sosoknya terlihat rapuh. Apa dia terluka? tersesat? ketakutan? atau apa? entahlah.”
“Ku coba mendekatinya. Perlahan langkahku menuju padanya. Semakin dekat semakin terlihat indah dan nyata. Tapi kemudian, dia menghilang.”
31 Oktober 1990.
Saat ini — Lebih dekat.
Disana, di tepi lautan berwarna biru pekat, tengah berdiri murung seorang lelaki tampan seperti sedang mendominasi dunia dan seisinya. Helai demi helai rambut hitam berkibar layaknya bulu-bulu halus yang terbang di awang-awang dengan bantuan angin yang menerpa udara malam.
Rembulan tak membiarkan dia pergi. Sedang bintang tak membiarkan dia berpaling.
Dia suka melamun.
Dia selalu bertanya.
Dia ingin bertemu.
Batinnya selalu saja berkata, “Disana, apakah ada sesuatu disana?”
Pertanyaan itu membuatnya tak ragu-ragu untuk mencoba mencari tahu.
“Dia akan datang saat aku tenggelam. Jadi ..”
Perasaan ini. Perasaan ingin mengakhiri hidupnya karena rasa putus asa dan rindunya, yang dulu mendorongnya untuk mengakhiri hidupnya, kini berubah menjadi rasa ingin tahu dan ingin bertemu. Pada seseorang entah manusia atau apa, yang sudah dua kali menyelamatkan hidupnya.
Lan Wangji. Pria tinggi dan tampan. Pria dingin dan pendiam, tidak pernah sekalipun ingin membuka hati pada seseorang. Hidupnya hanya berdua dengan kakak-nya, hidupnya hanya berporos pada hati dan pikirannya.
“Aku tidak tahu siapa dirimu, hanya saja muncul dan selamatkan aku. Aku ingin bertemu, sekali lagi. Aku tidak sempat berterima kasih, kau sudah selamatkan aku dua kali.”
Dia berkata dan terus berjalan hingga ke tengah lautan. Ia biarkan ombak tenang mulai menenggelamkan tubuh besarnya. Ia biarkan dingin nya malam merasuk dalam sukmanya. Ia yakin, sosok indah itu akan datang dan menyelamatkan.
Dia sudah terbiasa dengan tenggelam. Dingin nya lautan dan hembusan angin malam seperti ikut menyaksikan setiap adegan.
“Nafasku, nafasku mulai berat. Ayolah, datang. Aku ingin melihatmu dengan jelas. Aku ingin menatapmu dan meyakinkan hatiku bahwa kau nyata dan pernah menciumku.”
“Aku rela mati berkali-kali hanya untuk dapat melihatmu. Sekali saja, tak apa.”
Saat kesadarannya mulai lemah, sosok indah itu datang. Perlahan ia mendekat, semakin dekat, dekat, dan kini sangat dekat. Sosok itu, merengkuhnya. Membawanya seperti ke udara. Tak lagi menciumnya, hanya fokus untuk menolongnya. Yah, sekali lagi menolongnya.
Dibawah sinar bulan, dibawah kerlipan bintang-bintang. Keduanya bertemu dan beradu pandang. Kali ini pun sosok itu tidak menghindar. Hanya saja, tubuh bagian bawahnya masih mengambang di dalam air laut yang samar.
“Buka matamu, aku tahu kau masih sadar.” — Oh dia bicara.
“Uhuukk .. Uhuukk ..” — Dia terbatuk.
“Ah, dingin sekali.”
Mencoba membuat dirinya sadar, dan fokus untuk menatap sosok indah di hadapannya.
Sosok itu hanya tersenyum. Dia terus tersenyum dan memandang Wangji. Senyumnya seperti, damai.
“Terima kasih sudah menolongku. Kau, siapa? Apa kita saling mengenal?”
“Pulanglah, jangan lagi melakukan hal bodoh. Kau harus tetap hidup untuk kakak-mu dan masa depanmu.”
