ssó

Yang sebenarnya.


Wei Wuxian sedikit ragu untuk menjejahkan kakinya menuju Kost Lan Wangji. Pikirannya bertaut dengan apa yang baru saja ia lihat.

Wanita cantik yang kini terduduk di depannya begitu anggun. Parasnya begitu murni, indah dan terlihat seperti wanita berada.

Ia terus berpikir untuk apa wanita ini berada disini. Ia memberanikan diri sekali lagi untuk mendekat dan bertanya.

“Ehem.. Sorry, si—apa, ya?”

Wanita itu hanya menoleh. Wajahnya sedikit sayu tapi masih terlihat sangat menggemaskan.

“Maaf, aku tadinya mau pergi tapi tadi kaya cape banget gitu jadinya duduk bentar disini. Yauda, maaf ya aku duluan.”

Wei Wuxian masih mempunyai banyak pertanyaan. Ia tidak mungkin membiarkan wanita itu pergi tanpa dia mendapatkan jawaban.

“Eh tunggu!! Sorry nih, tapi gue kaya pernah liat lo deh. Lo temennya Wangji kah? Lan Wangji, anak yang ngekost disini.”

“Oh? Kamu kenal Lan Wangji juga?”

“Iya itu.. Dia.. Temen ..”

Wei Wuxian sendiri pun tidak tahu pasti hubungan apa yang ada diantara dia dan Lan Wangji. Dia hanya menjawab apa yang ada.

“Kenalin, aku Wen Qing. Biasa di panggil Qiqi.”

Qiqi menjulurkan tangan kanannya, dengan santun memperkenalkan dirinya.

“Oh? Oh .. Iya gue Wei Wuxian. Temennya Lan Wangji, panggil Iyan aja hehe.”

“Salam kenal, Iyan. Oh ya kamu mau nemuin Wangji? Dia ngga ada soalnya.”

“Hah? Wangji ngga ada? Kok dia tau?”

Hal itulah yang ada di pikiran Iyan. Membuatnya semakin penasaran siapa Qiqi sebenernya.

“Kemana? Pergi? Terus kenapa lo disini kalau Wangji ngga ada?”

Qiqi menunjukkan tas yang ada di genggaman tangannya. Wei Wuxian baru sadar jika Qiqi memang membawa tas yang terlihat sedikit berat dan besar.

“Nih. Aku baru aja ngambil bajunya Wangji. Dia lagi di Rumah Sakit sekarang. Dia inap gitu jadi aku harus bawain barang-barang yang dia butuhin buat disana.”

DEG!!

“Wangji? Di rumah sakit? Inap?” — Pikirnya.

“H-huh? Dia kenapa?”

Wei Wuxian bertanya dengan sedikit bingung.

“Dia sakit. Kamu ngga tau kah, Iyan?”

DEG!!

Sekali lagi Wei Wuxian merasa kaget. Entah apa yang sedang terjadi. Pikirannya seperti berhenti. Kenapa? Wangji-nya, ada apa? Dia bahkan tidak tahu apapun tentang hal ini.

“Sssakiit?! Sakit—apa? Gue gak .. Gue beneran gak tau.”

Hatinya seperti perlahan ditusuk duri. Mengetahui orang lain lebih tahu tentang Wangji daripada dirinya sendiri.

“Mm.. Mendingan kamu ikut aku aja, yuk? Kita kesana bareng, entar juga tahu dia sakit apa. Gimana?”


Semua hal berada pada titik fokusnya. Di dalam satu taksi yang sama, duduk berdampingan Wei Wuxian dengan Wen Qing yang baru dikenalnya.

Pikirannya sedikit berat. Memikirkan apa yang telah terjadi pada Lan Wangji. Apakah ini alasan Wangji tidak datang menemuinya waktu itu. Dia berpikir, Apakah dia egois? Atau, apa hubungan Wangji dengan perempuan ini? Semua hal terasa begitu rumit. Semua pertanyaan itu ingin segera mendapat jawaban dari Lan Wangji.

Next chapter ..

Setetes kehidupan


Wei Wuxian membuka pintu kamar kost-nya. Menampakkan Jiang Cheng, sepupu-nya yang baru saja datang membawa sebuah bungkusan hangat di kedua tangannya.

“Apaan tuh? Tumben banyak amat bawa sesuatu?”

“Ya biasa emak gue. Masak sup teratai kesukaan lu. Suruh ngabisin katanya. Nih.”

Jiang Cheng memberikan bungkusan hangat itu pada Wei Wuxian. Mereka berdua masuk ke dalam kost yang saat ini Wei Wuxian tinggali seorang diri.

Ini adalah kesekian kalinya Jiang Cheng datang kemari. Biasanya, Jiang Cheng selalu datang kemari setiap satu bulan dua kali. Terkadang jika dia ingin, dia akan menginap dua hingga tiga hari disini.

“Lu baru bangun?”

Tanya Jiang Cheng sambil perlahan duduk di sofa mini dekat pinggiran kasur satu-satunya milik Wei Wuxian.

“Gak juga sih, uda mayan beberapa menit lalu. Btw lo kenapa bawa Wangji sih? Ga penting banget. Toh dia juga ujungnya nunggu di luar.”

Wei Wuxian dengan sedikit angkuh bertanya soal kedatangan Lan Wangji.

“Ya lu tau kan dia pasti mau ketemu elu. Temuin gih, masa setiap kali dia kesini lu suru tunggu di luar. Gak enak tau!”

Sambil menaruh makanan, Wei Wuxian menjawab,

“Ogah! Lagian siapa juga yang mau dia kesini. Lu juga tau kan Hua Cheng ngga akan suka kalau dia tau Lan Wangji dateng kesini.”

Jiang Cheng yang mendengar nama 'Hua Cheng' itu, hanya bisa menghela napas dalam-dalam.

“Wei Wuxian, lu makan gih supnya mumpung masih anget. Terus minum obat lu. Gue temenin.”

“Yaela, ntar juga gue makan kok. Uda lo pulang aja. Sekalian noh sama Wangji.”

“Lu jangan gitu kek. Gimana pun juga Lan Wangji tu peduli sama lo. Lagian dia juga tulus suka sama lo dari 6 tahun lalu. Ngga ada salahnya kalo lu—”

“STOP!!! Gue gak mau denger apa-apa lagi. Lu mendingan pulang sekarang. Bilang makasih sama emak lo. Sana!”

Wei Wuxian menyela. Entah mengapa, nama Lan Wangji selalu saja membuatnya sedikit traumatic. Seperti, Lan Wangi adalah satu-satunya orang yang sangat ia benci.

“Lu kenapa sih? Kenapa lu selalu kaya gini setiap kali kita ngomongin Wangji? Ada yang salah atau gimana?”

Jiang Cheng mencoba mencari tahu. Ia sedikit geram akan tingkah laku Wei Wuxian yang selalu saja terlihat sangat jelas membenci Lan Wangji.

“Ya karena dia suka sama gue itu kan gue jadi sering salah paham dan berantem sama Hua Cheng!! Lu tau gue sama Hua Cheng uda dalem banget!! Bahkan kita mau nikah, dan dia juga ngelarang gue deket atau apapun itu sama Lan Wangji!”

Wei Wuxian sedikit kesal dan berteriak. Menjelaskan segala hal tentang dirinya dan Hua Cheng. Memberikan alasan yang menurut Jiang Cheng tidak begitu masuk akal, membuat Jiang Cheng sedikit geram.

Hingga tanpa sengaja, Jiang Cheng mengatakan sekali lagi kebenaran yang Wei Wuxian lupakan.

