ssó

The blue ocean; Afterlife. III


Saat ini — Lagu.

Aku seperti kehilangan diriku. Kepalaku penuh dengan keindahan dirinya. Hatiku serasa ingin selalu bertemu dengannya, menatap surai indah wajahnya. Pertahananku seakan melemah jika aku terus memikirkan dirinya.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah hidupku, aku memikirkan oranglain selain Ibuku. Ibuku, satu-satunya manusia di dunia yang aku pikir paling mengerti diriku, selalu bisa memelukku, menenangkanku, dia segalanya bagiku.

Dia adalah satu-satunya alasanku mempertahankan hidup. Dia juga alasanku untuk mati. Saat dia meninggalkanku, dunia seakan runtuh. Aku tak lagi sanggup bernafas, aku tak lagi bisa memandang dunia. Itulah mengapa aku selalu ingin bertemu dengannya, di surga.

Itulah mengapa aku selalu ingin mendekapnya, memeluknya dan mengatakan padanya aku rindu padanya.

Bodoh, aku menganggap bahwa jika aku mati aku akan bertemu lagi dengannya di surga.

Tapi ternyata, surga belum menginginkanku menemuinya.

Malah sebaliknya, aku bertemu dengannya. Aku bahkan memberinya nama, dan sekarang aku malah membuatkan dirinya sebuah lagu yang hanya kita berdua yang tahu.

Aku ingat namanya, Weiying. Nama yang indah, nama yang cantik secantik parasnya.

Walaupun aku bertemu dan menatap wajahnya, tapi aku belum sempat melihat sosok sebenernya dirinya. Aku ingin melihatnya, sepenuhnya.

Aku tahu, aku yakin bahwa tubuhnya akan sama indahnya dengan bentuk wajahnya.

Dia begitu indah.

Lagu ini akan aku nyanyikan di tepi lautan, seperti saat sebelumnya. Inilah caraku untuk yakinkan dia bertemu lagi denganku.

Malam ini bintang begitu terang, bulan pun memberikan bayang-bayang di setiap langkahku menuju lautan.

Sepertinya malam ini aku bisa melihatnya dengan bentuk sempurna.

Weiying, tunggu aku datang. Lagu ini, kau pasti akan suka.


Semilir angin malam ini terasa menusuk hingga ujung tulangku. Hembusan angin seperti menerpa setiap helai rambutku. Sinar bulan dan bintang seperti mendukungku dari ribuan mil jarakku. Mereka seperti menantikan pertemuanku dengan dia malam ini.

Akankah dia datang? Ingin sekali aku bertanya pada bulan. Akankah dia ingat? Ingin pula kutanyakan hal itu pada bintang.

Semua isi pikiranku itu terus saja berjalan menemaniku menuju dirimu. Hingga sampai pada sisi laut, dan mulai ku nyanyikan lagu itu.

Aku berkata dalam pikiranku, “Seperti janjimu. Datang dan temuilah aku, aku bawakan sebuah lagu.”

Lan Wangji bernyanyi. Dengan iringan suara angin bertiup malam itu, dia lantunkan lirik-lirik lagu ..


Dasar lautan.

The blue ocean; Afterlife. II


Saat ini — Bahagia dan Gelisah.

Weiying. Oh sungguh nama yang indah. Indah untuk di ucapkan dan manis ketika di dengar.

Siren Weiying? Ataukah, Pangeran Laut Weiying?

Ah sudahlah. Weiying terlihat begitu malu mengingat nama barunya itu.

Sungguh nama yang indah. Apalagi, sang penciptanya juga adalah sosok yang begitu tampan dan rupawan.

Mulai saat ini, panggil dia Weiying.

Begitulah, rasa bahagia yang datang dari sebuah nama.

Semenjak hari itu. Weiying tak lagi berkeinginan untuk naik ke permukaan. Dan lagi, Lan Wangji pun belum terdengar sedang memanggilnya. Tidak ada dentuman lagu atau suara yang dirasa sedang memanggilnya.