“Huh? Kau tahu aku punya kakak?”
“Hm. Sejak hari itu, aku tahu segalanya tentangmu.”
“Tapi, kenapa? Apa yang kau tahu? Dan tunggu, kau tidak memakai baju? Apa kau gila? Disini sangat dingin, dan kau menyelamatkan aku hanya dengan begini?”
“Lihat disana!”
Lihat disana! adalah kata terakhir yang Wangji dengar dari sosok itu. Setelah dia menolah, dia tak melihat apapun lagi. Sosok itu menghilang. Bahkan tidak ada jejak kaki, tidak ada apapun yang tersisa. Lagi-lagi, dia menghilang.
7 November 1990.
Saat ini — Rindu.
Sudah 7 hari sejak Lan Wangji bertemu dan berbicara pada sosok itu. Wangji terus saja memikirkannya. Ingin tahu asal usulnya, ingin tahu namanya, ingin tahu siapa sebenarnya dia.
Sejak malam pertemuannya dengan sosok itu, Wangji tidak bisa melupakannya. Sosok yang berkali-kali menyelamatkan hidupnya. Sosok itu indah, rambut hitamnya panjang sampai ke pangkal pinggang, suaranya indah dan merdu, parasnya cantik dan menyenangkan, kulitnya putih dan bersinar. Dia seperti makhluk surgawi. Dia seperti tak nyata yang hidup. Dan Wangji, ingin bertemu sekali lagi.
Bayang-bayang sosok itu terus saja menghantui. Setiap malam selalu membawa Wangji ke tepi lautan tempat dimana ia dan sosok itu dengan sadar bertemu dan menatap pertama kali.
Dia bertanya dalam hatinya,
“Aku selalu datang kemari. Berharap kita bisa bertemu lagi. Tapi sudah 7 hari dan kau seperti hilang di telan bumi. Sebenarnya, kau apa? Kau siapa?”
“Hey, apakah aku harus menenggelamkan diri lagi? Aku sepertinya, rindu. Bisakah, bisakah kau datang lagi?”
Kali ini, Wangji berteriak pada lautan. Bulan dan bintang adalah saksi dari setiap perkataan.
“Aku disini.” — Tiba-tiba saja ada suara.
Wangji memalingkan pandangan-nya. Dimana? Ah, ternyata sosok itu ada di belakang batu besar, di samping ia berdiri. Tapi, kenapa hanya terlihat wajahnya saja? Kemana tubuhnya?
“Kau? Dari mana saja? Selama 7 hari, setiap malam aku selalu datang kemari, aku menunggumu.”
“Menungguku? Untuk apa?”
“Entahlah, aku hanya ingin. Aku ingin tahu tentangmu. Bolehkah?”
Wangji mulai berjalan mendekat. Meyakinkan dirinya untuk terus berjalan ke batu besar itu, tapi tiba-tiba saja langkahnya dihentikan oleh sosok indah itu.
“Jangan kemari. Berhenti disitu. Kita masih bisa bicara dengan jarak seperti ini.”
“Huh? Kenapa? Apa kau telanjang? Kau tidak berenang di malam hari kan?”
“Tanyakan saja apa yang ingin kau tahu. Akan aku jawab.”
“Baiklah. Kau tetap dibalik batu itu dan aku akan duduk disini.”
Sosok itu hanya tersenyum.
“Siapa namamu? Dan dimana kau tinggal?”
Sosok itu hanya tersenyum dan menjawab,
“Berikan aku sebuah nama. Dan panggil aku dengan nama itu.”
“Apa? Aneh. Apa kau tidak punya nama?”
“Aku tinggal cukup jauh denganmu. Tapi aku bisa datang kapan saja jika aku mau.”
“Kau sangat aneh. Nama dan tempat tinggal tidak jelas. Tapi baiklah, aku akan berikan kau sebuah nama.”
Lagi-lagi sosok itu hanya memandang dan tersenyum.
“Bagaimana jika kau ku panggil, Weiying?”
