ssó

Dingin.


“Ren, lo ngapain aja seharian di perpus kota?”

“Ya belajar. Nemenin kak Jeffey nyari bahan skripsi. Pas makan doang dia ngajakin gue keluar.”

“Oh gitu. Lo kenal deket sama kating lo itu?”

“Mm, uda kenal lama sih cuma deketnya baru sebulan ini.”

“Ohya? Sama gua, lama’an mana kenalnya?”

“Hahaha, ya sama lo lah, Harfa. Sama lo kenal dari SMP gila.”

“Oh.”

Obrolan singkat itu sedikit memecah suasana. Tidak ada rasa canggung bagi keduanya untuk saling bercerita. Namun, ada sedikit celah di relung hati terdalam milik Harfa saat Reno terlihat merona ketika menyebut nama-nya.; nama orang lain, dan tentu saja bukan dia.

“Yauda, lo uda makan kan. Sekarang tidur, besok lo kuliah kan?”

“Iyanih, males banget deh.”

“Besok kelas jam berapa?”

“Jam 9 pagi. Eh, anterin ya?”

“Iya, tapi berangkat rada awal ya soalnya gua kerja juga jam 9.”

“Iya oke. — Harfa, dingin.”

“Huh? Masa sih? Perasaan biasa aja tuh?”

“ACnya?”

“Temperaturnya uda 25 derajat. Masa lo kedinginan?”

“Iya, dingin.”

“Mau gua peluk?”

“Mauuu.”

“Yauda, deketan sini.”

Kedua lelaki itu saling bertaut badan. Mendekatkan setiap jengkal kulitnya satu sama lain untuk mendapatkan kehangatan.

Sesekali, jantung Harfa berdegup begitu kencang. Mungkin Reno pun bisa merasakan tapi sayangnya, ia hanya akan berfikir itu mungkin hal biasa saja.

Berbeda dengan Reno. Harfa menyadari bahwa degupan itu adalah sesuatu yang berbeda. Rasa yang aneh yang akhir-akhir ini sering ia rasa. Bahkan jauh sebelum Reno tinggal satu ruangan dengan dirinya.

Dan hari ini, perasaan aneh tak menentu itu tumbuh terasa semakin kuat. Tapi, Harfa masih belum menyadari perasaan seperti apa yang kian mengganggu pikirannya.

Paradise bar.


Gerimis malam ini seperti datang untuk menemani Lan Wangi. Si tampan yang sedari tadi mengencangkan gas motornya, sedang memecah hiruk pikuk jalanan kota agar cepat sampai pada Paradise Bar yang kini ia tuju dengan terburu-buru.

Jangan macet please. si Iyan, kenapa lo polos banget? Dan kenapa juga lo mau aja diajak ke Bar itu? Please Yan, lo jangan aneh-aneh dulu. Lo jangan kenapa-napa dulu. Ngga ada yang jagain lo. Please, tunggu gue.

Gumam Wangji dalam hati.


Wangji yang baru saja sampai di tempat ramai dan brisik itu, langsung berlari masuk mencari teman mungilnya. Membelah kerumunan manusia yang tengah berdiri berdansa begitu gilanya.

Pandang matanya terus saja melirik kesana dan kemari. Tak menemukan sosok kecil itu di tempat ini. Menelfon pun terlalu lama, pikirnya.

Dengan baju yang sedikit basah akibat hujan di luar sana, tidak menahannya untuk terus bergerak mencari teman mungilnya.


Paradise Bar, adalah tempat untuk bersenang-senang bagi para kaula muda dan tua. Tua namun kaya.

Intinya, tempat ini adalah tempat mabuk yang paling elite dan sedikit berbahaya.


15 menit sudah Wangji berlalu lalang mencari Weiwuxian. Rasa khawatir membuatnya tak bisa berhenti untuk tetap mencari. Hingga akhirnya, sosok mungil berambut legam hitam itu terlihat diujung sana.

“YAAAN ..”

Benar. Itu benar Weiwuxian. Pria kecil yang kini sudah lemas kepalang itu begitu bau. Bau alkohol yang menguar dari mulut dan badannya terasa sangat kuat. “Sebanyak apa ia minum? — Wangji tidak tahu lagi.

“Jii ..”

“Yan, lo kenapa jadi gini sih?”

“Lo minum berapa gelas gila?”

“Uda gue bilang dua.”

“Dua tapi kenapa bisa kaya gini?”

Pertanyaan yang penuh gelisah itu Wangji lontarkan. Sambil menopang tubuh lunglai sahabat kecilnya yang kini sudah berada dalam jangkauan-nya.

“Jii, jangan ngomong. Jangan marah sama gue, Ji. Gue takut.”

Wangji hanya diam. Hanya bisa memandang dengan jarak dekat dan membawa lelaki itu keluar.


Dibawanya tubuh kecil itu untuk naik keatas motor besarnya. Sedikit gerimis, tapi apa daya? Jarak antara Paradise Bar dengan kost Iyan tidaklah begitu jauh.

Kehujanan sedikit tidak akan membuat mereka sakit.

“Yan, gue anter lo pulang. Lo masih bisa duduk kan?”

“Hm, bisa. Gue kuat. Duduk doang kan?”

Jawabnya sedikit sayu.

“Oke kalo gitu. Lo peluk gue. Peluk yang erat. Jangan di lepasin.”

“Iya, Ji.”

“Kita bakalan keujanan, Yan. Gapapa, kan? Daripada nunggu ujan reda, nanti makin lama. Naik grabcar juga gue malah kepikiran nan—“

“Diem, Ji. Jangan ngomong lagi gue mau muntah. Pala gue panas banget. Gue mau pulang.”

Pinta Weiwuxian sedikit lelah.

“Peluk gue.”


Keduanya kini berjalan menerpa hujan malam. Dingin tak begitu terasa bagi Lan Wangji, sebab di belakang sana ada seorang laki-laki yang sedang memeluk erat tubuhnya.

Laki-laki yang setengah sadar itu tengah menopangkan badannya pada punggung sang dominan.

Sambil menangis dibawah air hujan ia berkata,

Ji, meluk elo kaya gini kenapa rasanya anget banget? Padahal kita lagi keujanan.

Lagi,

Ji, gak tau kenapa gue nyaman banget sama lo.”

Sekali lagi,

“Ji, jangan ninggalin gue, ya?”

Sayangnya, semua kata itu hanya ada dalam hati.

Berantakan.


Ketika seseorang sedang menjalin cinta, dunia seakan tak bisa mencegah. Hanya desahan manja yang akan di dengar. Hanya umpatan-umpatan cinta yang seakan membakar akal sehat manusia.

Begitu juga Lan Wangji dan Weiying-nya.