Hua Cheng lu tuh uda mati! Ngerti gak? Dia uda ngga ada! Dia ninggalin elo! Dia kecelakaan bahkan lu tau itu. Dia nutup mata di hadapan lu juga kan?! Ngerti gak sih?? Inget gak lu?!”

DEG!

Kalimat itu seperti menghantam dada Wei Wuxian. Mengingatkan dirinya pada sebuah kenyataan. Membuat dirinya mengingat kembali segala hal dan kesedihan.

Wei Wuxian, tidak lagi sanggup berkata-kata seperti yang ia lakukan sebelumnya.

“Inget itu! Inget siapa orang yang ngerawat lu waktu lu sakit? Siapa orang yang diem aja waktu lu maki-maki? Siapa orang yang jagain lu 24 jam di rumah sakit gara-gara lu depressi? Siapa yang donorin darahnya waktu lu coba bunuh diri ngiris pergelangan tangan lu ampe lu keabisan darah? Lu utang nyawa sama dia. Siapa dia? Inget gak lu? Jangan bilang engga!”

Wei Wuxian hanya diam. Dia berdiri tepat di hadapan Jiang Cheng. Menatap kosong pada datarnya lantai di ruangan itu.

Jiang Cheng sekali lagi membuka segala ingatan lama.

“Iya!! Itu dia, Lan Wangji! Kalo ngga ada dia, mungkin lu juga mati saat itu. Gue bahkan gak bisa jagain lu karena gue pun sibuk ngurusin emak gue yang ikutan drop gara-gara lu depressi! Hua Cheng ninggalin lu, dia kecelakaan waktu lu berdua mau tunangan! Inget gak sie lu, hah?! Lu bahkan dateng ke kuburannya, Wei Wuxian!”

Jiang Cheng tak lagi menahannya. Dia mencoba mengingatkan segalanya pada sepupunya. Mencoba menjelaskan betapa gilanya Lan Wangji mencintainya. Menyelamatkan nyawa-nya. Memberikan setetas kehidupan untuknya.

Wei Wuxian diam. Tak lama, dia menangis. Kepalanya terasa sangat berat dan sakit. Semua kenangan manisnya bersama Hua Cheng sangatlah indah untuk menjadi sebuah cerita. Sayangnya, cerita indah itu tak lagi nyata. Semuanya berubah tepat ketika dunia mengambil satu-satunya miliknya.

Hua Cheng-nya. Kisahnya. Cintanya. Bahkan semenjak saat itu, dunianya tak lagi sama.

Dia seketika menyadari sesuatu. Menyadari kenapa Hua Cheng tak pernah lagi membalas pesannya. Mengapa Hua Cheng tak pernah lagi mengatakan cinta. Mengapa Hua Cheng tak lagi menyanjung dirinya.

Ternyata, dia lupa bahwa dunia telah mengambil kekasihnya.

Dia ingat.

Dia menangis.

Dia terluka.

Dunia terlalu kejam padanya.


Jiang Cheng hanya sanggup berdiri di hadapannya. Menghela napas panjang seperti dia pun lelah menjelaskan segala hal pada sepupunya.

Tak lama setelah itu. Jiang Cheng memutuskan untuk keluar dari tempat itu. Meninggalkan Wei Wuxian yang masih terjebak akan dirinya dan mengingat kembali semuanya.

Semuanya; rasa sakit, rasa cinta, rasa kehilangan serta segala kesedihan yang ia rasa. Membuatnya terdiam disana cukup lama.

Has Gone

ChengXian Week.


“It looks like it's going to rain, I better close the window, I'm afraid Weiying will catch a cold.”

Said the big and handsome man as he slowly closed the window on the side of the room. Came closer to the little ripe who was sitting on the edge of the bed staring blankly at the scene outside the window.

“Hey, Weiying, eat first okay? It's time for you to eat, It's already an hour late.” — he said.

The ripe, beautiful and handsome figure just turned and smiled faintly. No answer only a nod. Stirring hot porridge, blowing, feeding, and wiping every little dirt that occasionally clings to the corners of his cherry lips slowly, has become a fun thing he always does for Weiying.

“How it is? Is the porridge good? I think I cooked a bit too much salt. Isn't it salty?”

“No, it's delicious. I like it. I always like it. Thank you, I'm really sorry I always bother you.”

“It's okay, I also like to taking care of you like this. Get well soon.”

Ended with a small smile on each of their faces. Tonight, it feels a little lonely. Overcast this afternoon brought water droplets from the sky just now.

Rain is always the scariest thing.

Every now and then the sound of lightning made the figure of a small beautiful man who was now sleeping soundly a little uncomfortable.

Suddenly woke up, suddenly restless, suddenly scared to the point of shedding tears. His tiny hands felt cold and trembling. His heart suddenly longed for the big figure he had always longed for.

Silently he muttered,

“Why does it feel lonely? There's something missing, but what is it? Weird.” Again, the figure of a large man then came from behind. Hugging him tightly as if he knew that he was restless and uncomfortable being alone.

“Eh?” He shocked.

“Sorry, I didn't know it was going to rain tonight. Until there is lightning, you must be afraid. I was thinking about it, that's why I came here.”

“Haha, it's okay. I was sleeping, then I just woke up all of a sudden.”

“I should have just been here, accompanying you. I'm sorry.”

“Ugh, There's no need to apologize, I'm fine.”

“Hmm. Now sleep. Sleep again okay, you should rest. Poor your eyes.”

“Hehe, yes. I will back to sleep. Can you please accompany me?”

“Sure, I will. I'm not going anywhere. I'll be here, I promise.”

They both smiled at each other. The big handsome figure helped his beloved little one lie down, put on his soft blanket and now the two beautiful eyes slowly closed.

Silently staring at the beautiful face in front of his eyes. And then said to his mind,

“Jiang Cheng you stupid. You know it rains, why you leave him alone?”

Again, “I know you don't like it when it rains, I’am sorry, have a good sleep. I love you, Weiwuxian.”

Again, “I love you, Weiwuxian.”

This morning was cold to the bone. Looks like the heavy rain last night still left puddles and dew in the morning. The sky was still a little dark and overcast, there was even a small drizzle whose sound could pierce the heartstrings.

There, on a long warm sofa, one eye straight with his little one's bed, someone woke up and opened their eyes. Apparently, he slept quite soundly after hugging the handsome one last night. Walk closer to a bed. Smiling sweetly looking at the little man who was still drowning under his thick blanket.

Slowly waking him up, “Hey, wake up. It's 8am. It's time for you to take a shower and have breakfast.”

“Wake up.”

“Um, I still sleepy.”

“Haha, very cute. Go back to sleep again later, ok? Open your eyes slowly. Sit down first, then lean back.”

The little attention was only returned with a smile.

“What do you want for breakfast today? Fried rice or porridge again?”

“Um, whatever. Up to you. I'll definitely eat anything.”

“Okay! I will go make breakfast. Please wait.”

“Hmm. You cook and I will take a shower. OK?

“Haha, okay. After you shower, we have breakfast.”

“Yep! There I go.”

“Okay. And don’t forget to bring the stick. Go slowly.”

He continued, “Oh, or do you want me to help?”

“Oh no need. You cook. I can do it myself.”

“Okay. Be careful. If you need anything, just shout.”

A nod was his final answer.

Both are getting ready. Breakfast was over with a view as usual. If one pays attention, the other will receive.

The drizzle still hasn't gone away. The cold air still feels vibrating. The two human figures were ready to come out.

“Weiying, are you ready?”

“Yeah, I’am ready. Just leave, right?”

“Hmm. So, we need to buy flowers first, right?”

“Yeah, I want to bring Lan Zhan's favorite flower. He must be very happy.”

“Okay! Come on.”