“Apapun itu, aku akan menyukainya. Terima kasih.”
“Apa kau tinggal sendiri? Dan kenapa kau selalu datang di malam hari? Tidak bisakah kita bertemu di sore hari?”
“Itu hal yang tidak penting. Aku tidak akan menjawabnya. Dan aku hanya ingin keluar di malam hari saja.”
“Baiklah. Lalu, bagaimana caranya agar aku bisa bertemu denganmu lagi?”
“Kau ingin bertemu denganku lagi?”
“Ya. Aku, aku ingin bertemu. Bertemu denganmu sangat menyenangkan.”
“Bernyanyilah.”
“Apa? Kenapa bernyanyi? Lagi pula suaraku jelek.”
“Bernyanyilah untukku. Maka aku akan datang.”
Sungguh. Perbincangan ini sangat singkat tapi juga menyenangkan. Rasanya banyak teka-teki dalam setiap jawaban.
“Baiklah. Aku akan membuatkan mu sebuah lagu. Dan lagu itu hanya untuk memanggilmu. Hanya kita berdua yang tahu.”
“Ide bagus. Terima kasih, Wangji.”
“Hey, kau tahu namaku?”
“Sudah aku bilang, sejak saat itu aku tahu segalanya tentangmu.”
Weiying, hanya terus tersenyum. Senyum itu benar-benar indah melebihi keindahan bintang-bintang malam ini. Sosok itu, kini punya sebuah nama. — Weiying.
“Kau membuatku—“
Lagi-lagi, sosok indah itu menghilang.
“Weiying??? Hey, kemana?! Kau selalu saja pergi.”
“Baiklah, aku akan pulang dan membuatkan mu sebuah lagu.”
Malam itu, adalah malam yang dirasa Wangji dan Weiying paling indah. Keduanya kembali pada dunia mereka masing-masing.
Lan Wangji kembali pada kehidupan manusia-nya. Sedang Weiying, kembali ke dalam dinginnya lautan.
Laut.
Berenang menyusuri dalamnya isi lautan. Bertemu dengan berbagai makhluk air yang beragam. Gerakan yang begitu indah. Menggerakkan ekor birunya yang panjang dan ramping. Manyapu buih-buih lautan, berenang dengan begitu lincah dan gembira.
Surai rambutnya tak bisa menutupi senyuman manis di wajahnya. Untuk yang pertama kalinya selama ribuan tahun dia hidup, ia tak pernah sebahagia ini. Apalagi, bertemu manusia. Yah, manusia. Makluk dunia yang seharusnya ia hindari, bukan malah ia dekati.
Di dalam dunia lautnya. Di dalam takdirnya, ia tidak diperbolehkan untuk berhubungan dengan manusia. Apalagi, sampai jatuh cinta.
Cinta adalah sebuah kutukan baginya. Di dalam takdirnya, ia hanya bisa sekali merasakan jatuh cinta. Sedangkan patah hati adalah sengsaranya.
Manusia tidak bisa mengubah dirinya menjadi makhluk laut. Sedang makhluk laut tidak bisa selalu ada bersama manusia karena bentuknya.
Enam ribu tahun lalu, berkisah seorang mermaid yang juga jatuh cinta pada manusia. Keduanya saling mencintai namun tak bisa memiliki. Lalu keduanya berakhir sangat menyedihkan. Manusia itu menenggelamkan diri ke lautan. Sedang mermaid ini, tubuhnya melebur dan menjadi buih lautan. Keduanya lenyap dan menghilang.
Para dewa-dewi lautan pernah berkata; jika salah satu dari kedua insan ini mati, maka satu lagi juga tak akan bisa hidup.
Setelah itu, hingga saat ini tidak ada lagi penerus kisah cinta makhluk laut dan manusia.
Namun sepertinya, ini akan berbeda.
Entah kisah yang bagaimana yang akan menjadi sejarah. Sudah jelas, cinta dua dunia takkan lagi ada.
To be continued.