Terlalu bergemuruh nafsu mereka. Hingga tak hiraukan ada sebuah suara yang sedang memanggil sebuah nama.

“Sayang? Weiying? Kok ngga ada jawaban? Kamu dimana?”

Berjalan menyusuri setiap sudut ruangan. Mencari sosok indah yang tengah ia rindukan.

“Weiying? Kamu dimana deh kok ngga nyautin?”

Sekali lagi, Hua Cheng menggemakan suara.

“Oh mandi ya?”

Mandi?” — Pikirnya.

“Tapi mandi kok ngga ada suaranya?”

Sepertinya ia mulai curiga.


Jantung seperti di tarik paksa. Mata melihat seakan tak percaya dengan apa yang di lihatnya.

Badan itu, tubuh yang selalu ia sentuh. Lubang yang selalu ia masuki, kini dijamah oleh laki-laki yang bahkan tak begitu ia kenali.

Terlihat begitu jelas setiap lekuk tubuh kekasihnya. Telanjang dihadapannya.

“APA-APAAN NIH? WEIYING LO GILA APA GIMANA? KENAPA LO TELANJANG?? LO GAK PAKE BAJU SEHELAI PUN?? LO NGAPAIN HAH??”

Melangkah kan kakinya menuju kedua manusia disana.

Menatap tajam dan mengepalkan buku-buku jarinya.

“KURANG AJAR LO. LO APAIN LAKI GUA HAH? LO SIAPA? BERANI BANGET LO NYENTUH PUNYA GUA??”

Teriaknya sambil menghantamkan dua pukulan pada wajah Lan Wangji. Satu kanan satu kiri, tanpa peduli.

“LO JANGAN-JANGAN LAN WANGJI ITU YA KAN?? NGAKU DEH!!”

Dia berbalik menatap Wei Wuxian dengan tatapan tajam.

“DIA SIAPA? BILANG KE GUA DIA SIAPA?? LO GAK TAU DIRI BANGET BISA NGEWE SAMA ORANG LAIN PADAHAL LO PUNYA GUA?? LO SINTING HAH?? LO NGELONTE APA GIMANA? APA JANGAN-JANGAN GAK CUMA GUA SAMA SI BRENGSEK INI YANG LO TIDURIN?? NGAKU LO, BANGSAT!!”

“Plaaaak ..”

Hua Cheng, memukulnya. Dia memukul kekasihnya.

“Plaakk ..”

Sekali lagi memukulnya.

“Plaaak .. Plaaak”

Lagi. Ia memukulnya lagi, hingga badan kecil itu tersungkur pada dinginnya lantai di bawah sana.

“Berhenti. Jangan mukulin dia, pukul aja aku. Dia ngga salah.”

Lan Wangji mencoba membela.

“Ngga salah? HAHA lo bilang gak salah?? Terus lo mau bilang yang salah elo? HAHAHA gua gak bego, BANGSAT!!”

“Lo kira gua bakalan percaya? Dia aja gak ada pembelaan. Dia juga keliatan enak-enak aja lo masukin??? Dia ngedesah keenakan waktu gua masuk dan gua cukup bisa ngedenger itu semua!! terus lo bilang dia gak salah???? HAHA GILA LO PADA.”

Tanpa jeda, Hua Cheng mulai memukuli lagi Lan Wangji.

Bertubi-tubi, berkali-kali. Bahkan pukulan itu dirasa kurang daripada rasa sakit yang baru saja ia rasa.

Marah. Hatinya hancur karena hal semacam ini akhirnya terjadi juga.

“Sanlang, uda stop jangan mukulin Wangji lagi aku mohon.”

“Dia gak salah. Aku yang salah. Aku nyuruh dia kesini, aku minta dia buat kesini, aku bahkan yang godain dia. Please stop jangan mukul lagi.”

Entah, Weiwuxian saat ini tengah memohon pada kekasihnya. Memohon ampun pada kekasihnya untuk teman masa lalunya.

“HAHAHAHA, OH JADI EMANG LO BERDUA PADA MAU YA?”

“GUA GA HABIS PIKIR SAMA LO WEIYING. GUA CINTAIN LO BANGET GUA SAYANGIN LO BANGET. GUA KERJA KERAS BUAT LO, BUAT NGEHIDUPIN ELO. APARTMENT INI JUGA GUA BELI BUAT LO ANJING. JANGAN LIAT GUA KARENA SANGE NYA GUA DOANG, LO TEGA BANGET GUA GAK TAU LAGI. KITA BAHKAN UDA SEJAUH INI TAPI KENAPA LO DENGAN GAMPANGANNYA NGASIH APA YANG SEHARUSNYA CUMA JADI MILIK GUA KE DIA?? DIA ORANG LAIN LO TAU!!”

“Iya, aku minta maaf. Aku tau aku salah dan ak—“

“Plaaaakk ..”

Sekali lagi. Sekali lagi tamparan itu mendarat pada pipi halusnya yang kini mulai memerah.

“DIEM! LO DIEM! SAAT INI JUGA GUA GAK MAU ADA HUBUNGAN SAMA LO.”

“DAN YA, LO GAK PERLU PERGI DARI TEMPAT INI BIAR GUA AJA YANG PERGI. APARTMENT INI BUAT LO! BUAT LO NGELONTE SAMA SI BAJINGAN INI.”

“Sanlang .. Please aku mohon dengerin aku dulu. Kita bisa ngomongin ini baik-baik dan ngelarin ini baik-baik kan?”

“LO GILA?? BAIK-BAIK APAAN? LO LIAT GUA SEKARANG GIMANA? BAIK-BAIK AJA KAH??”

“Tapi—“

“CUKUP! MULAI SEKARANG KITA PISAH!!”

Tbc.

Pulang.


Rasa rindu dalam hatinya kian bergemuruh. Seperti mengatakan “ayo pulang.” Hua Cheng yang saat itu memang tengah merindukan bulannya berencana untuk menginjak gas mobilnya melaju lebih cepat.

Berkhayal dalam setiap menit waktunya apa yang akan ia lakukan saat kembali dan melihat kekasih cantiknya.

Parasnya, tubuhnya dan setiap affeksi yang diberikan oleh kekasihnya selalu membuat ia terlena. Cinta dan nafsu selalu tumbuh setiap malam pada saat keduanya bercengkerama.

Hua Cheng berkata,

“Kangen banget. Sampe rumah pengen gua pelukin tu anak.”

“Lucu banget. Selama ini gue terlalu over ngatur dia dan nyuruh dia seakan dia lonte. Tapi sebenernya, gua cinta banget sama dia.”

