ssó

Best birthday, ever.

tw // angst , mcd

Hujan di penghujung bulan Oktober kian terasa deras. Disana, di sebuah kamar bernuansa hitam dan merah tengah disiapkan kue kecil berukuran 10cm dengan lilin berbentuk angka 20.

Sosok lelaki tampan nan rupawan tengah duduk menanti kekasih hatinya yang kini sedang berulang tahun.

Tak lama, lelaki cantik itu datang. Perlahan membuka pintu kamar dengan sebuah seru sambutan.

“Happy birthday, happy birthday, Weiying.”

Berjalan mendekat lalu meraih kedua tangan kekasihnya.

“Waw, apaan nih? Kue? Lilin? Terus itu, kado? Buat gue?”

Tanya lelaki mungil itu begitu cakap dan terlihat dari iris matanya, dia bahagia.

“Mn, buat kamu. Aku ngga bisa ngasih surprise yang mewah. Cuma bisa nyiapin kue kecil murah dan sekotak hadiah ini. Coba buka, semoga kamu suka.”

Tangan besar meraih kotak berwarna hitam keemasan itu. Memberikannya pada kekasihnya untuk di buka. Dengan harapan, segala rasa cinta dan kasihnya diterima.

“Ya Tuhan. Apaan nih? Cincin? Buat gue?”

“Iya, buat kamu. Hadiah buat kamu. Suka ngga?”

“Suka! Gue suka banget. Wangji, makasih banyak buat semua ini. Kado dan surprisenya. Gue bahagia banget.”

Berpelukan adalah cara terhangat untuk sepasang kekasih mengisyaratkan betapa bahagia dan bersyukurnya mereka memiliki cinta satu sama lain.

Memasangkan cincin hitam dengan balutan permata itu pada jari manis kekasihnya. Mencium kening hangatnya, memandangnya, dan terakhir mencium ranum bibirnya.

Terasa lembut diawal, terasa manis nan hangat. Hingga sesuatu yang berbeda dirasakan keduanya.

“Weiying, kenapa berdarah?”

“Huh, engh, engga tau. Kenapa ya?”

“Aku ngga gigit bibir kamu. Kenapa kamu keluar darah? Kamu ngga apa-apa kan?”

“Aku? A-aku .. Aku ..”

Gelap. Semuanya tiba-tiba gelap. Mata indah yang tadi di pandangnya mulai sayu terpejam. Tubuh yang baru di sentuhnya, tiba-tiba jatuh di genggamannya. Kenapa?

Kenapa Weiyingnya? Kenapa dia tiba-tiba hilang arah? Kenapa dia tiba-tiba memejamkan mata? Kenapa dia lemah? Tidak seperti biasanya.

“Weiying, bangun. Hey, bangun. Jangan pura-pura gini dong ngga lucu. Buka mata kamu, buka please. Mau aku marah? Weiying!! Buka ngga?? Hey??”

Dunianya, alasannya, cintanya, rindunya, hidupnya, kekasihnya, Weiyingnya, masih memejamkan mata.


Di dalam sebuah ruangan bernuansa putih itu, hanya terdengar suara detak jantung pada alat medis yang di letakkan di samping ranjang.

Tubuh indah nan mungil itu kini terbaring lemah dengan wajah pucat dan bibir tertutup.

Entah apa yang ada dibenak pria besar disana. Yang jelas, hancur. Dia seperti mati rasa. Bingung bagaimana harus menangis dan menahan airmatanya.

Dokter mengatakan; Kanker Hati yang diderita kekasihnya sudah mencapai stadium akhir. Yang artinya, Tuhan pun bisa mengambil nyawanya kapan saja. Pasrah, hanya itu yang saat ini dia rasa.


Diam, sunyi. Hanya terdengar suara batinnya. Hanya dia, yang sanggup berkata di dalam hatinya.

Kenapa? Weiying, kenapa kamu diem aja? Kenapa kamu ngga bilang kalo kamu sakit? Kenapa kamu tega? Kalo uda kaya gini gimana? Aku gimana? Jangan ninggalin aku. Aku ngga mau. Kamu harus sembuh! Kalo engga, aku bakalan hancurin dunia. Aku benci! Aku benci kalo harus kamu yang sakit begini. Kenapa ngga aku aja? Kenapa kamu? Kenapa kita? Aku pengen marah. Tapi, ke siapa?”

Terisak. Tak bisa menahan lebih lama pilu hatinya, airmatanya.

Hingga suara parau terdengar tiba-tiba.

“W-wangji, m-maaf.”

“Weiying!! Kamu sadar? Please jangan banyak ngomong dulu, ya? Diem. Istirahat aja, Ok?”

“M-maafin aku, aku ngga cerita apa-apa, sampe akhirnya kaya gini. Maaf, maafin aku.”

“Ssstt, diem. Istirahat aja. Aku pengen kamu sembuh. Soal penyakit kamu aku ngga masalah. Udah, istirahat ya. Aku temenin kamu disini.”

“Wangji, makasih hadiah ulang tahunnya. Makasih cincinnya. satu tahun kita pacaran, kamu selalu ngasih aku hal-hal yang indah. Dan ini hadiah terindah yang pernah aku punya. Maafin aku ngga bisa jadi pacar yang baik dan bahagian kamu.”

“Diem. Udah.”