Di dasar lautan terdalam itu. Tengah menari-nari dua sosok laki-laki. Bercerita dan berbagi suara. Jika yang satu adalah Weiying, maka satunya lagi adalah Xie Lian.

Menampakkan sosok hangat Xie Lian di dasar lautan. Ekor putih panjangnya begitu indah bersinar. Terdapat beberapa gantung mutiara dan kerang diatas gerai hitam rambutnya.

Xie Lian, sosok indah dan menawan. Sosok lembut dan hangat, yang mampu menenangkan lautan.

Bagaimana makluk laut itu bersuara? Bisakah mereka berbicara layaknya manusia?

Tentu saja. Para makhluk laut itu dapat berbicara layaknya manusia. Bahkan, mereka mampu merasakan keberadaan satu sama lainnya meskipun dalam jarak yang cukup jauh ratusan mil.

Sungguh makluk yang luar biasa.

Tubuh yang tak biasa, paras yang cantik jelita layaknya seorang dewa, dan suara yang merdu mengalahkan intrument terbaik di dunia.

Iya, itulah mereka.

Hari ini, tidakkah Weiying terlihat tak biasa?

Wajahnya begitu bersinar. Tak henti-hentinya ia berenang kesana kemari, menaburkan ratusan mutiara laut, beberapa kali merapikan rambutnya dan mengganti hiasan kerang yang ada di rambut hitamnya dengan uraian mutiara.

“Kau baik-baik saja? Tidakkah semua yang kau lakukan ini berlebihan?”

Suara hangat Xie Lian membuatnya diam seketika.

Tidak ada jawaban, atau lebih tepatnya Weiying tidak tahu harus berkata apa.

Xie Lian masih saja menatapnya. Seakan meminta dirinya untuk segera memberikan jawaban akan rasa penasarannya.

“Seseorang memberiku nama. Dia juga akan membuatkan aku sebuah lagu. Dia sangat tampan.”

Oh, sepertinya Xie Lian mengerti.

“Kau jatuh cinta?”

“Aku rasa begitu.”

“Katakan padaku, siapa dia? Apakah ekornya indah? Apakah rambutnya lebih panjang darimu? Warna apa ekornya?”

Pertanyaan itu, pertanyaan macam apa? Apa yang harus Weiying jawab?

Xie Lian menunggu jawaban itu.

“Katakan padaku, ayo.”

“Dia tidak punya ekor, rambutnya tak sepanjang milik kita. Dan ..”

“Dan? Lanjutkan.”

“Dan dia, manusia.”

“MANUSIA?”

“Ya, dia manusia.”

Xie Lian begitu kaget saat mendengar kata ‘manusia’. Dia tahu, atau lebih tepatnya, semua penghuni lautan ini tahu bahwa manusia dan makluk laut tidak akan pernah bisa bersatu.

Jika kedua makluk berbeda dunia itu bertemu untuk saling menghancurkan, maka itu bisa saja terjadi. Tapi jika mereka bertemu untuk saling mengasihi, itu sangatlah mustahil.

Dua alam berbeda hanya bisa bahagia bila mereka berada dalam satu dunia yang sama.

Jika manusia dengan manusia maka disini, di laut ini, adalah makluk laut dengan makluk laut lainnya.

Atau mungkin seperti Xie Lian dan Hua Cheng. Keduanya adalah makluk laut yang saling mencintai untuk waktu yang lama.

Terlebih lagi, antara manusia dan makluk laut memang mempunyai takdir yang berbeda, selain itu jarak usia mereka pun tak sama.

Jika makluk laut seperti mereka dapat hidup hingga ribuan tahun, maka sebaliknya. Manusia tidak akan mencapai batas tersebut.

Yang mana artinya hubungan beda dunia itu sungguh telah di tentang oleh semesta.

Xie Lian mencoba sedikit menjelaskan.

“Kau tahu, jatuh cinta pada manusia itu di larang. Ini tidak benar.”

Weiying menjawab dengan sedikit gemetar,

“Aku tahu itu. Tapi hatiku, aku sudah jatuh cinta. Dan aku rasa dia juga merasakan hal yang sama.”