“Gua gak bisa liat dia deket sama yang lain. Cuma gua yang bisa nyakitin dia, selain gue jangan harap.”

“Kira-kira, Weiying lagi ngapain ya? Pengen gua kasih tau kalo gua uda otw pulang, tapi gak deh. Mau surprise. Dia pasti kaget dan komuknya pasti gemesin haha.”

Ih kamu kok tiba-tiba pulang aja sih?”

Kenapa ngga ngasih tau kalo mau pulang kantor? Tau gitu aku mandi kan biar seger?”

Sanlang gege, jangan gitu lagi aku kesel loh.”

Sanlang yang baru saja menirukan apa yang kira-kira akan dikatakan Weiying saat tahu dirinya tiba-tiba saja datang.

“Haha, dasar, Weiying. Gemes bener jadi orang. Beneran makin kangen. Bentar lagi sampe.”


Sementara disana. Di apartment minimalis itu tengah terengah-engah dua sosok lelaki dewasa yang sedang menjalin cinta.

Merasakan setiap nikmat dunia dengan saling menyentuh dan bergairah.

Tak tahu bahwa sebentar lagi akan ada sebuah bencana hati yang akan menghancurkan ketiganya.

Tbc.

The blue ocean; Afterlife.


warning; heavy angst | major character death | baku | fictional story | sea creature | hurt-comfort | bxb | age-gap | wangxian main pair | hualian side pair | fantasy

mention of ancient greeks.


“aku, mencoba mati berkali-kali hanya untuk melihatmu.”


16 November 1975.

Masa lalu.

“Biarkan aku mengikutimu. Hidupku takkan seindah saat kau bersamaku. Hari-hariku takkan sehangat saat kau di dekatku. Aku tak lagi merasa aman jika kau pergi.”

“Disini, diatas kapal besar ini. Biarkan aku menjadi buih dan melebur bersama udara mengarungi samudera.”

“Tunggulah, aku pasti akan datang. Menggenggam erat tanganmu dan saat itulah giliranku untuk menjagamu.”

Byuuurr ..

Suara riakan laut bergemuruh malam itu. Malam dimana seorang anak laki-laki berumur 15 tahun, menjatuhkan dirinya dari tingginya kapal pesiar untuk mengakhiri hidupnya.

Pukul 11 malam. Dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya karena keputus asaan dan rasa tak siap karena kehilangan.

“Saat itu, aku merasa dinginnya air laut menusuk hingga ke tulang dan persendian. Aku seakan sanggup melawan dunia padahal aku sudah tak lagi bisa bertaruh nyawa. Nafasku mulai berat, air terus menerus masuk kedalam lubang hidungku. Mataku tak sanggup lagi terbuka. Perlahan keseimbanganku melemah. Aku tak lagi bisa merasakan kakiku bertumpu. Niatku, ingin akhiri semua ini. Tapi entahlah, saat aku kehilangan kesadaranku, disana seperti ada sosok indah yang kemudian merengkuh tubuh dinginku.”

“Aku hidup. Aku gagal mengakhiri hidupku. Seseorang menolongku.”


25 Desember 1976.

Masa lalu — Malam Natal.

“Di setiap malam Natal, aku dan keluargaku akan selalu berkumpul. Di sebuah Gereja Santa Maria, aku dan kakak-ku selalu berdoa. Setelahnya, kami akan merayakan Natal dan bertukar kado bersama. Membuka kado itu di atas sofa dekat perapian.”

“Suasana selalu hangat. Kakak-ku begitu menyayangiku. Dia melakukan segalanya untukku. Saat hari dimana aku pertama kali mengakhiri hidupku, dia lah yang sangat merindukan aku. Dia menjagaku hingga tak kenal waktu. Dia merawat dan membesarkan aku tanpa mengeluh. Yah, kakak yang hebat. Sungguh!

“Namun lagi-lagi, aku harus merepotkannya. Aku harus melukainya. Aku merasa hampa, hatiku kosong dan tak berdaya. Aku begitu merindukan-nya. Hingga tanpa sadar, aku berjalan menuju keluar. Aku terus berjalan hingga ditepian lautan. Kebetulan, rumah mewah kami dibangun dan dirikan di dekat laut, karena aku dan kakak-ku sangat suka dengan air. Kami selalu menghabiskan waktu di tepian laut. Aku yang akan berlari dan menepi, sedang kakak-ku akan melukis matahari dan segala isi bumi.”

“Aku terus berjalan sambil menangis. Aku merindukan-nya. Aku memanggil nama-nya. Tapi semua sudah berubah. Tidak akan ada lagi yang datang saat aku memanggil dan berteriak. Takkan ada lagi suara lembut yang dapat menghentikan semua gerakan.”

“Hingga sekali lagi, untuk yang kedua kali, aku ingin mengakhiri hidupku sendiri.”

“Aku biarkan tubuhku tenggelam. Aku biarkan dingin nya malam Natal menjadi saksi suasana dimana aku akan hilang. Aku biarkan kakak-ku di dalam sana menghabiskan cokelat panasnya tanpa tahu bahwa aku akan meninggalkannya. Yah, sekali lagi mencoba meninggalkannya.”

“Aku telah di penghujung nafasku. Tubuhku seperti layu. Nafasku mulai melemahkanku. Aku merasa sebentar lagi aku akan berada di surga, bersama-nya.

“Aku melihat, sosok indah itu samar-samar merengkuhku. Memelukku erat dan kemudian mencium bibirku.”

“Aku seperti hilang kendali. Kematianku seperti tak direstui surgawi. Di dalam pagutan itu, aku merasa hangat meskipun sebenarnya dinginnya air laut menyelimuti kulitku. Rasanya aku ingin bertanya; Kau, siapa? — Sayangnya, aku tak bisa melihat dengan benar. Sial, lagi-lagi aku hilang kesadaran.”


23 Januari 1980.

Masa lalu — Bertemu.

“Lagi-lagi aku mulai merindukan-nya. Dan itu membuatku lemah. Semenjak hari itu, kakak-ku tak pernah lagi berada jauh dariku. Ia terus saja berada di dekatku. Apapun yang aku lakukan, jika kedua kaki ini mulai menyentuh pasir di tepi lautan, dia akan berlari dan mengejar.”

“Dia akan berkata,”

Wangji, terimalah. Semua yang hilang takkan lagi kembali. Semua yang pergi takkan lagi menampakkan diri. Sekali hilang, selamanya takkan lagi datang.

“Dan aku rasa itu benar.”

“Malam ini, di bawah sinar rembulan. Di bawah binar-binar cahaya bintang aku berdiri memandang lautan lepas. Gemuruh ombak begitu tenang, tapi dingin yang aku rasakan seperti mengingatkan kembali pada masa-masa diriku yang kelam.”