“W-wangji, dengerin aku. Aku sayang banget sama kamu, aku cinta banget sama kamu. Aku mau nikah sama kamu, tapi. Tapi maaf, rasanya kaya Tuhan pengen aku jagain kamu aja. Jagain kamu dari jauh. Aku ngerasa kaya gitu.”

“Kamu bisa diem engga? Tidur aja mendingan, ya? Jangan ngomong dulu.”

“Hm, aku emang ngerasa ngantuk banget. Pengen tidur. Tolong, genggam tangan aku. Temenin aku tidur, ya?”

Menggenggam kedua tangan itu dengan erat. Memandang ranum wajah pucat pasi itu dengan tulus. Kekasihnya, ingin tidur.

“Weiying, tidur yang nyenyak ya, sayang. Aku bakalan tetep disini, sampai kamu bangun.”

Nyatanya, tidak ada lagi suara. Tidak lagi bisa terbangun. Weiying, telah menutup mata. Menutup kedua mata indahnya, untuk selama-lamanya.

FIN.

Pov; Xichen

Entah bagaimana mengeluarkan segala isi hatinya dan segala yang di pikirkannya. Dia merasa, semuanya semakin menakutkan. Rasa kehilangan yang pernah dia dan kedua adiknya lalui dulu, seperti akan terulang. Entahlah, hanya itu kata hatinya yang terus terngiang-ngiang dalam pikirannya.

Dia dan Shizui saling adu pandang. Saling tersenyum seperti menguatkan.

Keduanya seperti sama-sama tahu bahwa waktu itu akan datang. Waktu dimana Tuhan akan mengambil satu lagi kebahagiaan.

Dia berujar, terisak. Duduk sedikit berjauhan dengan adiknya. Sengaja, menjauh.

Dan batinnya berkata;


Wangji, kamu harus kuat. Ini operasi ketiga yang terakhir. Kamu harus bisa ngelewatin masa-masa ini. Inget, kakak sama Shizui nunggu kamu. Inget, Weiwuxian tunangan kamu. Kalian mau nikah kan 2 bulan lagi? Please, kamu harus sadar dan bangun. Sehat dan sembuh! Bantu kakak jagain Shizui, bantu kakak jalanin hidup ini. Tanpa kamu, kakak bisa apa? Kamu yang selalu tenang, kamu yang selalu bisa mengerti kakak. Shizui masih muda, masih kecil, masih kaya bayi. Kamu janji sama kedua orang tua kita buat jagain Shizui bareng-bareng juga kan? Tepatin, ya?”

Inget kan, kamu juga katanya mau punya anak sama Weiwuxian. Kamu katanya mau jadi suami yang bisa selalu bahagiaan dia. Ayo dong, semangat! Jangan lemah. Ini uda lewat 2 jam operasi, Wangji. Kakak ngga tau di dalem kamu berjuang seperti apa, tapi please. Kamu bisa.”


Menggenggam kedua tangannya. Menundukkan kepalanya. Berdoa dan terus meminta agar adiknya bisa melewati segala rasa sakit yang dia rasa.

Sedikit menangis tapi tak apa. Semuanya akan baik-baik saja. — batinnya.

Pov; Shizui

Lelaki kecil mungil, putra bungsu keluarga Lan ini kian cemas. Operasi kali ini tidak seperti biasanya. Kali ini, terasa begitu lama. Lalu lalang setiap pasien, perawat, penjenguk seperti tidak ada artinya. Ramai tapi seperti kosong. Berisik tapi seperti sunyi.

Shizui, tidak bisa meninggalkan tempat dimana ia berdiri saat ini, walau sedetik. Khawatir, cemas, takut, jantung terus berdetak kencang membuat dirinya serasa ingin menangis. Tapi tidak, dia tidak akan menangis. Dia berjanji pada dirinya sendiri dan kakak keduanya untuk selalu tersenyum. Yah, setidaknya untuk saat ini.

Ujar dalam relung hatinya;


Kak Wangji, kakak harus sembuh. Kakak harus kuat! Aku ngga tau apa yang ada di pikiran aku saat ini. Yang jelas, aku takut. Aku takut kakak pergi. Cukup kedua orang tua kita aja yang pergi, kakak jangan. Kalo kakak pergi juga, gimana aku sama kak Xichen? Kalo kak Xichen kerja, aku sendirian dong? Engga mau.”

Kak Wangji, kakak pernah bilang kan kalo kakak mau nikah sama kak Weiying? Katanya kalo kakak nikah nanti, aku yang bakalan ngurusin semuanya. Kakak bilang, kakak bakalan selalu ada buat aku sampai aku tua? Tepatin janji itu ya? Aku mau liat kakak nikah, punya anak, aku pengen punya ponakan, aku pengen liat kak Wangji sama kak Xichen bahagia. Aku pengen kita bertiga bisa hidup lamaaaaaaaaaa banget. Kakak harus bangun, kakak harus kuat. Jangan terlalu lama di dalem ya kak? Kau nungguin, aku capek kak. Aku ngga tega.”


Isi hati seorang adik. Isi hati seorang lelaki muda yang begitu mengagumi kakaknya.

Dan semoga, Tuhan mendengar segala isi hatinya.