“Uh, bring me the stick, I will hold you.”

“Okay.”

The two of them walked out. Entered Jiang Cheng's black Mercedes Benz car.

Jiang Cheng, the big and handsome figure patiently helped his friend who he liked for a long time to get in and sit in the front seat of his car. The two of them, go together.

“Jiang Cheng, as usual, take a photo of the flowers, okay? And upload it on twitter. Can you?”

Asked the blind man with a sweet face.

And Jiang Cheng answered slowly, “Yeah, whatever it is, I'll do it for you.”

“Thank you. He has become a first man who had always been there for me. Sorry, if I can't be what you want me to be.”

“Shh, enough. It doesn’t matter. I really can't be as good as Lan Wangji. But I can, at least protect you from the evil of the world. Ok?”

“Hmm. I believe in you”

“That’s good. I like you so much, Weiying.”

Weiying knows, Weiying knows that Jiang Cheng has been falling in love with him for such a long time.

Weiying gives him his final answer, it is his sweet smile.

END.

End Of Us

tw // mcd , last moment , nsfw , separation , death of loved ones.

The night was so warm. With Shi Wu Du's presence so comforting, Pei Ming supported Shi Wu Du's left hand with his left hand. His right hand was wrapped around his lover's slender and narrow waist.

Walk slowly up the stairs until they enter Pei Ming's minimalist room. It was as if he was carrying a prince. Pei Ming was so careful. And the slight smile that was occasionally seen when he slightly turned his handsome face to the lover beside him was slightly visible.

“Slow down. I won't let you fall. Hold my hand tight. Ok?”

“Why is it? I can walk alone. Why do you have to be guided me like a sick person?”

Because you are sick. — Pei Ming thought. Pei Ming just smiled and replied,

“I wanna be like this. I wanna treat you like my prince. The prince I love the most.”

Shi Wu Du gasped slightly,

“Oh? Are you in love with me now?”

“Can’t you feels it?”

Of course, the counter-question was just stared at by Shi Wu Du without any answer.

Sitting Shi Wu Du onto his soft mattress, Pei Ming said, “I know. My love for you is not as big as your love for me. But I promise, it will continue to grow over and over. Until you can feel it.”

This one too, was only replied with a faint smile by Shi Wu Du.

Dunno what Shi Wu Du was thinking. But, really. It feels like time is running very short right now. Don’t know what will happen. Both Shi Wu Du and Pei Ming seemed to have prepared themselves for a great loss. They're like, ready for each other.

There, in Pei Ming's minimalist room. There sat a man with a pale face and a bit of weakness. Yes, That is, Shi Wudu. There seems to be some doubt at this point. Don't know who to start the conversation with or what to do. Luckily Pei Ming was impatient enough, so he was the one who started the movement. Holding both of Shi Wu Du's hands and said, “Shi Wu Du, listen to me. No matter how long I can fall in love, no matter how long I or you live, it will not make me lessen my love for you. I love you, I really love you. With all my heart.”

Shi Wu Du smiled, teared up and said, “I love you more. Since the first time we met, till the death of me. Trust me.”

The two of them sat facing each other so close. After hearing that, Pei Ming pressed his forehead against Shi Wu Du's. Then said, “I trust you. I love you, more. More more and more, Shi Wu Du.”

Shi Wudu cried. He could no longer hold back the tears. Deep in his heart, when he heard Pei Ming say that he loved him, he was truly moved. He truly felt that his waiting this whole time had not been in vain.

Pei Ming kissed Shi Wu Du’s forehead. Slowly down to his eyes, now the bridge of his nose, his cheeks, his chin, and finally his sweet lips. Pei Ming's soft kiss was now slightly parted. It made Shi Wu Du tremble slightly from not being used to it. Even so, Pei Ming's domineering kiss was so beautiful. It was not difficult for Shi Wu Du to follow him and move openly. Now the kiss feels so deep. With their eyes closed to each other. Kissing every inch of each other's lips beautifully.

Both Pei Ming and Shi Wu Du really enjoyed the kiss. Until Shi Wu Du subconsciously made a slight groan. Made Pei Ming's desire rise a little but still bear it. But not when it was Shi Wu Du himself who made things even more messy. In the middle of the kiss, Shi Wu Du subconsciously groaned, “Engh…” Made Pei Ming go a little wild. The pounding in Shi Wu Du's chest could no longer be suppressed. Shi Wu Du unlinked it and said,

“Pei Ming, I want.”

“What do you want, hmm?”

Not wanting to lie to himself that Pei Ming wanted him too.

“Touch me.”

“Is it possible?”

“Hmm. It Can. Touch me. Wherever you want.”

Pei Ming only felt his heart tremble. Don't know where to start with that touch.

Until he heard, “Here. Like this. Touch me like this.”

UNLUCKY! Shi Wu Du really drove him crazy.

Shi Wu Du held the reins of Pei Ming's right hand. Aiming at his lips and then right up to his chest. — Ah no, not my chest but my heart.

He said, “Pei Ming, can you feel this heartbeat?”

Pei Ming didn’t answer him. Instead, he just nodded.

“Here. There is you. Only you. From the beginning until now, you will always be there. There is your name, there is Pei Ming.”

Who knows. It felt like the last second. It sounded like a farewell sentence.

Yes indeed. It was farewell. Parting words that both of them know, but in silence. Pei Ming is crazy. Pei Ming couldn't hold back any feelings anymore. Just wanted to warmly hug his lover, hold his hand tightly, and lean his body against him. Enjoy every last second with his love.

I don't know since when the two of them opened every inch of the clothes on their bodies. Somehow the two of them could be in the same bed without a single thread sticking to his curves. Now only Pei Ming was above him. Pei Ming's beautiful eyes continued to stare at the beautiful and pale face of his lover, Shi Wu Du. And the next second, the two thin but soft objects clicked slowly until they made several groans.

“Ngh..”

“Angh..”

Of course. It was Shi Wu Du's moaning sound. Shi Wudu paused. He slightly pushed Pei Ming's chest to give him a place to breathe and speak.

“Pei Ming, I love you.”

“I know.”

“Pei Ming...”

As if to understand. Pei Ming no longer suppressed his desire. Of course he would enter the men under him.

“Okay. But under the covers. Take a blanket. I don't want you to get cold.”

Shi Wu Du was moved to the point of tears. His pale face looks more handsome, red and beautiful. So beautiful. Their body were already under the blanket. Their warmth and love now dominate the atmosphere. As if to support the two to immediately make love. Pei Ming kissed his forehead. And down to his neck. Then kissed every inch of Shi Wu Du's body.

And subconsciously he groaned,

“Ngh..”

Pei Ming heard it.

“If it hurts, let me know. I will stop.”

“It won't hurt. I can stand it.”

Pei Ming started to insert his red stick into Shi Wu Du's small hole. Slowly entered, both of his hands lifted Shi Wu Du's legs. Trying to get the big trunk out and about without hurting Shi Wu Du.

“Ngh.. Yeah.. There.”

“You like it?”

“I like it.. More.. Hurry up.. Ngh.”

“Ahh..”

Shi Wu Du just kept on groaning. Making Pei Ming move faster and faster without stopping. He pounded with a tempo that was many times faster than before. Aim to quickly put an end to this hot craving. Because right now, honestly, Pei Ming just wanted to spend his time with Shi Wu Du. Just want to hug his lover's weak body.

Without lust. There is only love.

“Ahhh.. Pei.. Pei Ming..”

That moan sounded extremely beautiful to Pei Ming's ears. Pei Ming likes it. But .. But Pei Ming really couldn't do it anymore. He wanted to cry. The lust that was so felt at first, is now fading. He saw that Shi Wu Du's face was turning pale and sweaty. He wanted to stop. And in the end he did stop.