“Di tengah-tengah lamunanku, ada seseorang di balik batu besar. Dia seperti bersembunyi dan terlihat samar. Tidak asing, terasa sangat akrab dan membuatku penasaran.”

“Aku seperti mengenalnya. Siapa dia? Siapa namanya? Parasnya, bentuknya, keadaannya dan segala yang ada pada dirinya itu indah. Tapi, dia seperti tak nyata. Bahkan aku tak bisa menembus udara untuk dapat melihatnya dengan sempurna.”

“Rambut hitam panjangnya begitu indah. Sosoknya terlihat rapuh. Apa dia terluka? tersesat? ketakutan? atau apa? entahlah.”

“Ku coba mendekatinya. Perlahan langkahku menuju padanya. Semakin dekat semakin terlihat indah dan nyata. Tapi kemudian, dia menghilang.


31 Oktober 1990.

Saat ini — Lebih dekat.

Disana, di tepi lautan berwarna biru pekat, tengah berdiri murung seorang lelaki tampan seperti sedang mendominasi dunia dan seisinya. Helai demi helai rambut hitam berkibar layaknya bulu-bulu halus yang terbang di awang-awang dengan bantuan angin yang menerpa udara malam.

Rembulan tak membiarkan dia pergi. Sedang bintang tak membiarkan dia berpaling.

Dia suka melamun.

Dia selalu bertanya.

Dia ingin bertemu.

Batinnya selalu saja berkata, “Disana, apakah ada sesuatu disana?”

Pertanyaan itu membuatnya tak ragu-ragu untuk mencoba mencari tahu.

“Dia akan datang saat aku tenggelam. Jadi ..”

Perasaan ini. Perasaan ingin mengakhiri hidupnya karena rasa putus asa dan rindunya, yang dulu mendorongnya untuk mengakhiri hidupnya, kini berubah menjadi rasa ingin tahu dan ingin bertemu. Pada seseorang entah manusia atau apa, yang sudah dua kali menyelamatkan hidupnya.

Lan Wangji. Pria tinggi dan tampan. Pria dingin dan pendiam, tidak pernah sekalipun ingin membuka hati pada seseorang. Hidupnya hanya berdua dengan kakak-nya, hidupnya hanya berporos pada hati dan pikirannya.

“Aku tidak tahu siapa dirimu, hanya saja muncul dan selamatkan aku. Aku ingin bertemu, sekali lagi. Aku tidak sempat berterima kasih, kau sudah selamatkan aku dua kali.”

Dia berkata dan terus berjalan hingga ke tengah lautan. Ia biarkan ombak tenang mulai menenggelamkan tubuh besarnya. Ia biarkan dingin nya malam merasuk dalam sukmanya. Ia yakin, sosok indah itu akan datang dan menyelamatkan.


Dia sudah terbiasa dengan tenggelam. Dingin nya lautan dan hembusan angin malam seperti ikut menyaksikan setiap adegan.

“Nafasku, nafasku mulai berat. Ayolah, datang. Aku ingin melihatmu dengan jelas. Aku ingin menatapmu dan meyakinkan hatiku bahwa kau nyata dan pernah menciumku.”

“Aku rela mati berkali-kali hanya untuk dapat melihatmu. Sekali saja, tak apa.”

Saat kesadarannya mulai lemah, sosok indah itu datang. Perlahan ia mendekat, semakin dekat, dekat, dan kini sangat dekat. Sosok itu, merengkuhnya. Membawanya seperti ke udara. Tak lagi menciumnya, hanya fokus untuk menolongnya. Yah, sekali lagi menolongnya.

Dibawah sinar bulan, dibawah kerlipan bintang-bintang. Keduanya bertemu dan beradu pandang. Kali ini pun sosok itu tidak menghindar. Hanya saja, tubuh bagian bawahnya masih mengambang di dalam air laut yang samar.

“Buka matamu, aku tahu kau masih sadar.” — Oh dia bicara.

“Uhuukk .. Uhuukk ..” — Dia terbatuk.

“Ah, dingin sekali.”

Mencoba membuat dirinya sadar, dan fokus untuk menatap sosok indah di hadapannya.

Sosok itu hanya tersenyum. Dia terus tersenyum dan memandang Wangji. Senyumnya seperti, damai.

“Terima kasih sudah menolongku. Kau, siapa? Apa kita saling mengenal?”

“Pulanglah, jangan lagi melakukan hal bodoh. Kau harus tetap hidup untuk kakak-mu dan masa depanmu.”

“Huh? Kau tahu aku punya kakak?”

“Hm. Sejak hari itu, aku tahu segalanya tentangmu.”

“Tapi, kenapa? Apa yang kau tahu? Dan tunggu, kau tidak memakai baju? Apa kau gila? Disini sangat dingin, dan kau menyelamatkan aku hanya dengan begini?”

“Lihat disana!”

Lihat disana! adalah kata terakhir yang Wangji dengar dari sosok itu. Setelah dia menolah, dia tak melihat apapun lagi. Sosok itu menghilang. Bahkan tidak ada jejak kaki, tidak ada apapun yang tersisa. Lagi-lagi, dia menghilang.


7 November 1990.

Saat ini — Rindu.

Sudah 7 hari sejak Lan Wangji bertemu dan berbicara pada sosok itu. Wangji terus saja memikirkannya. Ingin tahu asal usulnya, ingin tahu namanya, ingin tahu siapa sebenarnya dia.

Sejak malam pertemuannya dengan sosok itu, Wangji tidak bisa melupakannya. Sosok yang berkali-kali menyelamatkan hidupnya. Sosok itu indah, rambut hitamnya panjang sampai ke pangkal pinggang, suaranya indah dan merdu, parasnya cantik dan menyenangkan, kulitnya putih dan bersinar. Dia seperti makhluk surgawi. Dia seperti tak nyata yang hidup. Dan Wangji, ingin bertemu sekali lagi.

Bayang-bayang sosok itu terus saja menghantui. Setiap malam selalu membawa Wangji ke tepi lautan tempat dimana ia dan sosok itu dengan sadar bertemu dan menatap pertama kali.

Dia bertanya dalam hatinya,

Aku selalu datang kemari. Berharap kita bisa bertemu lagi. Tapi sudah 7 hari dan kau seperti hilang di telan bumi. Sebenarnya, kau apa? Kau siapa?”

“Hey, apakah aku harus menenggelamkan diri lagi? Aku sepertinya, rindu. Bisakah, bisakah kau datang lagi?”

Kali ini, Wangji berteriak pada lautan. Bulan dan bintang adalah saksi dari setiap perkataan.

“Aku disini.” — Tiba-tiba saja ada suara.