“Apa yang telah kalian lakukan? Bagaimana bisa kau seyakin itu?”

“Aku sangat yakin dia mencintaiku. Dia rela menenggelamkan dirinya sendiri hanya untuk melihatku.”

“Benarkah? Hanya itu? Bagaimana kalau itu hanya percobaan bunuh diri seperti yang manusia lakukan pada umumnya?”

“Xie Lian, aku percaya padanya.”

Entahlah. Xie Lian seperti tak bisa berkata-kata. Lidahnya seperti menekan beban yang sangat berat, apapun itu tak lagi sanggup ia katakan.

Hingga pada akhirnya, Xie Lian menyerah.

“Nama apa yang dia berikan padamu? Dan untuk apa lagu itu?”

“Weiying. Dia memberiku nama Weiying. Dan aku menyuruhnya untuk bernyanyi jika dia ingin bertemu denganku. Maka dari itulah dia membuatkan aku sebuah lagu. Lagu itu hanya kita berdua yang tahu. Dan ya, nama manusia itu adalah Lan Wangji. Sungguh nama yang indah.”

Weiying, tak bisa berhenti jika itu menyangkut Lan Wangji.

Seperti kepribadiannya yang hangat. Xie Lian hanya bisa tersenyum dan berharap dalam hatinya ; “Apapun itu, aku harap manusia tidak akan membuatmu menjadi buih.”

Bagaimana pun juga, dunia yang berbeda tidak akan pernah menyatukan sebuah cinta.

To be continuied..

Sweet Night.


Malam ini Sanlang datang kerumah Xie Lian. Entah kenapa tiba-tiba saja rasa ingin menemui Xie Lian sedikit mengganggu pikirannya.

Semenjak pemakaman kedua orang tua Xie Lian, ada selama satu minggu penuh Sanlang menemani Xie Lian. Bahkan memasak dan merawat Xie Lian dirumahnya.

Tapi sekarang berbeda. Sanlang sudah mulai bekerja dan begitu sibuk hingga waktunya hanya dia gunakan untuk bekerja dari pagi hingga malam. Dari senin hingga sabtu, malah kadang, weekend pun dia sibukkan diri untuk bekerja.

Siapa yang sangka, satu minggu merawat Xie Lian saat itu juga membuat dirinya lebih mengerti bagaimana kepribadian Xie Lian.


Ornamen-ornamen pada dinding ruang tamu masih sama seperti dulu. Vas bunga dan figura, foto keluarga dan beberapa lukisan kuno masih menempel rapi disana.

Tidak ada tempat yang berantakan disana. Tentu saja. Xie Lian adalah orang yang bersih dan rapi. Tapi tidak untuk kamar pribadinya sendiri. Selalu berantakan dengan ranjang berwarna putih dimana diatasnya bantal dan guling tidak serapi seperti yang pernah Sanlang lihat.


Sanlang : “Ngga ada yang berubah, ya?”

Xielian : “Semuanya masih sama kak. Aku ngga mau ngerubah apa yang uda diatur sama orang tua aku.”

Sanlang duduk di sofa ruang tamu. Sedikit memandangi segala isi yang ada disana.

Xie Lian sedikit canggung.

Xie Lian : “Kak, mau minum apa?”

Sanlang : “Air putih hangat. Itu aja.”

Xie Lian : “Ngga pernah berubah. Dari dulu setiap kesini mintanya air putih anget.”

Sanlang : “Biar ngga ngerepotin kamu.”

Ah gila. Xie Lian merasa terlena, sedikit.

Kemudian dia ke dapur. Menuangkan air putih hangat dan membawanya kehadapan Sanlang.

Xie Lian : “Maaf ya kak aku gak punya apa-apa buat disuguhin. Belom ke supermarket. Gajian aku juga belom cair.”

Sanlang : “Gajian? Aku kira kamu kuliah?”

Xie Lian : “Iya aku kuliah sambil kerja. Part time aja sih buat kebutuhan sehari-hari.”