“Sorry.”

Shi Wu Du heard it. But he didn't answer.

“Sorry I can't continue anymore.”

Shi Wu Du panted slightly. Pei Ming no longer heard the beautiful moans. Instead, he heard Shi Wu Du's weak breath shaking.

Pei Ming approached. Lying beside Shi Wu Du's body. Looked from the side of Shi Wu Du's face and then said,

“Honey, shall we stop?”

Shi Wu Du only nodded slowly. Then he turned and kissed Pei Ming on the lips.

They hug.

So close and tight.

Pei Ming stroked Shi Wu Du's black mane. Staring at his face, teary eyed. Until finally the tears fell.

“Hey, are you crying?” Shi Wudu knows.

“Pei Ming, why are you crying?”

Pei Ming was silent.

“Answer me. Why are you crying?”

Pei Ming was still silent.

“Don’t cry. Look at me.”

Shi Wu Du turned Pei Ming's face to look at him.

Then he said;

“You already know right?”

Pei Ming remained silent.

“You know. Yes, you must know. Qing Xuan must have told you.”

Pei Ming slumped. He wanted to speak but his tongue seemed to be missing somewhere.

“So, because of this? Because you know I'm sick, You like me? Love me?”

“No!”

Pei Ming replied firmly.

“I did know from Qing Xuan but I already felt I loved you before Qing Xuan told me. You have to trust me.”

This time, it was Shi Wu Du's turn to be silent.

“Shi Wu Du, I swear I love you not because of your illness. But because I really love you. Please, believe me.”

Shi Wudu cried. The clear tears fell slowly down his soft cheeks.

“Please don't cry. Forgive me. I love you, Shi Wu Du.”

Wiping his tears roughly. Shi Wu Du smiled slightly and replied, “I'll leave Qing Xuan. Could you please, take care of him for me.”

Pei Ming was silent. Shi Wudu was silent. They just stared at each other.

Seconds later, Pei Ming pulled Shi Wu Du's beautiful body in his arms. Hugging him so tight. It was only a short while after that, Pei Ming picked up their clothes that were scattered on the floor. Put it on Shi Wu Du patiently and gently. Like he didn't want these strands to hurt Shi Wu Du's skin. Only then did he put on his own clothes and hug Shi Wu Du again until they both fell asleep.

The room was very quiet. Only the ticking of the clock could be heard. Pei Ming woke up from his slumber. Staring at the ripe figure who was sleeping next to him.

Smile.

Sigh.

He lowered his head and then lifted his handsome face which once again wanted to shed tears. He slowly tried to wake Shi Wu Du up. It was time for him to wake up to go home. It was time for Shi Wu Du to rest in a better place than in Pei Ming's minimalist room. Pei Ming tried to stroke Shi Wu Du's smooth cheeks. Whispering a word slowly;

“Honey, wake up. It's time to go home.”

No answer.

Again, “Honey, Shi Wu Du, let's get up.”

Still no answer. Again, this time by kissing her soft cheek. “Shi Wu Du, look at me. Come on, wake up, open your eyes.”

No answer. Not even breath, either.

It’s lost.

Go.

No sound.

Silence.

Pei Ming was silent. Staring deep into that pretty face. That face, cold. That face, pale. That face, whitened. That face, no longer alive.

Dead. His lover has left.

Pei Ming.

He didn't move. Still blushing weakly in front of his lover who had left.

Pei Ming.

Still looking at Shi Wu Du's beautiful face which was now breathless.

Pei Ming.

No sound.

No movement.

Now feel tightness, pain, shaking.

Like half of his breath had been taken away by the lord of heaven.

Pei Ming.

Dropped so many tears. Can't scream, can only hold back the tightness that is like slicing his chest.

Stings.

Wound.

that was all he was feeling right now.

“Shi Wudu.”

“Shi Wudu.”

“Shi Wudu.”

“I love you.”

FIN.

Wrong Number

written by selle @ greatlwj


Malam itu, Feng Xin datang lebih awal. Meskipun dia tidak mengenal siapa orang yang akan ia temui, tapi entah mengapa, Feng Xin merasa sedikit tidak sabar.

Namanya; Mu Qing. Seseorang yang baru saja ia kenal satu jam yang lalu dari sebuah imes yang salah. Cerita yang tidak sengaja ia baca, rasa sakit dan patah hati yang dia pun pernah merasakannya.

Semua itu membuat Feng Xin tidak bisa melupakan Mu Qing. Keinginan untuk bertemu dan saling bercerita begitu kuat ada dibenaknya.

Disini, di sebuah bangku taman, di bawah lampu disertai semilir angin malam itu, Feng Xin dengan sabar tetap menunggu.

Menunggu kedatangan sosok teman baru yang entah mungkin akan merubah hari-hari dalam hidupnya.

Pada akhirnya, lelaki yang telah ia tunggu itu datang. Berdiri tepat di hadapannya dan kemudian memanggil namanya;

“Feng—Xin??!”

Suara lembut itu membuatnya mengangkat kepalanya. Mengarahkan pandangannya tepat pada sosok manis yang tengah berdiri di hadapannya.

“Feng Xin?! benerkan?”

“Iya bener. Lo—? Mu Qing?”

“Hm! Gue Mu Qing yang tadi salah ngirim imes ke nomor lo hehe.”

Paras Mu Qing yang sebenarnya sangatlah manis dan menawan. Membuat Feng Xin sedikit bingung bagaimana untuk mengalihkan pandangannya.

Sementara Feng Xin terlihat sangat tampan dan mendominasi. Membuat Mu Qing merasa aman dan tenang saat dia bersamanya.

“Jadi gitu.. Kalo gue jadi mantan lo sih, gue bakalan nyesel uda ngehianatin lo. Dan selingkuh itu juga salah satu hal yang paling gue benci.”

Mu Qing mendengarkan kalimat itu. Ia sedikit memandang kearah Feng Xin sambil perlahan mengusap airmatanya.

“Udah, lo jangan sedih ya, Mu Qing. Kita sekarang jadi temen deh, biar ada yang jagain dan ngelindungin elo. Gimana? Mau gak?”

Ajakan secara tiba-tiba itu keluar begitu saja dari bibir tipis Feng Xin. Dan ia pun baru saja menyadari ucapannya.

Ucapan itu terlalu terburu-buru, pikirnya.

Tapi siapa yang sangka, Mu Qing malah menangis mendengar itu.

“G-gue— ssserius? Gue seneng banget lo mau jadi temen gue, Feng Xin.”

“Hah? Lo seneng tapi kenapa nangis, Qing?”

Jujur saja. Selama ini Mu Qing tidak pernah merasa seaman dan senyaman ini. Bahkan saat bersama Pei Ming dulu pun, Mu Qing selalu merasa tidak nyaman.

Ia merasa tersentuh dengan kalimat Feng Xin. Ia merasa tersipu akan ucapan Feng Xin yang berkata akan melindungi dan menjaganya, membuat hatinya bergetar. Rasa sakit di hatinya seakan perlahan menghilang, walau tidak sepenuhnya.

“M-makasih— Feng Xin. Kita baru kenal tapi lo ud—”

“Ssstttttt. Diem! Gue pernah ada di posisi lo. Gue tau rasanya. Jadi ngga ada salahnya kalo sekarang kita saling jaga. Jadi temen gue, ya?”

Kalimat yang akan diucapkan oleh Mu Qing saat itu dihentikan secara tiba-tiba oleh Feng Xin.

Mengangkat satu jari telunjuknya menempel pada bibir Mu Qing. Membuat Mu Qing mau tidak mau hanya bisa diam.