Wangji memalingkan pandangan-nya. Dimana? Ah, ternyata sosok itu ada di belakang batu besar, di samping ia berdiri. Tapi, kenapa hanya terlihat wajahnya saja? Kemana tubuhnya?

“Kau? Dari mana saja? Selama 7 hari, setiap malam aku selalu datang kemari, aku menunggumu.”

“Menungguku? Untuk apa?”

“Entahlah, aku hanya ingin. Aku ingin tahu tentangmu. Bolehkah?”

Wangji mulai berjalan mendekat. Meyakinkan dirinya untuk terus berjalan ke batu besar itu, tapi tiba-tiba saja langkahnya dihentikan oleh sosok indah itu.

“Jangan kemari. Berhenti disitu. Kita masih bisa bicara dengan jarak seperti ini.”

“Huh? Kenapa? Apa kau telanjang? Kau tidak berenang di malam hari kan?”

“Tanyakan saja apa yang ingin kau tahu. Akan aku jawab.”

“Baiklah. Kau tetap dibalik batu itu dan aku akan duduk disini.”

Sosok itu hanya tersenyum.

“Siapa namamu? Dan dimana kau tinggal?”

Sosok itu hanya tersenyum dan menjawab,

“Berikan aku sebuah nama. Dan panggil aku dengan nama itu.”

“Apa? Aneh. Apa kau tidak punya nama?”

“Aku tinggal cukup jauh denganmu. Tapi aku bisa datang kapan saja jika aku mau.”

“Kau sangat aneh. Nama dan tempat tinggal tidak jelas. Tapi baiklah, aku akan berikan kau sebuah nama.”

Lagi-lagi sosok itu hanya memandang dan tersenyum.

“Bagaimana jika kau ku panggil, Weiying?”

“Apapun itu, aku akan menyukainya. Terima kasih.”

“Apa kau tinggal sendiri? Dan kenapa kau selalu datang di malam hari? Tidak bisakah kita bertemu di sore hari?”

“Itu hal yang tidak penting. Aku tidak akan menjawabnya. Dan aku hanya ingin keluar di malam hari saja.”

“Baiklah. Lalu, bagaimana caranya agar aku bisa bertemu denganmu lagi?”

“Kau ingin bertemu denganku lagi?”

“Ya. Aku, aku ingin bertemu. Bertemu denganmu sangat menyenangkan.”

“Bernyanyilah.”

“Apa? Kenapa bernyanyi? Lagi pula suaraku jelek.”

“Bernyanyilah untukku. Maka aku akan datang.”

Sungguh. Perbincangan ini sangat singkat tapi juga menyenangkan. Rasanya banyak teka-teki dalam setiap jawaban.

“Baiklah. Aku akan membuatkan mu sebuah lagu. Dan lagu itu hanya untuk memanggilmu. Hanya kita berdua yang tahu.”

“Ide bagus. Terima kasih, Wangji.”

“Hey, kau tahu namaku?”

“Sudah aku bilang, sejak saat itu aku tahu segalanya tentangmu.”

Weiying, hanya terus tersenyum. Senyum itu benar-benar indah melebihi keindahan bintang-bintang malam ini. Sosok itu, kini punya sebuah nama. — Weiying.

“Kau membuatku—“

Lagi-lagi, sosok indah itu menghilang.

“Weiying??? Hey, kemana?! Kau selalu saja pergi.”

“Baiklah, aku akan pulang dan membuatkan mu sebuah lagu.”

Malam itu, adalah malam yang dirasa Wangji dan Weiying paling indah. Keduanya kembali pada dunia mereka masing-masing.

Lan Wangji kembali pada kehidupan manusia-nya. Sedang Weiying, kembali ke dalam dinginnya lautan.


Laut.

Berenang menyusuri dalamnya isi lautan. Bertemu dengan berbagai makhluk air yang beragam. Gerakan yang begitu indah. Menggerakkan ekor birunya yang panjang dan ramping. Manyapu buih-buih lautan, berenang dengan begitu lincah dan gembira.

Surai rambutnya tak bisa menutupi senyuman manis di wajahnya. Untuk yang pertama kalinya selama ribuan tahun dia hidup, ia tak pernah sebahagia ini. Apalagi, bertemu manusia. Yah, manusia. Makluk dunia yang seharusnya ia hindari, bukan malah ia dekati.

Di dalam dunia lautnya. Di dalam takdirnya, ia tidak diperbolehkan untuk berhubungan dengan manusia. Apalagi, sampai jatuh cinta.

Cinta adalah sebuah kutukan baginya. Di dalam takdirnya, ia hanya bisa sekali merasakan jatuh cinta. Sedangkan patah hati adalah sengsaranya.

Manusia tidak bisa mengubah dirinya menjadi makhluk laut. Sedang makhluk laut tidak bisa selalu ada bersama manusia karena bentuknya.

Enam ribu tahun lalu, berkisah seorang mermaid yang juga jatuh cinta pada manusia. Keduanya saling mencintai namun tak bisa memiliki. Lalu keduanya berakhir sangat menyedihkan. Manusia itu menenggelamkan diri ke lautan. Sedang mermaid ini, tubuhnya melebur dan menjadi buih lautan. Keduanya lenyap dan menghilang.

Para dewa-dewi lautan pernah berkata; jika salah satu dari kedua insan ini mati, maka satu lagi juga tak akan bisa hidup.

Setelah itu, hingga saat ini tidak ada lagi penerus kisah cinta makhluk laut dan manusia.

Namun sepertinya, ini akan berbeda.

Entah kisah yang bagaimana yang akan menjadi sejarah. Sudah jelas, cinta dua dunia takkan lagi ada.

To be continued.

Kiss.


Nyala lampu warna-warni serta music edm yang diputar saat ini begitu tidak asing. Wajah-wajah para manusia yang sedang berpesta dan mabuk sudah biasa Draken lihat setiap kali dia dan teman-temannya datang kemari.

Perlahan namun pasti, mengabaikan setiap dentuman keras dan melewati hiruk pikuk orang-orang yang sedang berpesta, Ia mulai memasuki dan mencari si kecil untuk dibawanya pulang.

Kedua mata Draken terus menerus bergerak memperhatikan setiap inci tempat untuk melihat Mikey kecilnya. “Dimana? batinnya.


5 menit. Waktu yang cukup lama bagi Draken untuk bisa melihat sosok kecil itu duduk di sebuah sofa hitam diujung lorong tepat di sebelah meja bar.

Sosok kecil itu memakai jaket hitam kesayangannya dengan model rambut blonde panjangnya. Manis! Cantik! Meskipun Draken hanya melihatnya dari jauh.

Dan kemudian, mulai mendekat ..