Sanlang tidak menjawab. Dia hanya mengangguk tipis tanda dia paham akan maksut Xie Lian.


Sanlang sedikit memperhatikan Xie Lian. Dia duduk di sofa tepat di hadapannya. Sanlang melihat Xie Lian seperti tidak nyaman.

Sanlang : “Kamu kenapa?”

Xie Lian terlihat sedikit pucat.

Xie Lian : “Ngga tau kak. Perut aku sakit. Ngga enak gitu rasanya.”

Sanlang sedikit cemas. Dia berpindah dari tempat duduknya untuk datang mendekat ke sisi Xie Lian.

Sanlang : “Kamu ngga lagi sakit kan?”

Tiba-tiba saja telapak tangan hangat itu berhenti tepat di dahi Xie Lian. Mencoba untuk memastikan bahwa lelaki cantik itu baik-baik saja.

Sanlang : “Kamu ngga demam. Tapi keringetan kaya gini. Ini pasti karena kamu makan samyang pedes terus minum susu tadi. Ke dokter, ya?”

Xie Lian menggelengkan kepalanya perlahan.

Xie Lian : “Ngga usah. Palingan sakit perut biasa. Aku gosokin make minyak kayu putih pasti enakan kok entar.”

Sanlang : “Ya sudah, mana minyak kayu putihnya. Biar saya yang gosokin.”

Kaget.

Jelas.

Batin Xie Lian : “Ada bagusnya juga sakit perut kaya gini. Diperhatiin dia lagi astaga.”

Saking kaget dan senangnya, Xie Lian sampai tidak menjawab pertanyaan Sanlang.

Sanlang : “Lian. Dimana?”

Xie Lian tersadar dari batinnya.

Xie Lian : “Hah? Oh?? Di kamar aku. Ada di kamar aku. Tunggu biar aku ambil keatas.”

Baru saja Xie Lian hendak mengangkat tubuhnya. Berencana untuk bangkit tapi di tahan oleh Sanlang.

Sanlang : “No. Jangan. Biar aku aja yang ambil. Kamu diem disini, oke?”

Aku?? Secara tidak sadar Sanlang berkata “Aku” yang artinya dia sedikit demi sedikit mulai bisa untuk tidak berkata terlalu formal.

Xie Lian : “Kak ngga usah. Biar aku aja. Lagian kamarku berantakan. Aku malu.”

Sanlang : “Oke. Kita keatas berdua. Biar kamu bisa sekalian rebahan.”

Xie Lian : “Hah?”

Sanlang : “Ngga apa-apa kan?”

Xie Lian : “I-iya gapapa sih. Tapi ..”

Belum selesai kalimat itu keluar dari bibir Xie Lian, tiba-tiba dia merasa tubuhnya seperti terangkat.

Sanlang menggendongnya.

Mengangkat tubuh hangat itu dalam genggamannya.

It’s a bridal style.


Xie Lian : “Kak???”

Sanlang : “Jangan gerak. Nanti kita jatuh.”

Tanpa sadar, Sanlang sudah membawa tubuhnya menaiki tangga menuju kamar Xie Lian.


Sanlang : “Dimana minyak kayu putihnya?”

Xie Lian : “Disana. Diatas tumpukan buku sebelah laptop aku. Coba liat.”

Sanlang melihatnya dan segera mengambil minyak kayu putih itu.

Dia duduk di pinggiran tempat tidur tepat dimana dia membaringkan Xie Lian tadi.

Sanlang : “Buka baju kamu.”

Xie Lian kaget.

Sanlang : “Maksutnya, buka baju kamu biar saya bisa ngolesin minyak kayu putihnya. Perut kamu sakit kan?”

Xie Lian paham. Tapi kata-kata Sanlang barusan sedikit ambigu memang. Tidak heran jika Xie Lian sedikit kaget.

Xie Lian : “Oh. Tapi kak, aku bisa ngolesin sendiri. Gak usah repot-repot hehe.”

Xie Lian jelas menolak karena dia malu.

Sanlang : “Gak perlu malu sama saya, Lian. Saya pernah ngerawat kamu sebelumnya. Saya pernah gantiin baju kamu dulu.”