“Kita baru kenal, belum sehari malah. Tapi kenapa lo baik gini? Lo bahkan gak tau gue gimana kan, Feng Xin?”

Itu benar!

Kalimat yang diucapkan oleh Mu Qing memang benar. Mereka baru saja bertemu. Jika hanya sebuah cerita cinta sepertinya tidak masalah, tapi jika harus seperti ini, apakah tidak terlalu terburu-buru?

Itulah yang saat ini ada di pikiran Mu Qing.

Tapi Feng Xin, dia serius. Dia tidak sedang bermain kata atau semacamnya.

“Kita emang baru kenal, tapi lo bisa menilai gue nanti, kita bisa temenan dulu kan? lagian ngelindungin seseorang tuh gak harus temenan lama dulu kan? Kita bisa ngelindungin siapapun yang kita mau tanpa harus mengenal orang itu. Yang penting, melindungi, ngejaga. Oke?”

Ah sungguh!

Kalimat itu benar-benar membuat Mu Qing merasa aman. Dia seperti bertemu dengan orang yang tepat. Rasanya ingin sekali Mu Qing memeluk Feng Xin, tapi sepertinya rasa malunya begitu besar saat ini. Dia hanya bisa diam tanpa kata dan berkaca-kaca.

“Hey, Mu Qing? Lo nangis? Eh jangan nangis lagi dong elah. Dah sini gue peluk, mau gak?”

Feng Xin mencoba mendekat. Mengulurkan kedua lengannya isyaratkan Mu Qing untuk datang kepelukannya.

Tetap saja, Mu Qing masih merasa canggung dan ragu untuk memeluk orang asing di depannya.

Tapi tidak untuk Feng Xin.

Melihat Mu Qing yang begitu sendu dan mengabaikan isyarat pelukannya, Feng Xin tahu bahwa Mu Qing masih ragu.

Feng Xin pun berinisiative untuk meraihnya dan memeluknya lebih dulu.

DEG!!

Feng Xin memeluknya! Feng Xin mendekap erat tubuhnya! Feng Xin mengelus pelan punggungnya! Bahkan, Feng Xin juga mengusap lembut kepalanya!

Ah gila!

Mu Qing gila, dia sangat malu sampai dia tidak bisa melepaskan dekapan itu.

Ia biarkan Feng Xin bertaut dengan waktu, memeluknya hingga Feng Xin sendirilah yang melepaskan dekapan itu.

“Udah gue peluk! Sekarang gue anter lo pulang, oke? Uda malem.”

Mu Qing tidak bisa menjawab. Dia hanya menganggukan kepalanya sekali sebagai tanda;

“Oke, lebih baik pulang!”

FIN

UKS.

tw // kissing

“gila lo ngapain sih sampe harus nyakitin pipi gua gini? aneh lo, Xin.”

Mu Qing terus bergumam mengenai luka gores di pipinya semenjak 2 menit lalu keluar dari kelas IPS.

Dia keluar berdua bersama Feng Xin. Berjalan bersandingan menuju UKS.

”Ya maaf, Qing. Lu tau sendiri kan gua tuh gak suka sama IPS apalagi Pak JunWu tuh, uda killer terus kalo sama gua kaya musuh banget gila!”

Feng Xin mencoba untuk menjelaskan. Tentu saja, Mu Qing sangat tahu bahwa Feng Xin sangat membenci pelajaran IPS. Itulah sebabnya Feng Xin selalu mempunyai rencana setiap kali pelajaran IPS di mulai.

Terkadang dia akan berpura-pura sakit. Terkadang akan membolos saat pelajaran IPS di mulai. Bahkan, sempat beberapa kali Feng Xin membuat Pak JunWu tidak jadi mengajar karena tasnya disembunyikan oleh Feng Xin. Tentu saja, semua hal itu dia lakukan dengan bantuan Mu Qing.


“Pelan-pelan, sakit!”

Mu Qing duduk di atas kasur kecil yang ada di UKS. Sedangkan Feng Xin perlahan mengoleskan betadine di goresan pipi kenyal Mu Qing. Terlihat sangat berhati-hati dan tatapan mereka begitu dekat. Sebegitu dekatnya, Mu Qing sampai bisa merasakan nafas hangat Feng Xin yang sedang ia tatap saat ini.

”Ngapain lu ngeliatin gua? Cakep ya gua? Hahaha.”

Feng Xin mencoba mencairkan suasana diantara keduanya. Memberi sedikit gurauan agar keduanya tidak begitu canggung.

”Iya. Lu cakep banget kalo di liat dari deket gini.”

Mu Qing tanpa sadar mengakui itu. Menatap lekat ke arah bibir Feng Xin. Tapi, tidak berani untuk meraih bibir itu.

Untuk beberapa menit, Mu Qing masih terpanah akan keindahan wajah Feng Xin. Tidak mengalihkan pandangannya sedikitpun. Terus menatap sampai Feng Xin merasa ada sedikit getaran di dadanya.

Tangan Feng Xin perlahan berhenti. Turun menyusuri pipi Mu Qing hingga berhenti di dagunya. Perlahan mendekatkan bibirnya ke bibir lelaki manis di hadapannya.


”Mmh .. Engh ..”

Feng Xin menciumnya.

Feng Xin mencium bibir manis Mu Qing secara tiba-tiba.

Tidak ada penolakkan dari Mu Qing. Hanya ada rasa manis dan getaran dari setiap decakan ciuman itu.

Perlahan tapi pasti. Lembut dan manis. Rasanya seperti Feng Xin sedang menikmati sepotong gulali. Ah, sungguh manis dan kurang jika hanya di lakukan sekali.

“Feng Xin, udah. Nanti ada perawat UKS yang masuk gimana?”

Mu Qing ingin melanjutkan, jujur saja. Tapi dia masih sedikit malu apalagi, UKS bukanlah tempat yang tepat untuk mereka berciuman, kan?

”Mau pindah, hm? Kalo mau lanjut, kita cabut aja. Pulang ke kost gua. Gimana?”

Feng Xin memang gila.

Dia menaruh rasa pada Mu Qing sudah cukup lama. Tapi baru kali ini keduanya bisa dengan mudah melakukan ciuman tanpa paksaan.

Begitu juga dengan Mu Qing. Dia selalu saja menggerutu setiap kali Feng Xin melibatkan dirinya untuk melakukan segala kenakalan. Tapi, anehnya, Mu Qing tidak pernah bisa menolak. Malah sebaliknya, dia akan merasa sangat senang dan aman ketika melakukan apapun dengan Feng Xin.

”Ya—uda. Cabut—aja.”

Jawaban Mu Qing sangat menggemaskan. Malu-malu mau.

”Haha, lucu banget sih. Lu kalo malu gitu malah bikin sange tau ngga. Yauda ayok.”


Feng Xin menggenggam erat tangan Mu Qing. Berjalan perlahan menyusuri setiap koridor sekolah. Bersembunyi dengan baik dan terpaksa meninggalkan buku tas mereka di dalam kelas. Meninggalkan sekolah hanya untuk menikmati bibir Mu Qing? Ah tidak juga.

Sepertinya hal-hal baru akan mereka coba.

Ciuman saja tidak akan membuat mereka puas. Jika ada kesempatan, tidak akan mungkin Feng Xin akan menyia-nyiakan.

FIN.

UKS au written by silentlysso.

Bathup and Breakup.


Semilir angin malam menerpa setiap sisi kaca jendela mobil yang terbuka. Asap rokok marlboro yang sedang di keluarkan oleh Feng Xin menembus udara malam itu. Tanpa suara, tanpa canda tawa. Hanya ada diam dan sunyi diantara keduanya.