Pagi itu

Hujan semalam sepertinya rata. Nuansa mendung nan gelap masih melekat hingga pagi ini. Tidak ada suara yang sengaja di bicarakan. Tidak ada canda tawa seperti biasa. Semua berbeda semenjak sepupunya buta. Hanya dentuman jam yang terdengar sesekali di dalam rumah bernuansa jingga.

Jiang Cheng, masih saja bingung mencari cara. Apa yang harus dia katakan pada sepupunya. Sedang keponakannya, Jinling, juga terus menerus menatap dirinya.

“Om, berhenti mondar mandir bisa ngga? Pusing liatnya.”

“Jangan panggil om, panggil kakak. Uda dikasih tau bolak-balik ngeyel aja.”

“Dih, lagian emang udah om-om kan? Ngelak mulu.”

“Diem! Nurut aja, bocah.”

“Om, ngapain sih? Kalo mau bangunin kak Xian ya bangunin aja??”

“Bukan masalah bangunin nya, tapi cara ngomongnya.”

“Ngomong apa?”

“Duh, tau kan Wangji lagi mau operasi? Kakak komen di tweetnya Shizui tadi.”

“Oh, terus?”

“Ya bingung aja gimana cara ngomong ke Xian kalo Wangji mau operasi. Takut ganggu dia tidur. Tau kan semalem dia susah tidur gara-gara mata kanan dia sakit? Tapi kalo dia ngga dikasih tau, dia bakalan ngamuk. Repot nanti.”

“Iya juga. Yauda mau gimana lagi? Bangunin aja. Daripada dia gak dikasih tau ntar marah. Malah nangis, kasian matanya.”


Menangis. Hal paling menyedihkan bagi Weiwuxian adalah saat dia menangis. Matanya menjadi sakit. Matanya menjadi perih. Karena itulah sebisa mungkin tidak ada yang membuatnya menangis. Terakhir kali dia menangis adalah saat dia dan tunangannya berdebat hebat. Terakhir dia menangis adalah sebelum dia kecelakaan. Menangis mencoba menjelaskan bahwa tunangannya hanya salah paham.

Menangis sebelum mobil yang di kendarainya menabrak mobil milik pengemudi lain malam itu. Hingga semuanya, tiba-tiba menjadi gelap. Itulah terakhir kali dia menangis.

Jiang Cheng tengah duduk di samping tempat tidur milik Weiwuxian. Menatap lurus pada tubuh rapuh sepupunya. Tidurnya, pulas. Selimutnya masih tetap menempel hingga dada. Posisinya, tidak berubah.

Jiang Cheng, bergumam lirih sendiri.

Gue gak tega bangunin lo. Tapi lo harus bangun. Lo bilang ke gue, lo pengen ngerawat Wangji. Padahal lo ngeliat aja ngga bisa. Lo bilang ke gue, kalo ada apa-apa sama Wangji, kasih tau elo. Tapi gimana gue bisa ngasih tau kalo lo nya aja juga menderita kaya gini.”

Weiwuxian, kenapa takdir jahat banget sama lo? Padahal lo sebaik dan setulus itu sama orang. Tuhan ngambil orang tua lo, Tuhan ngambil mata lo, dan mungkin Tuhan juga akan ngambil milik lo yang lain, tunangan lo. Semoga lo sanggup jalanin takdir yang jahat ini. Semoga lo bisa bertahan buat dapet pendonor buat mata lo.”

Jujur, gue capek kalo harus jadi lo. Gue gak tega setiap kali lo kangen Wangji, lo minta gue ngechat dia make nomer lo. Gue sakit sendiri liatnya ketika gue harus jadi lo. Gue harus balesin setiap chat dari Wangji ngewakilin lo. Ya meskipun Wangji tau, tapi kalo lo jadi gue, apa lo gak nyesek??”


Semua dialog itu hanya ada di benaknya. Kenyataannya, Jiang Cheng tidak akan tega mengatakan isi pikirannya pada sepupunya.

Perlahan membangunkan, perlahan menggerakkan tubuh sepupunya yang terlihat rapuh terpejam.

“Weiying, bangun. Hey, bangun.”

“Hmmm, masih ngantuk.”

Jawab sepupunya sedikit malas, sedikit merengek seperti biasa.

“Bangun. Buka matanya pelan-pelan. Rileks, terus duduk. Gue mau ngomong, penting.”

Perlahan membuka mata dan membenahi posisinya. Jiang Cheng membantu tubuh lemas itu bersandar.

“Kenapa sih? Uda siang ya?”

“Engga, masih pagi sih. Harusnya lo masih bisa tidur tapi ini penting, buat lo.”

“Apaan?”

“Pagi ini Wangji tunangan lo ada jadwal operasi. Gue baru tau dari tweetnya Shizui.”

“HAH? KOK LO GAK BILANG SIH?? INI UDAH JAM BERAPA GUE HARUS KESANA.”

“Tenang dulu, lo baru aja buka mata lo.”

“Lo jahat banget gak ngasih tau gue. Harusnya gue ada sama Wangji sekarang, nemenin dia. Gimana sih ah!”

“Gue bilang tadi kan gue baru tau juga. Makanya gue bangunin lo nih barusan.”

“Ck ah! Yauda gue siap-siap sekarang. Kita kesana!”

“Ya tapi lo baru bangun, Weiying. Lo harus makan dulu, minum obat lo. Lo harus berjemur juga, buat mata lo. Mata lo masih sakit ngga tuh?”