“Mikey, ayo pulang!” — Mikey hanya diam sembari mendongakkan wajahnya pada Draken.

“Gak! Gue gak mau! Lo ngapain sih kesini? Ganggu aja.”

“Ya gue kepikiran elo lah. Gak biasanya lo gini. Lo ke tempat ini biasanya cuma kalo ada acara sama anak-anak aja, Key!”

Mikey hanya diam. Dia belum mabuk, dia hanya ingin diam.

“Key, kalo ada masalah, cerita sama gua. Jangan gini! Gue khawatir.”

Mikey masih diam. Matanya menatap sloki yang berisi cairan vodca itu di genggamannya.

“Gue gak mau pulang! Minuman gue masih banyak!”

Kejadian begitu cepat di depannya. Botol berisi vodca itu disambar oleh tangan besar dan meneguknya sekaligus sampai habis. Yah, pelakunya adalah Draken.

Lelaki besar tampan itu menghabiskannya. Dia sudah terbiasa dengan minuman macam ini. Sebotol saja tidak akan membuatnya goyah.

“Uda abis! Sekarang lo pulang sama gua. Tinggalin motor lo disini, biar gue hubungin Mitsuya atau Baji buat ngambil.”

Draken menggenggam tangan kecil Mikey dan menariknya untuk segera bangkit dan keluar dari tempat bising ini. Namun Mikey menepis.

“Lepasin! Apaan sih, Ken? Lo gak perlu maksa gue deh. Mendingan lo aja yang pulang, gue masih pengen disini.”

“Lo kenapa sih? Lo marah sama gue? Coba jelasin Mikey!”

“Udahlah. Gue mau ke toilet!”

Si besar mengikutinya. Melewati lorong kecil yang sepi karena semua manusia saat ini sedang ada di lantai dansa. Tiba-tiba Draken menariknya, menekan tubuh mungil si kecil pada dinding lorong yang terlihat sedikit remang-remang.

“Mikey, pulang, Ya? Jangan kaya gini, Key. Lo kenapa sih, hm?”

Wajah mereka begitu dekat. Bahkan Mikey bisa merasakan hangat nafas lelaki besar yang ada begitu dekat dengan wajahnya. Sangat dekat.

“Gue gak tau, Ken. Gua ngga ngerti. Gue pengen marah rasanya tapi gak jelas kenapa. Lo ngerti gak sih? Di hati gue rasanya sesek tapi gue juga gak nemuin alasannya apa? Ken, gue bingung. Gue gak tau harus ngapain. Gue ngerasa gak suka tapi gak suka dalam arti apa gue gak ngerti. Gue—mmpph.”

Draken, menciumnya.

Awalnya hanya sebuah kecupan agar Mikey diam. Namun semakin lama ciuman itu mulai sedikit lebih intim.

Erangan kecil yang diberikan oleh Mikey membuat Draken sedikit berdebar dan melewati batas. — Teman tidak seharusnya berciuman.

Draken sedikit membuka bibirnya. Ia ingin tahu rasanya basah. Ini adalah kali pertama Draken mencium seseorang dan seseorang itu adalah Mikey, sahabatnya.

“Eungh.” — Erangan kecil yang diberikan Mikey membuat Draken merasa suka.

Kedua bibir itu akhirnya bertautan. Memejamkan kedua mata mereka sembari mendecap panas ciuman yang kini terasa basah. Gemuruh panas keduanya semakin gila.

Di lorong itu, dibawah remang-remang lampu. Tidak ada yang mengganggu. Keduanya menikmati pagutan itu hingga Draken mulai sadar.

“Mikey, sorry. Gue gak maksut apa-apa. Lo terlalu banyak ngomong. Sekarang, pulang sama gua ya?”

Mikey lagi-lagi diam. Dia masih tak menyangka ciuman pertamanya diambil oleh sahabatnya, Ryuguji Ken.

“Key? Maafin gue ya? Gue nyium bibir lo tiba-tiba.”

“Gue mau pulang!” — Akhirnya Mikey menjawab.

“Oke! Kita pulang sekarang, gua anter. Gak ada protes.”

Seketika tangan Draken menggenggam tangan si kecil dan membawanya pergi dari tempat berisik ini.

Tempat, dimana pagutan hangat itu pertama kalinya terjadi.

Pov; Shizui

Lelaki kecil mungil, putra bungsu keluarga Lan ini kian cemas. Operasi kali ini tidak seperti biasanya. Kali ini, terasa begitu lama. Lalu lalang setiap pasien, perawat, penjenguk seperti tidak ada artinya. Ramai tapi seperti kosong. Berisik tapi seperti sunyi.

Shizui, tidak bisa meninggalkan tempat dimana ia berdiri saat ini, walau sedetik. Khawatir, cemas, takut, jantung terus berdetak kencang membuat dirinya serasa ingin menangis. Tapi tidak, dia tidak akan menangis. Dia berjanji pada dirinya sendiri dan kakak keduanya untuk selalu tersenyum. Yah, setidaknya untuk saat ini.

Ujar dalam relung hatinya;


Kak Wangji, kakak harus sembuh. Kakak harus kuat! Aku ngga tau apa yang ada di pikiran aku saat ini. Yang jelas, aku takut. Aku takut kakak pergi. Cukup kedua orang tua kita aja yang pergi, kakak jangan. Kalo kakak pergi juga, gimana aku sama kak Xichen? Kalo kak Xichen kerja, aku sendirian dong? Engga mau.”

Kak Wangji, kakak pernah bilang kan kalo kakak mau nikah sama kak Weiying? Katanya kalo kakak nikah nanti, aku yang bakalan ngurusin semuanya. Kakak bilang, kakak bakalan selalu ada buat aku sampai aku tua? Tepatin janji itu ya? Aku mau liat kakak nikah, punya anak, aku pengen punya ponakan, aku pengen liat kak Wangji sama kak Xichen bahagia. Aku pengen kita bertiga bisa hidup lamaaaaaaaaaa banget. Kakak harus bangun, kakak harus kuat. Jangan terlalu lama di dalem ya kak? Aku nungguin, aku capek kak. Aku ngga tega.”


Isi hati seorang adik. Isi hati seorang lelaki muda yang begitu mengagumi kakaknya.

Dan semoga, Tuhan mendengar segala isi hatinyag.

Yang telah pergi.

tw // mention of death , angst , comfort


“Kayaknya mau ujan, tutup aja deh jendelanya, takut Weiying kedinginan.”

Ucap lelaki besar nan tampan itu sembari menutup pelan jendela disisi kamar.

Datang mendekat pada ranum kecil, yang tengah duduk di pinggiran tempat tidur dengan menatap kosong kearah pemandangan di luar jendela.

