Yang telah pergi.

tw // mention of death , angst , comfort


“Kayaknya mau ujan, tutup aja deh jendelanya, takut Weiying kedinginan.”

Ucap lelaki besar nan tampan itu sembari menutup pelan jendela disisi kamar.

Datang mendekat pada ranum kecil, yang tengah duduk di pinggiran tempat tidur dengan menatap kosong kearah pemandangan di luar jendela.

“Hey, Weiying, makan dulu ya. Ini uda waktunya kamu makan, malah uda telat sejam.” — katanya.

Sosok ranum, cantik nan rupawan itu hanya menoleh dan tersenyum tipis. Tiada jawaban hanya ada anggukan.

Mengaduk bubur panas, meniupkan, menyuapkan, dan menyeka setiap kotoran kecil yang sesekali menempel pada sudut bibir cherry-nya perlahan, sudah menjadi hal menyenangkan yang selalu ia lakukan.

“Gimana? Enak ngga buburnya? Kayaknya aku masak tadi agak kebanyakan garam. Asin ngga?”

“Engga, enak kok. Aku suka, selalu suka. Makasih ya, maaf banget aku selalu ngerepotin.”

“Ngga apa-apa, lagian aku juga suka kok ngerawat kamu gini. Cepet sembuh ya.”

Berakhir dengan senyum kecil pada masing-masing wajah keduanya.


Malam ini, rasanya sedikit sepi. Mendung sore tadi membawa rintikan air dari langit baru saja. Hujan, selalu menjadi hal paling menakutkan.

Sesekali suara petir membuat sosok pria cantik mungil yang kini tengah tidur pulas sedikit tak nyaman.

Tiba-tiba terbangun, tiba-tiba gelisah, tiba-tiba takut hingga menitikkan airmata.

Tangan mungilnya merasa dingin dan gemetar. Hatinya tiba-tiba rindu akan sosok besar yang selalu ia dambakan.

Dalam hening ia bergumam,

Kenapa rasanya sepi? Kaya ada yang kurang, tapi apa ya? Aneh. Jadi kepikiran, kan.

Lagi-lagi, sosok pria besar kemudian datang dari belakang. Memeluknya erat seperti tahu bahwa dirinya sedang gelisah dan tak nyaman sendirian.

“Eh?” — Kagetnya.

“Maaf, aku ngga tau kalo malem ini bakalan hujan deras. Sampe ada petir segala, pasti kamu takut. Aku kepikiran, makanya langsung kesini.”

“Haha, ngga apa-apa. Aku tadinya tidur, terus kebangun aja tiba-tiba.”

“Harusnya aku disini aja tadi, nemenin kamu. Maafin aku, ya?”

“Duh, apasih. Gak usah minta maaf gitu, kan aku gapapa.”

“Hm. Yauda sekarang tidur. Tidur lagi okay, kamu harus istirahat. Kasian mata kamu.”

“Hehe iya, temenin aku. Ya?”

“Pasti! pasti aku temenin. Aku ngga akan pergi. Aku bakalan disini sampe pagi, janji.”

Keduanya saling melempar senyum. Sosok besar tampan itu membantu si kecil kesayangan-nya berbaring, memakaikan selimut halusnya dan kini dua mata indah itu perlahan terpejam.

Dalam diam menatap wajah indah di depan matanya. Dan kemudian berkata pada benaknya, “Bodoh, uda tau hujan malah di tinggal.

Lagi, ”Padahal kamu ngga suka kalo hujan gini di tinggalin sendirian. Maaf ya, tidur yang nyenyak. Aku sayang kamu, Weiwuxian.

Sekali lagi, “Aku sayang kamu, Weiwuxian.


Pagi ini terasa dingin hingga ke tulang. Sepertinya hujan deras semalam masih menyisakan genangan air dan embun di pagi hari. Langit masih sedikit gelap dan mendung, bahkan masih ada gerimis kecil yang suaranya sanggup menusuki sanubari.

Disana, di sebuah sofa panjang hangat, lurus satu pandang dengan tempat tidur milik si mungilnya, bangun seseorang membuka mata. Sepertinya, dia tidur cukup pulas setelah memeluk si tampan semalam.

Berjalan mendekat ke sebuah ranjang. Tersenyum manis menatap lelaki mungil yang masih tenggelam di bawah selimut tebalnya.

Perlahan membangunkan,

“Hey, bangun. Uda jam 8 nih. Waktunya kamu mandi terus sarapan. Ayo bangun.”

“Euumm, masih ngantuk.”

“Haha, gemes banget. Nanti tidur lagi, ok? Buka matanya pelan-pelan. Duduk dulu, terus senderan.”

Perhatian kecil itu hanya dibalas senyuman.

“Oh iya, hari ini mau sarapan apa? Nasi goreng atau bubur lagi?”

“Um, apa aja deh. Terserah kamu. Apa aja pasti aku makan.”

“Oke! Aku buatin sarapan. Tunggu ya.”

“Hm. Kamu masak aku mandi. Ok?”

“Haha, ok. Setelah kamu mandi, kita sarapan. Terus kita berangkat deh.”

“Yep! Udah, sana.”

“Ok. Ohya nih, bawa tongkatnya. Jalan pelan-pelan.”

Lanjutnya, “Oh, atau mau aku bantuin?”

“Ih ngga usah. Kamu masak aja. Aku bisa kok sendiri. Kan uda biasa.”

“Ok. Hati-hati ya. Kalo butuh apa-apa teriak aja.”

Anggukan adalah jawaban terakhir untuknya.


Keduanya tengah bersiap. Sarapan telah usai dengan pemandangan seperti biasa. Jika satunya memberi perhatian maka satunya akan menerima.

Gerimis masih belum juga hilang. Udara dingin masih saja terasa menggetarkan.

Kedua sosok manusia itu sudah siap untuk keluar.

“Weiying, kamu uda siap?”

“Udah. Tinggal berangkat aja kan ini?”

“Hm. Jadi beli bunga dulu kan?”

“Jadilah. Aku mau bawain bunga kesukaan Lan Zhan. Dia pasti seneng.”

“Ok! Yuk, berangkat. Eh, sini tongkatnya aku bawain. Kamu aku gandeng.”

“Hm, ok.”

Keduanya berjalan keluar. Memasuki mobil mercedez benz berwarna hitam milik Jiang Cheng.

Jiang Cheng, sosok besar dan tampan itu dengan penuh sabar membantu sahabat yang disukainya sejak lama untuk masuk dan duduk di kursi depan mobil miliknya.

Keduanya, pergi bersama.

“Jiang Cheng, nanti seperti biasa fotoin bunga nya ya? Terus upload di twitter. Hehe, mau kan?”

Pinta lelaki buta itu dengan wajah manis.

“Iyaaa, apapun itu, aku akan lakuin buat kamu. Ok?”

“Makasih ya. Udah jadi pria kedua yang selalu ada buat aku. Maaf, kalo aku belum bisa jadi seperti yang kamu mau.”

“Sstt, diem. Aku ngga masalah. Aku emang ngga bisa jadi Lan Wangji. Tapi aku aku bisa setidaknya ngelindungin kamu dari jahatnya dunia. Ok?”

“Hm. Aku percaya.”