“Engga! Gue ngga kenapa-napa. Mata gue gak sakit. Bisa makan di jalan, di mobil. Bisa minum obat di mobil juga. Banyak cara buat ngurusin diri gue. Yang penting Wangji.”

“Dih, lo tuh ya.”

“Sekarang ngga? Kalo engga gue berangkat sendiri nih?”

“Yauda lo prepare aja dulu, gue siapin mobil. Jinling biar nyiapin bekal buat lo makan di jalan.”

“Hm. Cepetan ya, gue gak mau telat.”

“Iya. Tongkat lo nih, jalan yang bener.”


Sejak Weiwuxian membuka matanya. Tidak ada waktu untuk duduk seperti beberapa menit yang lalu. Semuanya sibuk, semuanya bergerak. Tidak ada yang diam.

TBC.

Malam dirumah sakit.

Malam ini, rintik hujan masih sanggup membasahi tanah. Masih bisa membuat genangan air di setiap lubang kecil di jalanan terbuka. Hawa dingin, sunyi dan sepi membuat setiap orang yang berada di luar mungkin akan merasa tidak nyaman, takut dan gelisah. Sama halnya dengan kedua lelaki yang saat ini duduk bersampingan. Satunya lebih tua sedang satunya lebih muda.

Shizui, adik paling bungsu keluarga Lan yang selama 17 tahun hidup tidak pernah se-gelisah malam ini. Tidak pernah lagi menangis. Terakhir dia mengeluarkan airmata saat dia berumur 12 tahun, saat dia terjatuh dari sepeda. Namun, dengan adanya kedua kakaknya, tidak membuat dirinya menangis terlalu lama.

Keluarga yang hangat meskipun hanya ada mereka bertiga. Tanpa ayah, tanpa ibu. Namun kini, dia menangis lagi.

“Kak, aku ngga mau kak Wangji pergi. Aku masih mau hidup sama kalian berdua. Aku ngga mau kakak atau kak Wangji hilang dari hidup aku.”

Ucap Shizui, menangis.

“Kamu ngomong apa? Wangji kan tidur, dia baik-baik aja kan? Lagian, kita harus percaya dia pasti bakalan sembuh. Jangan nangis.”

Tegasnya, Lan XiChen. Mencoba berfikir positive meskipun jauh di dalam lubuk hatinya, dia juga mengatakan hal yang sama. Sama seperti apa yang baru saja Shizui katakan.

Takut tapi saling menguatkan. Hancur tapi saling percaya.

Tidak ada yang bisa duduk tenang malam ini. Baik Shizui atau kakak tertuanya, Xichen. Mereka duduk dan berdiri secara bergantian. Jika satunya duduk satunya akan berdiri, jika satunya menangis satunya akan tegar. Keduanya seperti mempunyai sebuah trust issue bahwa Lan Wangji bisa saja tidur tapi tidak akan bisa bangun. Atau, bisa saja dia tidur tapi akan bangun dalam waktu yang tidak bisa di tentukan. Seperti sebelumnya, dia pernah koma.

Sakit jantung yang di deritanya hampir satu tahun ini, membuat kondisi fisiknya semakin lemah. Terkadang membaik terkadang memburuk, tanpa sebab. Kadang membuatnya hilang kesadaran kadang juga stabil, tak menentu.

Kesehatan dan kesadarannya seperti tergantung pada obat dan peralatan medis. Meski begitu dia masih bersikap normal. Normal hanya untuk menyembunyikan rasa sakitnya di depan saudaranya. Normal hanya untuk memalsukan kesakitannya. Dia tidak suka banyak berbicara, apalagi jika harus mengeluh. Itu bukan dia.

Entah, malam ini terasa begitu berbeda. Hujan tidak berhenti sejak hore hari. Semakin malam terasa semakin dingin. Semakin deras hujan semakin membuat kedua pria yang duduk disana gelisah. Dan obrolan-obrolan ringan memecah suasana.

“Kalo kamu capek, pulang aja ya. Tidur di rumah.”

“Engga kak, aku ngga capek. Aku mau disini sampai pagi, sampai kak Wangji bangun.”

“Kamu yakin? Kita bisa jagain Wangji gantian.”

“Engga! Hari ini kak Wangji operasi buat masang ring ketiga. Aku mau disini juga jagain. Ya?”

“Yauda, kalo gitu kamu tidur di dalem. Kan ada sofa di kamar rawat Wangji.”

“Iya, nanti aja.”

“Kamu mau makan? Biar kakak beliin ke minimarket deket sini. Kantin Rumah Sakit jam segini uda tutup.”

“Engga, aku masih kenyang. Aku bisa minum air putih yang aku bawa, itu uda cukup.”

“Shizui, jangan terlalu banyak mikir. Wangji ngga akan kenapa-napa. Ok?”

“Hm, aku tau.”

“Setelah operasi pagi nanti, kamu pulang ya. Istirahat.”

“Iya.”

Jawaban itu hanya dibalas dengan tepukan kecil oleh kakak paling besar di pundak Shizui. Isyarat bahwa semua akan baik-baik saja.


Setelah beberapa jam terlewati dan hujan mulai berhenti. Matahari terlihat berwarna dan para suster yang berjaga pagi mulai berlalu lalang di sekitarnya.