“Hey, Weiying, makan dulu ya. Ini uda waktunya kamu makan, malah uda telat sejam.” — katanya.

Sosok ranum, cantik nan rupawan itu hanya menoleh dan tersenyum tipis. Tiada jawaban hanya ada anggukan.

Mengaduk bubur panas, meniupkan, menyuapkan, dan menyeka setiap kotoran kecil yang sesekali menempel pada sudut bibir cherry-nya perlahan, sudah menjadi hal menyenangkan yang selalu ia lakukan.

“Gimana? Enak ngga buburnya? Kayaknya aku masak tadi agak kebanyakan garam. Asin ngga?”

“Engga, enak kok. Aku suka, selalu suka. Makasih ya, maaf banget aku selalu ngerepotin.”

“Ngga apa-apa, lagian aku juga suka kok ngerawat kamu gini. Cepet sembuh ya.”

Berakhir dengan senyum kecil pada masing-masing wajah keduanya.


Malam ini, rasanya sedikit sepi. Mendung sore tadi membawa rintikan air dari langit baru saja. Hujan, selalu menjadi hal paling menakutkan.

Sesekali suara petir membuat sosok pria cantik mungil yang kini tengah tidur pulas sedikit tak nyaman.

Tiba-tiba terbangun, tiba-tiba gelisah, tiba-tiba takut hingga menitikkan airmata.

Tangan mungilnya merasa dingin dan gemetar. Hatinya tiba-tiba rindu akan sosok besar yang selalu ia dambakan.

Dalam hening ia bergumam,

Kenapa rasanya sepi? Kaya ada yang kurang, tapi apa ya? Aneh. Jadi kepikiran, kan.

Lagi-lagi, sosok pria besar kemudian datang dari belakang. Memeluknya erat seperti tahu bahwa dirinya sedang gelisah dan tak nyaman sendirian.

“Eh?” — Kagetnya.

“Maaf, aku ngga tau kalo malem ini bakalan hujan deras. Sampe ada petir segala, pasti kamu takut. Aku kepikiran, makanya langsung kesini.”

“Haha, ngga apa-apa. Aku tadinya tidur, terus kebangun aja tiba-tiba.”

“Harusnya aku disini aja tadi, nemenin kamu. Maafin aku, ya?”

“Duh, apasih. Gak usah minta maaf gitu, kan aku gapapa.”

“Hm. Yauda sekarang tidur. Tidur lagi okay, kamu harus istirahat. Kasian mata kamu.”

“Hehe iya, temenin aku. Ya?”

“Pasti! pasti aku temenin. Aku ngga akan pergi. Aku bakalan disini sampe pagi, janji.”

Keduanya saling melempar senyum. Sosok besar tampan itu membantu si kecil kesayangan-nya berbaring, memakaikan selimut halusnya dan kini dua mata indah itu perlahan terpejam.

Dalam diam menatap wajah indah di depan matanya. Dan kemudian berkata pada benaknya, “Bodoh, uda tau hujan malah di tinggal.

Lagi, ”Padahal kamu ngga suka kalo hujan gini di tinggalin sendirian. Maaf ya, tidur yang nyenyak. Aku sayang kamu, Weiwuxian.

Sekali lagi, “Aku sayang kamu, Weiwuxian.


Pagi ini terasa dingin hingga ke tulang. Sepertinya hujan deras semalam masih menyisakan genangan air dan embun di pagi hari. Langit masih sedikit gelap dan mendung, bahkan masih ada gerimis kecil yang suaranya sanggup menusuki sanubari.

Disana, di sebuah sofa panjang hangat, lurus satu pandang dengan tempat tidur milik si mungilnya, bangun seseorang membuka mata. Sepertinya, dia tidur cukup pulas setelah memeluk si tampan semalam.

Berjalan mendekat ke sebuah ranjang. Tersenyum manis menatap lelaki mungil yang masih tenggelam di bawah selimut tebalnya.

Perlahan membangunkan,

“Hey, bangun. Uda jam 8 nih. Waktunya kamu mandi terus sarapan. Ayo bangun.”

“Euumm, masih ngantuk.”

“Haha, gemes banget. Nanti tidur lagi, ok? Buka matanya pelan-pelan. Duduk dulu, terus senderan.”

Perhatian kecil itu hanya dibalas senyuman.

“Oh iya, hari ini mau sarapan apa? Nasi goreng atau bubur lagi?”

“Um, apa aja deh. Terserah kamu. Apa aja pasti aku makan.”

“Oke! Aku buatin sarapan. Tunggu ya.”

“Hm. Kamu masak aku mandi. Ok?”

“Haha, ok. Setelah kamu mandi, kita sarapan. Terus kita berangkat deh.”

“Yep! Udah, sana.”

“Ok. Ohya nih, bawa tongkatnya. Jalan pelan-pelan.”

Lanjutnya, “Oh, atau mau aku bantuin?”

“Ih ngga usah. Kamu masak aja. Aku bisa kok sendiri. Kan uda biasa.”

“Ok. Hati-hati ya. Kalo butuh apa-apa teriak aja.”

Anggukan adalah jawaban terakhir untuknya.


Keduanya tengah bersiap. Sarapan telah usai dengan pemandangan seperti biasa. Jika satunya memberi perhatian maka satunya akan menerima.

Gerimis masih belum juga hilang. Udara dingin masih saja terasa menggetarkan.

Kedua sosok manusia itu sudah siap untuk keluar.

“Weiying, kamu uda siap?”

“Udah. Tinggal berangkat aja kan ini?”

“Hm. Jadi beli bunga dulu kan?”

“Jadilah. Aku mau bawain bunga kesukaan Lan Zhan. Dia pasti seneng.”

“Ok! Yuk, berangkat. Eh, sini tongkatnya aku bawain. Kamu aku gandeng.”

“Hm, ok.”

Keduanya berjalan keluar. Memasuki mobil mercedez benz berwarna hitam milik Jiang Cheng.

Jiang Cheng, sosok besar dan tampan itu dengan penuh sabar membantu sahabat yang disukainya sejak lama untuk masuk dan duduk di kursi depan mobil miliknya.

Keduanya, pergi bersama.

“Jiang Cheng, nanti seperti biasa fotoin bunga nya ya? Terus upload di twitter. Hehe, mau kan?”

Pinta lelaki buta itu dengan wajah manis.

“Iyaaa, apapun itu, aku akan lakuin buat kamu. Ok?”

“Makasih ya. Udah jadi pria kedua yang selalu ada buat aku. Maaf, kalo aku belum bisa jadi seperti yang kamu mau.”