Feng Xin merasa canggung untuk pertama kalinya, ia memilih untuk diam selama 25 menit perjalanan.

Sedangkan Mu Qing, ia merasa hawa malam ini berbeda dari sebelumnya. Malam ketika dia bersama dengan Feng Xin, adalah malam yang selalu ia nantikan. Malam bersama dengan Feng Xin adalah malam terindah selama 5 tahun mereka menjalin hubungan. Sekalipun, tidak pernah Feng Xin meragukan dia.

Sekalipun, Feng Xin tidak pernah membuatnya menangis atau kecewa. Bahkan, Feng Xin adalah satu-satunya manusia yang selalu membuatnya bahagia. Tapi, menit dan detik ini juga, semuanya terasa berbeda. Senyum dan canda tawa seperti musnah. Raut wajah bahagia, dan candu tawa yang biasa terdengar oleh kedunya seperti sirna seolah-olah semesta melarang dirinya untuk mendengar semua kebiasaan mereka berdua.

Sesampainya di apartment Feng Xin, Mu Qing memberanikan dirinya untuk sekali lagi bertanya. “Kenapa?” – sambil menutup pintu apartment milik Feng Xin. Menatap punggung badan Feng Xin seolah-olah menunggu sebuah jawaban pasti.

“Hm?” – Feng Xin hanya memberikan jawaban itu sambil menoleh ke arah Mu Qing tetap berdiri.

“Lo aneh banget hari ini. Gue bikin salah kah? Tolong, kasih tau.”

Feng Xin hanya memberikan smirknya pada Mu Qing. Ia berjalan pelan mendekati Mu Qing.

“Apa? Ngomong yang jelas, Mu Qing.”

Mu Qing menundukkan kepalanya. Menatap dinginnya lantai apartment. Apakah sedingin hatinya saat ini? Tak tahu. Entahlah. Mu Qing hanya sanggup diam dan berkaca-kaca. Memegang pucuk dagu Mu Qing. Menengadahkan pandangan Mu Qing hanya pada dirinya, Feng Xin.

“Gue cinta banget sama lo, Mu Qing.”

Mu Qing sedikit terkejut. Hatinya bahagia sanpai airmatanya jatuh setetes demi setetes.

“Lo jahat! Lo ngga kaya biasanya. Bikin gue takut tau gak lo.” – sambil menepuk-nepuk dada Feng Xin.

“Terus. Sebutin semua kebodohan dan kejahatan gue. Sebutin semua yang lo rasain tentang gue. Semuanya!”

Mu Qing merasa sesak. Dia tidak tahu harus mengatakan apa selain kata “jahat”. Kecuali hari ini, Feng Xin tidak sekalipun melakukan sesuatu yang buruk padanya. Dia selalu memperlakukan Mu Qing dengan indah dan bahagia. Setiap kali dia bersama dengan Feng Xin, dia akan merasa seperti satu-satunya manusia yang diperlakukan istimewa oleh dewa.

“Jangan nangis. Gue gak mau kesayangan gue netesin airmata. Bahkan sekalipun lo bahagia, lo dilarang Feng Xin buat nangis.”

“Kenapa? Kenapa gue bahagia pun gak boleh nangis?”

“Karena airmata lo seperti airmata surga buat gue. Satu tetes aja airmata lo yang jatuh, itu ngebuat hati gue hancur, Mu Qing.”

Kata-kata itu, kalimat indah itu, membuat Mu Qing terpana untuk sesaat. Sesaat sebelum bibir lembutnya tersentuh oleh bibir panas milik Feng Xin.

Feng Xin mengecup bibir lembut Mu Qing dengan nyaman dan aman. Mengecup, mengecap hingga ciuman itu larut begitu dalam dan basah. Feng Xin mendorong perlahan tubuh Mu Qing masuk kearah kamar mandi. Tidak sedikitpun melepas ciuman basah mereka. Tidak sedikitpun melonggarkan genggaman tangannya pada tubuh Mu Qing.

Erat. Sangat erat seperti tidak akan pernah ia lepas.

“Eungh .. Feng .. Xin .. Sstop.” Namun Feng Xin, masih terus menyesap bibir Mu Qing dan memainkan lidahnya.

“Ahn .. Fenghh .. Anhh ..” Lenguhan itu sangat candu. Membuat Feng Xin semakin gila tak terkendali.

Feng Xin mulai melepas baju milik Mu Qing satu persatu. Membuat kekasihnya itu telanjang bulat di hadapannya. Dan segera menyesap nipple merah milik Mu Qing.

“Eunghh .. Ahnhh .. Fenghh .. Xiingh ..”

Feng Xin berkata dengan lembut di telinga merah Mu Qing.

Ia berbisik begitu manis dan sayang, “Suka? Hm?” – Membuat Mu Qing semakin gelisah.

“Mau main disini ngga? Hm?” – Ah, bisikkan lembut Feng Xin selalu saja menggetarkan hati Mu Qing.

Sebenarnya, dimanapun mereka akan ber’main’, tidak masalah bagi Mu Qing. Selagi yang memainkannya adalah Feng Xin, bermain di bawah kolong tempat tidur pun akan terasa nikmat. – Batinnya.

“Ahhh .. Mu Qing. Gue uda sering mainin lo kaya gini, tapi kenapa lubang lo masih sempit aja sih, hm?” – Shit. Apapun kalimat Feng Xin, jika situasinya adalah Sex, selalu saja bisa membuat Mu Qing semakin mengeras.

“Eunghh .. Fenghh .. Xiinnhh .. Ahnn ..”

“Terus! Terus panggil nama gue. Sebut nama gue. Lo cantik banget kalo lagi moaning kaya gitu. Gue suka.”

Feng Xin sangat suka. Sebegitu sukanya Feng Xin sampai-sampai dia tanpa sadar seperti mengobrak-abrik lubang Mu Qing. Memasuki nya dengan kasar. Menghentakkannya dengan sangat gahar dan kencang. Membuat Mu Qing sesak tanpa bisa menyebut namanya lagi. Hanya erangan-erangan panas yang kini terdengar dari dalam kamar mandi.

Masih di dalam sana. Masih bertaut antara lidah dengan lidah. Masih terhubung antara penis jantan dengan penis mungil keduanya.

Kali ini, Feng Xin berinisiatif untuk menyalakan shower. Membuat dirinya dan Mu Qing basah untuk menambah sensasi sex nya. Air bergemricik jatuh membasahi dan menyapu setiap sperma yang bercecer di atas lantai kamar mandinya. Ah sungguh.

Ini adalah Sex paling indah dan nikmat untuk keduanya di bandingkan sex yang beberapa kali pernah mereka lakukan di atas tempat tidur kekasihnya.


Lima ronde telah selesai. Menyisakan nafas berat antara Feng Xin dan Mu Qing yang masih berada disana. Oh, jangan lupa. Mereka masih telanjang tanpa sehelai pun busana.

Feng Xin perlahan-lahan memantapkan kalimatnya.

“Mu Qing ..”

Hanya di jawab dengan lembut oleh Mu Qing.

“Hm?”

“Ayo putus.”

DEG!

Putus?

Mu Qing mendorong tubuh Feng Xin sedikit kasar, meyiratkan rasa sakit yang baru satu detik lalu ia rasakan.

“Maksut lo?”

Feng Xin tidak bisa memandang wajah Mu Qing. Sekalipun, tidak bisa pula menatap kearah mata Mu Qing.

“Putus. Ayo kita putus. Sampai sini aja hubungan kita.”

Plaak ..

Pukulan ringan itu mendarat tepat di pipi kanan Feng Xin.