Jam menunjukkan pukul 06.00 yang menandakan kemungkinan Wangji sudah bangun dari tidur lelapnya.

Syukurlah, dia baik-baik saja. Masih bisa membuka mata dan bicara.

Shizui, yang sejak 2 jam lalu masuk dan tertidur di sofa, kini bangun untuk menyapa kakak keduanya. Disertai dengan suara pintu terbuka yang memperlihatkan dua sosok laki-laki yang tidak asing lagi baginya. Satu kakaknya satu lagi dokternya.

“Pagi Wangji, 30 menit lagi kita mulai operasi ya. Sebentar lagi suster kesini buat nyiapin semuanya. Jangan lupa minum air putih yang banyak. Ok?”

“Mn.”

“Makasih dok, tolong bantuannya buat adik saya ya.”

Saling melempar senyum. Tanda bahwa kedua lelaki yang tak lagi asing itu memberikan jawaban. Kini satunya telah keluar, hanya menyisakan Lan bersaudara di ruangan tersebut.

“Kak, gimana keadaan kakak?”

“Baik-baik aja. Ngga kenapa-napa. Ngga perlu khawatir, Shizui.”

“Wangji, jangan terlalu banyak gerak. Rileks, minum air dulu, 30 menit lagi harus operasi.”

“Kalian kenapa sih? Jangan terlalu kaku gitu. Aku ngga apa-apa. Lagian cuma operasi kaya biasanya kan.”

Shizui dan Xichen hanya bisa saling lempar pandang dan kemudian tersenyum. Tanpa menjawab apapun. Mengisyaratkan bahwa memang akan baik-baik saja.

“Kak, Weiying ngga kesini, kan?”

“Hm? Aku ngga tau, Wanyin ngga ngasih tau apa-apa. Kalo dia tau jadwal kamu operasi, dia pasti kesini kan? Ngga mungkin engga.”

“Dia, dia ngga tau. Aku ngga ngasih tau dia. Aku gak mau dia kesini, aku gak mau dia banyak gerak dan terlalu ngeluangin banyak waktu buat aku.”

“Wangji, Weiwuxian itu tunangan kamu. Dia pasti bakalan kesini. Dia pasti bakalan khawatir lah. Apa ngga jahat kalo kamu diem aja?”

“Aku rasa engga. Kakak tau kan, dia sekarang kaya gitu gara-gara aku. Dia .. “

“Wangji stop, kamu jangan terus-terusan nyalahin diri kamu sendiri. Itu cuma kecelakaan. Weiying buta itu bukan kesalahan kamu.”

“Tapi kak, kalo aja waktu itu aku ngga berantem sama dia dan aku mau bales chat dia, pasti semua ngga akan kaya gini. Seandainya aja waktu itu aku mau angkat telfon dia, semuanya pasti akan baik-baik aja.”

“Wangji, semuanya uda takdir. Weiwuxian ngga akan bertindak kaya gitu kalo dia ngga sesayang itu sama kamu.”

“Tapi tetep aja, semuanya salah aku kak. Aku yang salah. Aku yang uda bikin dia kecelakaan. Aku bikin dia buta.”

“Wangji udah. Stop nyalahin diri kamu sendiri kaya gini. Fokus aja sama kesembuhan kamu, ya? Kalo kamu sembuh, kamu bisa menebus rasa bersalah kamu ke Weiwuxian, iya kan?”

“Mn. Semoga.”


Waktu terus berjalan. Semua yang Xichen katakan itu benar. Fokus untuk sembuh, baru kemudian menebus kesalahan.

Tapi siapa yang tahu. Lan Wangji tetaplah Lan Wangji. Dia, berbeda. Dia, punya pemikiran yang berbeda di sudut kepalanya. Dia, berbicara dengan hatinya.

TBC.

Dear, Lian.

Hai, terima kasih sudah hadir dan nerima aku apa adanya. Terima kasih untuk hal-hal kecil yang baru aja kamu kasih buat aku. Jujur, semua itu terasa indah. Ah, aku bingung ngejabarinnya.

Jujur, hatiku masih ada sedikit luka. Dan luka itu, masih suka tiba-tiba ada tapi tiba-tiba juga pergi. Aku ngga tau kenapa, ngerasa kalau kamu akan jauh lebih baik dari dia. Dan semoga itu jadi nyata.

Bantu aku buat ngelupain segala hal tentang dia, bantu aku buat ngelupain segala rasa sakit yang aku rasa. Aku bukan perempuan sempurna, aku tahu aku pun ngga akan bisa jadi seperti yang kamu minta. Tapi, aku bisa setidaknya, mengerti dan mengenal kamu untuk jauh lebih terbuka.

Terima kasih untuk ngga selalu nanya tentang masa lalu aku gimana. Terima kasih karena uda tiba-tiba ada.

Lian, semoga aku jadi satu-satunya wanita yang akan selalu kamu terima.

With love, sso.

WangXian Au — Part 84.

tw // nsfw , rated , dirty talk , explicit content , porn

Enjoy!


“Anghh .. w-wangjiihh .. Eunghh .. punya kamu, ge-gedhee bangetthh ..”

“Um? Apa yang gede, Weiying? Kontolnya?” — Sambil terus menusukkan kejantanan besar miliknya yang benar-benar sudah mengeras.