“Sstt, diem. Aku ngga masalah. Aku emang ngga bisa jadi Lan Wangji. Tapi aku aku bisa setidaknya ngelindungin kamu dari jahatnya dunia. Ok?”

“Hm. Aku percaya.”

Menyerah.

Di tepian pantai berombak besar, berdiri sosok lelaki tinggi mungil, berparas cantik nan rupawan dengan kulit seputih berlian. Lelaki malang yang entah bagaimana hanya ingin menyerah.

Deru ombak sore ini terdengar begitu nyaman. Angin menerpa setiap helai rambutnya hingga memperlihatkan manis wajahnya yang mendung dan gelisah.

Menatap kosong kearah lautan lepas hampir 45 menit lamanya tanpa merasa lelah.

Dia berkata dalam batinnya;

Kenapa Tuhan ngasih cobaan seberat ini ke gue? Apa dosa yang pernah gue lakukan di masa lalu juga seberat apa yang gue rasakan saat ini? Apa Tuhan pengen ngasih gue anugerah atau nestapa? Gue ngga tau. Yang gue tau, gue lelah.”

”Gue tau, diluar sana masih banyak manusia yang terluka. Masih banyak manusia yang berjuang akan dosa-dosa nya. Bukan gue satu-satunya orang yang hidupnya penuh luka. Pasti ada, pasti ada manusia yang putus asa dan coba mengakhiri hidupnya.

Kata orang Tuhan ngga akan ngasih cobaan yang umatnya gak akan bisa lalui? Bener ngga sih? Gue uda gak sanggup nanggung beban ini, tapi kenapa masih aja gue rasain? Anak ini, bukan gue gak pengen , tapi gue belum siap. Hidup gue masih berantakan, gue gak punya siapa-siapa buat di mintain bantuan, tapi kenapa? Kenapa dia ada?”

Hanya pertanyaan itu yang sejak beberapa menit lalu berputar dalam benaknya.

Perlahan menjauh dari bibir pantai. Seperti, mencari arah lain untuk berpijak. Entahlah, apa yang akan dia lakukan.


Langit seperti bersekongkol dengan hujan. Ombak seperti bersekongkol dengan cuaca.

Dia, yang sedari tadi berdiri di tepi pantai, berharap hujan turun menyeka airmatanya. Tapi ternyata, hujan tak kunjung ada.

Dia, yang sedari tadi berdiri di hadapan gemuruh ombak, berharap ombak akan menyapu tubuh lemahnya, juga tak kunjung ada.

Entahlah, apa lagi yang direncakan dunia?


Perlahan kaki kecil itu menaiki bebatuan terjal diujung sana. Dengan sengaja melepas alas kakinya dan membiarkan telapaknya berjalan terluka.

Ada sedikit goresan dan darah karena batu-batu tajam pada kedua telapak kakinya, tapi itu tak mambuatnya berhenti untuk melangkah.

Hingga, berhenti tubuh kecil itu tepat pada titik tertinggi. Berbicara seorang diri, menjatuhkan ponsel hitam miliknya pada batuan yang berduri.

Disana, sore hari ini. Dia sekali lagi berkata pada dunia, aku ingin pergi, aku tak ingin kembali.

Pada akhirnya, dialah yang menyerah. Menjatuhkan dirinya dengan menutup kedua mata.

Mengakhiri hidupnya tanpa menyisakan sebuah makna.


Suara hatinya pernah berkata;

Jika kali ini aku punya nyali. Aku akan melompat dan mengakhiri semua derita ini. Jika aku berhasil mati, maka hidupku benar-benar tiada arti.

FIN.

Dear, WeiYing.

Pertama kali aku kenal kamu, kamu sedikit agak nyebelin. Cuek banget, dan .. Gak jelas. Tapi, gak tahu kenapa aku suka? Iya, aku suka. Saat itu juga, malam itu juga.

Hari kedua, aku uda mulai terbiasa ngeliat kamu di pikiranku. Aku uda terbiasa dengerin bawelnya kamu. Bahkan, suara kamu, aku masih inget. Cuma dalam dua hari, aku inget semua tentang kamu. Dan aku ngga tahu, apa artinya itu.

Sampai hari-hari berikutnya, kita semakin deket. Kita semakin mesra(?) kita semakin mengerti satu sama lain dan kita saling nunggu satu sama lain. Nunggu, siapa yang bakalan ngechat duluan, siapa yang bakalan telfon duluan, siapa yang bakalan ngomong duluan. Dan pada akhirnya, aku. Aku yang mulai semua itu. Karena, aku ngerasa aku suka sama kamu.

Indah, indah banget hari-hari aku saat aku sama kamu. Kamu, ngga pernah sekali pun ngecewain aku. Ngga pernah sekalipun, ngomong kasar ke aku. Ngga pernah sekalipun, egois. Malah, semua yang kamu lakuin, semakin ngebuat aku tersanjung. Semakin ngebuat aku yakin kalau kamu adalah laki-laki terbaik buat aku.

Terima kasih.

Tapi maaf, tiba-tiba aja aku ngga bisa jadi orang yang akan selalu ada di samping kamu. Orang yang akan selalu ngedukung kamu, orang yang akan selalu menyeka airmata kamu, orang yang ngelindungi kamu. Tapi, aku bisa ngelakuin semua itu dari jauh. Iya, sangat jauh.

Bener-bener jauh.

Mungkin Tuhan tahu. Cinta antara kita masih tabu, ngga ada yang bisa menghindar dari takdir Tuhan walaupun sebentar. Ah, rasanya aku mau nangis. Nangis di depan kamu. Dan bilang, kalau aku ngga mau. Aku ngga mau Tuhan jauhin aku dari kamu. Aku cuma minta satu. Kamu, iya kamu.

Cuma kamu.

Tapi Tuhan, ngga mau. Tuhan ngga bisa ngasih kesempatan itu buat aku. Buat kita. Dan sebagai gantinya, Tuhan ngasih aku sedikit waktu, buat bisa ngerasain cinta kamu. Dan itu, cukup buat aku.

Weiying, maaf kalau selama aku hidup, aku selalu ngerepotin kamu. Maaf, kalau aku kadang sedikit egois, maunya sama kamu terus. Maaf, kalau selama aku hidup, selalu buat kamu capek. Capek ngerawat aku, capek nungguin aku dan capek ngebahagiain aku. Dan sesuai janji aku ke kamu, aku cuma bisa kasih kamu sepasang cincin sebagai hadiah perpisahan. Boleh kamu simpan, tapi jangan pernah di buang. Boleh kamu pakai, tapi jangan sampe hilang.

Hadiah terakhir dari aku, aku cinta kamu.

Terima kasih, Tuhan.

Terima kasih, Weiying.