“Kita uda kaya gini dan lo mau mutusin gue?”

Sekali lagi Feng Xin diam. Bingung dengan apa yang harus ia katakan. Penjelasan apa yang harus dia berikan.

“Gue gak bisa lagi sama lo. Gue mau nikah. Sama cewek.”

Hancur. Segalanya runtuh. Hati Mu Qing seperti tertusuk ribuan pisau. Jantungnya seperti tertikam ribuan belati. Sakit! Ini teramat sangat sakit.

“Kalo mau mutusin gue, harusnya gak perlu bawa gue kesini. gak perlu kita ngewe disini. Kalo lo mau nikah, harusnya lo langsung aja bilang. Lo mainin gue atau emang gue nya yang bego?”

Kali ini, Feng Xin menatapnya. “Gue tau gue salah. Gue tau itu. Tapi gue gak bisa gak bertanggung jawab. Cewek itu hamil, Mu qing. Dia hamil anak gue.”

DEG!

Plaaakkk ..

Sekali lagi Mu Qing menamparnya. Kali ini tentu saja sangat keras.

“Lo gila??? Lo kenapa bisa ngehamilin anak orang? Lo ngapain aja? Bukannya selama ini lo sama gue?? Lo ..”

Entahlah. Mu Qing tidak tahu lagi kalimat apa yang pantas untuk memaki Feng Xin.

“Gue tau. Gue punya lo tapi waktu itu gue mabok. Gue gak tau kalo gue bakalan seceroboh itu. Waktu itu gue kira dia elo, gue beneran gak sadar Mu Qing. Please maafin gue. Gue harus tanggung jawab.”

Untuk beberapa saat. Ruang kamar mandi itu hening. Tidak ada yang berbicara tidak ada yang memulai kata-kata. Mungkin jika di dengar lagi, hanya terdengar suara detak jantung keduanya.

“Lo jahat.”

“Iya gue tau. Gue jahat. Gue minta maaf. Gue brengsek. Gue gak pantes dapetin maaf dari lo. Gue nyakitin hati lo. Tapi Mu Qing, gue serius gue cintanya sama lo doang.”

Mu Qing hanya diam. Menahan airmata yang ia bendung untuk tidak ia tumpahkan.

“Oke. Kita sampe sini aja.”

Setelah kalimat itu. Mu Qing bangkit dengan tubuh yang masih basah. Berjalan keluar dan mengambil baju milik Feng Xin secara acak. Kemudian memakainya dan pergi keluar meninggalkan apartment milik Feng Xin.

Sedangkan Feng Xin masih terduduk lemah tanpa busana. Menangisi setiap kebodohannya. Menangisi kepergian kekasihnya. Kakinya seperti mati rasa. Tubuhnya seperti melarangnya untuk bergerak. Hanya airmata nya yang terus memaksa keluar untuk menangisi setiap masa lalu yang ia perbuat hingga fatal.


Seminggu berlalu.

Feng Xin dan Mu Qing tidak lagi bertemu bahkan tidak juga saling menghubungi.

Diantara jarak ini, masih terasa bahwa keduanya tetap saling menunggu dan berharap.

Menunggu antara siapa yang akan kembali dan berharap semesta akan meniup kan sekali lagi takdir untuk mereka berdamai.

Tapi sepertinya, cinta diantara mereka tidak lagi di dukung oleh semesta.

Semua rasa yang pernah ada, perlahan juga akan musnah.

FIN.

YEARNING LAN WANGJI.


Note : Di tulis dalam POV Lan Wangji.


Aku merindukanmu. Akankah kisah kita berlanjut seperti harapku?

Aku ingin bertemu, ingin mendekap memeluk hangat tubuhmu. Akankah semesta mengizinkan diriku menatap kembali surai wajahmu?


Aku telah terbiasa berjalan disampingmu.

Aku telah terbiasa menatap senyum kecilmu.

Aku rindu saat aku harus terpaksa menyembunyikan wajah maluku saat menatap indah wajahmu.


Weiying, Weiying-ku.

Segalanya bagiku, cintaku.

Weiying, Weiying-ku.

Cinta kasihku, pujaan hatiku.


Aku rindu, teramat sangat rindu akan semua kenangan itu. Dimana saat kau tertidur diatas tubuhku, dimana saat kau mabuk di hadapanku, dimana saat kau melanggar semua peraturan keluargaku.

Kegilaanmu, tingkah manjamu, segala hal tentang dirimu, aku suka dan aku rindu.

Tiada sehari pun kau lepas dari pikiranku. Dimana kamu?


Kau tahu? Aku seperti terombang-ombing oleh masa lalu. Segala tentangmu, aku tak bisa lupa. Padahal, aku ingin sekali melupakannya.

Bukan karena aku tak cinta. Tapi ini sakit. Terlalu sakit untukku saat kau pergi tinggalkan aku.

Tanpa kata, tanpa pamit. Kau pergi begitu saja meninggalkan setiap inci kenangan masalalu kita.

Tidakkah kamu rindu? Rindu padaku, rindu pada kedua kelinci pemberianmu? Rindu anak kecil itu, A-yuan.

Tidakkah sedikitpun kamu ingin bertemu?

Ah tidak.

Sepertinya itu hanya aku. Hanya aku yang semesta takdirkan untuk merindu.

Sungguh, Weiying. Bagaimana aku harus mencarimu?

Bagaimana aku harus memanggil namamu agar kau datang ke hadapanku?


Jika kau ingin tinggalkan dunia ini, bawalah aku bersamamu.

Jika kau ingin tinggalkan semestamu, bawalah aku untuk menjagamu selalu.

Weiying, dimana pun kau berada. Kemana pun kau ingin pergi dan sembunyi, Aku mohon, lakukan itu bersamaku. Bawa aku.

Sekalipun itu adalah kematianmu, bawalah aku bersamamu.


Weiying, apakah kau tahu rasanya kesepian?

Apakah kau tahu bagaimana aku harus bertahan?

Apakah kau tahu sesakit apa perihnya 33 cambukan?

Aku seperti kehilangan akal sehatku, yang selalu ada di pikiranku hanya kamu.

Berapa kali pun aku menyakiti diriku, tetap saja lebih sakit saat kehilanganmu.

Sekalipun aku tertidur menutup mataku, tetap saja kau akan hadir dalam mimpiku.

Bolehkah aku mati saja. Berharap bertemu denganmu di alam baka.


Terkadang akupun ragu. Semesta seperti menelanmu.

Tak ada tanda kematian akan dirimu. Tak ada tanda hilangnya dirimu. Apakah kau sengaja bersembunyi rapat menjauh dari pahitnya dunia?

Weiying, katakan padaku. Bagaimana aku harus bertahan? Bagaimana aku harus menjalani hidupku tanpamu?

Akankah aku sanggup hidup tanpamu?

Atau perlukah aku sekali lagi mengakhiri hidupku?

Menggores kaca di nadiku? Meneguk segenggam pil tidur dengan air segelas penuh? Menggantung diriku pada ambang pintu? Menusukkan pedang ke jantungku? Atau mungkin, melompat dari tingginya tebing tanpa membuka mataku?

Yang mana, Weiying? Katakan padaku harus bagaimana aku mengakhiri hidupku?

Aku hanya ingin bertemu denganmu.


Ada satu cara terakhir untuk aku mengakhiri semua rasa sakit ini. Tapi aku takut itu juga takkan berhasil.

Tapi tetap akan aku lakukan.

Aku akan mencoba bertanya pada bulan dan bintang. Akan aku tanyakan apakah kau akan kembali ataukah tidak.

Jika bulan dan bintang tak menjawabnya, maka aku tahu kau benar-benar telah musnah.