“Enghh .. I-iyhaa.. Kontol kamu gedhe ba—Ahhnghh bangeth.”

“Suka ngga? Gedean mana sama punya Huacheng, hm?” — Tanya Wangji sambil memainkan puting susu milik .. Entahlah? Dia bukan kekasihnya, tapi Wangji suka.

“Punyah kamuh .. Gedheehh .. Eunhh .. Akhh .. Lebihh .. Onghh.. Gede!” — Merasakan lubangnya yang kini tengah penuh dan di mainkan secara nyaman oleh pria kesayangan-nya.

“Anghh.. Weiying. Aku pengen di sepong!”

“Enghh .. Kalo peng-Akhh pengenhh di sepong, lepas dong kontolnya dari lu-eunghh lubangh akuhh.”

Tak lagi bisa menahan birahi yang kini keduanya rasakan. Sesak nikmat yang mereka rasa saat ini begitu memuncak. Membuat batang keduanya terus mengeras dan memerah ruah. Lubang merah milik Weiying masih enggan dilepaskan oleh Wangji. Masih terlena akan nikmat milik kesayangan-nya.

Kedua insan yang kini terengah-engah dalam birahi napsunya mulai menciumi bibir satu sama lain. Basah akan saliva yang di sebabkan permainan lidah itu semakin membuat keduanya tak tahan. Seperti, ingin keluar.

“Mmph .. Wanghhji .. Ayo .. aku sepong kontolnya.” — Memutus pergerakan lidah dan bergegas untuk bertukar posisi seperti yang Wangji ingini.

“Ughh .. Kontol kamu gemes banget sih. Aku suka! Mau aku sepongin sampe keluar, boleh?” — *Rayu-nya sambil sedikit menggeliat layaknya lonte binal di luar sana.*

“Sepongin! Iya, sampe keluar. Kalo bisa keluar pejunya di mulut kamu, ya?” — Kalimat ini, membuat Weiying benar-benar bergetar. Napsu dan cinta nya kini menjadi satu. Tidak tahu lagi akan jalan pikirannya, kini dia mulai memasukkan batang besar milik kesayangan-nya ke dalam mulut hangatnya.

“Mmpphh .. Mmpphh ..” — bunyi blopblop akibat sepongan Weiying makin membuat suasana semakin panas.

Wangji yang kini tengah berbaring dengan penisnya yang di sepong, mulai merasa liar. Otaknya tak lagi bisa berfikir lurus. Dia hanya ingin Weiying terus mengeluar masukkan penis besar miliknya ke dalam mulut kecilnya. Sampai penuh sampai keluar.

“Weiying, berdiri. Aku mau kita ngewe sambil berdiri. Lepasin sepongan kamu, Ok?”

Entah, kali ini Lan Wangji benar-benar ingin mencoba semua sex style yang ada di pikirannya. Mendominasi Weiying untuk berhenti dan segera mungkin memasukkan penis merah besarnya ke lubang anal milik kesayangannya.

Dengan posisi keduanya berdiri. Saling menatap wajah satu sama lain, kemudian berciuman dan bertukar saliva. Weiying mulai melingkarkan kaki kirinya pada pinggang Lan Wangji. Mengisyaratkan bahwa kini lubangnya sudah siap untuk dimasuki.

“Lobangnya uda gatel, hm? Mau langsung dimasukin sekarang?”

Kata-kata Wangji terdengar panas di telinga Weiying. Tak perlu lagi merengek, Weiying langsung meraih penis Wangi dan memasukkan sendiri ke lubang mungilnya.

“Ayo gerakin. Aku gak tahan! Ini uda masukkan.” — Ucapnya dengan sedikit melenguh.

“Kamu nakal banget ya. Lonte!”

“Tapi kamu suka kan? Ayo dong Wangji mainin. Ini lubang aku uda penuh.”

Tak mau terlalu lama penis besarnya di dalam lubang anal Weiying, Wangji mulai menggerakkan di dalam. Mengeluar masukkan kejantanan-nya dan mereka saling mendesah.

“Eunghh .. Akhhh .. Enaakkhh .. Wang—jiihh .. Unghh .. Eunghh ..”

“Enak, heum? Mau lebih cepet lagi ngga?”

“Ma—ngghh .. Mauu .. Akhhh .. Lan Wanghhh .. Aahh ... Penuh .. Akuhh pen—eunghh penuh ..”

“Ayo sayang, sebut nama aku. Panggil aku Kak Wangji.”

TBC

MingLing

Explicit Content // Nsfw // Porn // gxg // Out Of Control // dirty words // PWP // 🔞

Enjoy!


“Hualing, buka! Katanya mau aku ewe, kan? Ngangkang yang lebar dong, Sayang.”

“Eungh, kak Mingyan ngga mau foreplay dulu?” Ucap Liu Mingyan yang terlihat sudah tanpa busana diatas ranjang empuk dalam kamarnya.

”Oh, jadi kamu mau di buat mainan dulu ya memeknya? Mau, eum?”

”Kak Mingyan, aku suka dimainin. Buat aku makin horny please biar aku bisa klimaks, ya?” Sambil mengeluarkan puppy eyes gemas miliknya, Hualing mencoba menggoda Liu Mingyan.

“Ya, ok! Ngangkang dulu yang lebar. Aku mau liat memek kamu yang merah itu, mau aku emutin sampe basah.” Ucapnya sedikit mendominasi.

Hualing, perlahan membuka lebar selangkangan miliknya. Memperlihatkan dengan sengaja bentuk vagina yang baru saja terlihat merona di mata Mingyan.

”Ngh.. Udah kan? Kak Mingyan please jilat memek aku. Aku ngga tahan ih.”

”Oh shit! Lonte aku emang selalu bisa bikin aku serseran, ya. Aku mau jilat memek kamu, mau aku emutin sampe kamu nangis. Liat aja.”

”Iya, ayo bu—enghh.. Kak Minghh.. Yanhh. Aghnn.. Aahh.. Shitt Nghh .. Fakh.. Kakkhh..”

”Iya sayang, moaning nama aku. Yang kenceng, teriakin nama aku yang kenceng.”

”Enghh.. Enaakh ..” Ucapnya lirih dan bergairah.

Read more...

Breathless.

Happy anniversary 1 year Bingqiu. Yeah, congrats! ❤️

Malam itu adalah hari Anniversary Luo Binghe dan Shen QingQiu. Selama satu tahun bersama, ini adalah kali pertama untuk keduanya melakukan hubungan intim. Yep, sebelumnya mereka hanya melakukan kissing and touching. Selebihnya, nothing happen between the two of them, lmfao.

Di sebuah kamar hotel bintang lima, dengan Room Type Ambassador terdengar suara yang pasti akan membuat orang lain yang mendengarkan bergidik merinding. Atau mungkin, orang yang bisa mendengarkan desahan itu akan berkata, Oh shit, go fuck yourself.

Binghe yang saat ini sedang mendominasi kekasihnya Shen QingQiu, tak bisa lagi menahan segala rasa gejolak yang kian membaur dalam detak jantungnya. Melihat lelaki yang lebih tua itu tengah bermanja diatas kasur King Size tanpa sehelai busana membuat birahinya kian naik turun dengan wajah yang memerah.

Author; Oh fuck I hate it here.

Binghe perlahan mendekati ranjang besar itu tanpa bisa mengalihkan pandangannya sedikitpun. Menahan sesak dalam dadanya, menatap lurus ke depan, tepatnya pada tubuh putih telanjang milik sang submissive-nya, Shen QingQiu.

“Kak shen.. malam ini aku gak mau manggil kamu kak shen aku mau manggil kamu Shen QingQiu aja. Boleh, eum?”

“Binghe, kamu boleh ngapain aja malem ini. Aku, ngga akan nolak apapun itu.”

Oh shit, good boy Shen QingQiu.

Perlahan mencium kening sang submissive, turun ke hidung mancungnya lalu meraih bibir merah kekasihnya. Mengecupnya perlahan, melumatnya penuh gairah dan berakhir dengan sedikit gigitan mesra sang dominan.

“Eungh .. Aah .. Bi.. Binghe. Pelan-pelan.. Agak sakith.” Bisik Shen QingQiu perlahan.

“Sakit, eh? Tapi suka kan?” Jawab sang dominan yang kini wajahnya semakin mendekat.

Sambil terus mendekat, Binghe berkata; “Shen QingQiu, boleh aku masukin, eum? Aku ngga tahan lagi. Please?”

Shen QingQiu hanya bisa menggangguk patuh. Tak bisa memungkiri bahwa dirinya juga menginginkan hal yang sama. Ia ingin di sentuh, dimasuki dan dimanja oleh dominan-nya.

Desk lamp yang tadinya masih menyala, telah di matikan dengan sengaja. Suasana remang saat ini begitu mendukung keduanya untuk mengeluarkan segala rasa dan napsu birahinya. Oh God.

“Aahh .. Eungh .. Eungh .. Bi.. Binghe .. Jangan lama-lama. Aku ngga tahan, masukin sekarangh yah.” Shen QingQiu sedikit tidak sabar.

“Sabar dong sayang, bentar lagi ya. Aku masih mau ciumin leher kamu.”

“Eungh .. Please? Masukin.”

“Oh fuck Shen QingQiu, ngga tahan ya? Oke aku masukin sekarang yah.”

Binghe yang saat ini berhenti mencium leher sang submissive, mulai bergerak perlahan memasukkan miliknya itu ke lubang mungil yang masih memerah milik kekasihnya. Perlahan tapi pasti, perlahan tanpa ingin menyakiti kekasihnya, Ia mulai memasukkan miliknya sedalam-dalamnya hingga keduanya merasakan rasa yang luar biasa dan spontan mendesah; “Aahh ..”

“Oh fuck Shen QingQiu, lubang kamu rapet banget ya. Aku suka. Boleh aku mainin, heum?”

“Eungh, Bo .. Boleh Binghe.”

“Good boy, Shen QingQiu”

Binghe pun langsung memainkan lubang kemerahan itu. Mengeluarkan masukkan barang miliknya perlahan, terus perlahan hingga tanpa sadar hentakan itu mulai terdengar.

”Bloop .. Bloop .. Bloop.. “

“Angh.. Eungh .. Bing.. He .. Oohh.. Ffuc.. Fuck .. Pel .. Pellan .. Eughn ..”

Entahlah, semakin Shen QingQiu memintanya bergerak pelan semakin meningkat birahi Luo Binghe.