Dan aku, tak ada lagi tempat untukku menunggu. Tak ada lagi celah untukku bertahan.

Maka biarkan deburan ombak membawaku hilang. Hilang seperti dirimu dan berdua kita tak lagi ada di gelapnya dunia.


Kita akan menghilang bersama. Biarkan sisa-sisa nafasku mencarimu di penghujung surga.

Biarkan semuanya sirna tanpa menyisakan apapun di dunia.

Weiying, cintaku. Tolong, tunggu aku.

FIN.

First meet.


Siang itu He Xuan dan Xie Lian telah datang di Mansion milik Hua Cheng. Perlahan He Xuan memperkenalkan Xie Lian sebagai Sekretaris barunya. Ia menjelaskan beberapa hal dan aturan untuk menjadi Sekretaris Bos Besar itu.


He Xuan : “Bos, dia Xie Lian. Sekretaris yang lu minta gua cariin.”

Hua Cheng : “Hm. Ok. Lo uda jelasin apa aja yang boleh dan gak boleh dia lakuin selagi dia jadi Secretary gue?”

He Xuan : “Udah sih, kemarin waktu ketemu. Tapi biar gua perjelas lagi disini, kali aja lu mau nambahin.”

Hanya di balas anggukan pelan oleh Hua Cheng.

Jujur saja. Sejak kedatangan Xie Lian beberapa menit lalu, Hua Cheng seperti terpanah. Dia seperti terpesona akan kehadiran Xie Lian.

Tapi Hua Cheng mampu menyembunyikan aura ‘terpana’ itu.


He Xuan : “Xie Lian, dia Hua Cheng bos kita. Dia orangnya gak suka basa-basi, suka orang yang ngelakuin apapun dengan cepat dan jujur, suka orang yang rapi dan wangi. Apapun yang dia butuhin, kamu harus ada dan nyiapin semua kebutuhan dia secepat mungkin. Jangan terlambat kalo dia minta dianter kemana pun. Apapun yang dia mau, kamu harus penuhin. Semua barang-barang dia, kamu harus tahu dimana letaknya dan dimana ngambilnya, nanti saya bantu kamu buat keliling dan jelasin beberapa hal lain lebih rinci. Intinya, Hua Cheng nomor satu, dan jangan sampai dia terluka sedikit pun. Karena selama saya sama dia, saya rela ngasih nyawa saya buat dia. Ok?”

Xie Lian tidak bisa mengingat semuanya, tentu saja. Hal itu sebenarnya sepele dan gampang jika orang itu sudah terbiasa melakukan segalanya. Tapi untuk Xie Lian, ini adalah kali pertamanya.

Xie Lian : “Iya. Saya paham.”

Disana, Hua Cheng hanya duduk memandang lurus ke depan. Ke arah dimana Xie Lian berdiri memperhatikan arahan dari He Xuan.


He Xuan : “Bro, sisanya bakalan gue jelasin ke dia pelan-pelan. Dia masih baru jadi mungkin gak semuanya dia inget.”

Hua Cheng : “Sip. Thank you. Buat hari ini mendingan lu ajarin dia. Gue mau keluar sebentar.”

He Xuan : “Kemana? Gua anter.”

Hua Cheng : “Ada urusan. 4 jam lagi gue balik.”

Setelah kalimat terakhir itu, Hua Cheng terburu-buru pergi. Menyisakan dua orang di ruangan itu.


He Xuan : “Xie Lian, tambahan lagi. Kalo kamu ngeliat Hua Cheng lagi ngga baik-baik aja. Kamu harus langsung pergi dari hadapan dia. Jangan ganggu dia, dia kalau ngamuk, serem.”

Xie Lian : “E-eh?? I-iya.”

Ah, dasar Xie Lian. Rasa gugupnya begitu besar setelah melihat Hua Cheng. Apalagi baru saja Hua Cheng berjalan keluar melewati dia. Ada sensasi gemetar, intimidasi dan rasa ingin melihat wajahnya. Tapi Xie Lian begitu ragu dan takut untuk melakukannya.

Keren, fabulous, luar biasa .. Chengzhu.


Tidak butuh waktu lama untuk He Xuan sampai pada Mention megah bergaya classic milik Hua Cheng.

He Xuan sangat tahu letak setiap bilik jalanan menuju ke tempat Hua Cheng. Hanya butuh 20-25 menit, tidak lebih atau kurang dari itu.


Memarkirkan mobil mercedes benz miliknya dan segera menuju ke kamar Hua Cheng. Seperti biasa, cukup dengan satu kali ketukan dia sudah dengan bebas membuka pintu besar di hadapannya itu.

Menampilkan sosok Hua Cheng, Bos Mafia terkenal, ternama, dan terkaya di seluruh penjuru dunia. Ah tidak, bukan penjuru dunia. Tapi memang, Hua Cheng sebegitu kaya nya sehingga semua orang ingin sekali bertemu, berbisnis, dan bahkan menjalin asmara dengannya.

Tapi sayang, Hua Cheng adalah Hua Cheng. Tidak mudah membuatnya luluh. Satu-satunya manusia yang bisa membuatnya luluh akan sesuatu adalah He Xuan.


He Xuan; adalah teman masa kecil Hua Cheng. Keduanya bertemu kembali tanpa bisa di ceritakan. Hingga dalam waktu pertemuan itu keduanya mulai berinteraksi kembali. He Xuan menjadi satu-satunya teman yang paling mengerti Hua Cheng.

Karena satu dan lain hal yang tidak bisa dijelaskan, He Xuan saat ini bisa di bilang, mau melakukan segalanya karena apapun yang dia butuhkan, termasuk uang, akan selalu di penuhi oleh Hua Cheng.

Sebanyak apa dan semendadak apapun keadaannya, Hua Cheng tidak akan mempersulit dirinya jika masalahnya adalah uang. Itulah kenapa He Xuan lebih baik menjadi segala yang di butuhkan Hua Cheng daripada harus membayar hutang-hutangnya pada sosok yang ia panggil Chengzhu.


Hua Cheng berdiri menghadap jendela di kamarnya, cahaya matahari masuk mengenai irish-nya. Sambil mengancingkan Jas hitam miliknya ia berkata pada He Xuan, “Lama. Bayar utang lo sini.”

“Apaan. Tepat waktu ya, gak usah ngaco.”

“Menurut lo, gue gimana?”

“Biasa aja.”

Jawaban itu membuat Hua Cheng menoleh tepat kearah He Xuan. Tentu saja dengan sedikit tatapan mautnya.

“Keren, fabulous, luar biasa .. Chengzhu.”

Kalimat itu hanya di balas dengan hirauan yang biasa Hua Cheng lakukan pada He Xuan.

“Hari ini gue ada rapat penting sama Jun Wu. Lo tau kan Jun Wu orang yang santai tapi sebenernya dia agak licik.”

“Hm.”

“Siapin mobil. Yang Audi, yang baru gue beli kemarin lusa.”

“Okay, bos.”

“Satu lagi, tolong fotoin gue.”

“Dih. Ngapain anjir segala di foto?”

“Mau fotoin apa bayar utang aja?”

“YAELAH CHENG. IYA SINI GUA FOTOIN ELAH BAWEL LU NGANCEM-NGANCEM.”

“HAHAHAHAHA.”

“Foto yang bagus. Jangan ada yang jelek karena gue gak punya kejelekkan sama sekali.”

He Xuan yang sudah biasa mendengar jokes itu, hanya bisa memutar bola matanya tanpa tersenyum.

“Kenapa lo? Muka lo gak enak banget.”

“Gapapa.”

“Senyum. Jangan sengak kalo di depan gue.”

“Okay, bos.”