Kali ini tidak hanya hentakan lembut, namun beruntun semakin cepat dan intens. Sambil bergerak sambil mereka menikmatinya dengan ciuman. Ciuman panas, bermain lidah, dengan suara lenguhan sang submissive yang berada di bawahnya.

“Mmmhh .. Emnggh .. Aah .. Ooh .. Mmhh ..”

“Enak, eum? Mau lebih keras ngga?” — Tanya Binghe dengan wajah sedikit lebih gerah.

“Emh .. Mm .. Mmauu .. Aku mmauuh ..”

Dengan sedikit smirknya, Binghe mulai bergerak naik turun. Menggeluar masuknya penisnya yang sedari tadi belum ia lepas dari lubang merah milik Shen QingQiu.

Kali ini bergerak lebih bergairah, lebih panas dan lebih memuaskan dari sebelumnya. Hingga Binghe tak bisa menahan lagi rasa ingin ber-ejakulasinya. Ia keluarkan cairan kental yang berbau manis itu tepat pada perut Shen QingQiu.

“Aahh .. Eeungh .. Oh fuck Binghe ..”

“Ssttt .. diem.”

Binghe tidak mengizinkan Shen QingQiu untuk berbicara saat ia sedang ber-ejakulasi.

Shen QingQiu yang masih berbaring di bawah Binghe hanya bisa diam dan menuruti perintah sang dominan.

“Oke, udah. Kak Shen capek, hm? Atau mau lagi?”

“Aaah, engga. Malu tau.”

“Haha, lucu banget sih kak Shen. Boleh aku cium?”

“Boleh, cium bibir ya.”

Mereka pun berciuman. Merasakan sentuhan lembur bibir masing-masing. Melumatnya sembari menutup mata. Dan berakhir dengan Binghe yang kemudian mencium kening Shen QingQiu.

“Kak shen, you did well just now. Makasih ya.”

“Udah Binghe, Ini Anniv kita jadi aku mau ngasih semuanya sama kamu.”

Jawab Shen QingQiu sedikit tersenyum, sambil menutupi tubuh tanpa busana-nya dengan blanket putih yang ada di genggaman-nya.

Kini keduanya, Luo Binghe dan Shen QingQiu berbincang santai di atas kasur King Size miliknya. Shen QingQiu menyenderkan kepalanya pada pundak Binghe. Begitu juga Binghe yang dengan penuh sayang menopang kepala Shen QingQiu.

Menghabiskan waktu berdua semalam di hotel termewah saat itu. Tidak membuat keduanya berhenti hanya satu ronde. Tentu saja mereka akan melakukan beberapa ronde lagi hingga mereka puas. Atau bisa juga, mereka akan berhenti saat waktu check out tiba? Who knows, lols.

Well, They having sex for the first time and they did it well. They love each other and .. Happy Anniversary, once again.

THE END

Gone

Hari semakin petang, langit berangsur menjadi gelap. Saat itu, Sanlang mulai bergegas menghampiri rumah Xie Lian secara diam-diam. Mengenakan stelan coat hitam tebal miliknya disertai dengan turtleneck hitam yang membuatnya tampak begitu ellegant. Menuruni satu demi satu anak tangga rumah mewahnya lalu masuk dan mengendarai mobil Audi hitam miliknya. Dengan sedikit tergesa-gesa ia mulai bergegas.

Pikiran penuh dengan kekacauan, jari jemari dengan erat menggenggam kemudi, berniat agar ia cepat sampai di tempat tujuan. Kaki menekan gas mobil begitu kencang, menyusuri jalanan luas tanpa seorang pun berlalu lalang.

Entah mengapa, Sanlang begitu intens menatap layar handphone yang kini ada dalam genggaman tangan kirinya. Mencoba untuk mengirim sebuah pesan pada seseorang dengan begitu seriusnya.

Lima belas menit mengemudi dengan kondisi jalanan yang begitu tenang, membuat Sanlang sedikit melajukan injakan gas-nya dan bergumam “Ah mumpung sepi, gas aja deh.” Batinnya.

Rintik demi rintik hujan terlihat jelas berjatuhan di atas kaca mobil miliknya, membuat Sanlang tidak bisa begitu memperhatikan pandangan di depannya. Sebentar menyipitkan mata sebentar melebarkan mata.

Entah mengapa, cuaca hari ini tidak seperti biasa. Tiba-tiba mendung tiba-tiba hujan. Seperti, akan ada sesuatu yang terjadi. Tapi entahlah, apapun yang akan terjadi biarkan saja terjadi. Sanlang hanya ingin fokus untuk mengawasi pujaan hatinya, Xie Lian.

”Ge, please jangan aneh-aneh. Feeling aku gak enak. Semoga aku bisa jaga kamu dari jauh.” Ucap Sanlang dalam hati, lirih.

Hingga kemudian ..

”Braaaaaaakkk ..” Suara keras terdengar di hamparan jalan yang luas. Hujan tampaknya membuat suasana lebih mencekam, bersamaan dengan langit mendung yang tak memberikan sedikit penerangan. Cuaca tak membuat orang lain menaruh simpati pada sebuah mobil yang kini mengeluarkan bau dan asap. Bau mesin, darah, dan air hujan menyatu dalam gelapnya malam. Tanpa orang tahu bahwa disana, di tempat itu, ada sebuah kecelakaan tunggal yang berakibat fatal.