Xie Lian : “HAH???”

Sanlang yang sadar kata-kata nya barusan sedikit ambigu, segera menjelaskan.

Sanlang : “Dulu saya pernah ngerawat kamu waktu kamu sakit. Satu minggu saya nginep disini, gantiin kamu baju juga kan?”

Xie Lian : “HAH???”

Sanlang hanya tersenyum. Seolah-olah dia tahu bahwa Xie Lian sedang malu.

Sanlang : “Bagian atas aja. Ngga semuanya saya buka.”

Xie Lian : “HAH??? GI-GIMANA??”

Sanlang tertawa tipis sambil memandang wajah putih Xie Lian.

Sanlang : “Kamu percaya sama saya kan?”

Xie Lian : “ ....... “


Xie Lian dengan rasa sedikit malunya mau tidak mau harus membuka setengah bajunya. Memperlihatkan bagian perutnya. Dan Sanlang dengan sabar dan lembut mengoleskan minyak kayu putih itu pada perutnya.

Setelah selesai. Mereka berdua cukup lama bercengkerama. Mengenang sedikit masa lalu saat Sanlang masih kuliah di awal semester. Mengenang bagaimana dulu Xie Lian sering bermain kerumahnya hingga larut malam. Mengenang saat-saat pilu saat kedua orang tua Xie Lian meninggal.

Hal ini membuat emosi Xie Lian sedikit meluap. Wajahnya tampak layu dan sedih mengingat ayah dan ibunya saat itu.

Sanlang mengerti. Dia mencoba mengalihkan perhatiannya.

Sanlang : “Jadi, selama ini kamu suka merhatiin saya?”

Xie Lian : “Mm. Cuma merhatiin kok soalnya aku bosen. Dan kebetulan kalo pagi-pagi aku suka bersih-bersih rumah, jadi secara ga langsung pasti keliatan kakak. Orang rumah kakak pas di depan rumah aku.”

Sanlang hanya tersenyum.

Xie Lian : “Kak Sanlang, kalo ngomong sama aku make aku kamu an aja, Ok? Jangan terlalu formal.”

Sanlang : “Saya coba ya. Saya uda terbiasa ngomong kaya begini. Bahkan sama mama papa kamu juga formal gini kan dulu?”

Xie Lian : “Iyasih, dari dulu kakak emang udah seformal itu. Tapi kalo bisa sama aku yang santai aja hehe.”

Sanlang hanya tersenyum.

Untuk beberapa saat, tanpa Xie Lian tahu. Sanlang sudah sangat memperhatikannya. Memandangi wajahnya saat dia berbicara.

Wajahnya begitu indah. Parasnya sangat lembut. Bibirnya merah merona. tubuhnya hangat dan tutur katanya sangat menyenangkan untuk di dengar.

Sekali lagi, Sanlang sangat terpesona.

Sadar bahwa Sanlang saat ini sedang memandang lembut dirinya, Xie Lian mulai merasa malu dan tersipu. Hatinya bergetar dan tangannya keringat dingin.

Suara detak jantungnya mungkin sudah terdengar oleh Sanlang.

Xie Lian : “Kak? Ke-kenapa? Jangan ngeliat aku kaya gitu aku malu.”

Sanlang masih tetap memandangnya.

Pandangan yang begitu lembut.

Sanlang : “Kamu cantik. Aku suka.”

DEG.

“Cantik?”

“Suka?”

Jantung Xie Lian seperti berhenti saat itu juga.

Dia tidak bisa lagi berkata-kata.

Perlahan kedua wajah itu mulai mendekat. Membuat nafas keduanya seperti bertaut seakan memaksa kedua bibir itu untuk bertemu.

Perlahan dan perlahan. Semakin dekat dekat dan dekat.

Hingga akhirnya, kedua bibir itu bertemu.

Kedua bibir mengecup satu sama lain.

Sanlang merasa dirinya sudah melewati batas. Tapi kesadaran itu tidak bisa membuat bibirnya melepas bibir lelaki yang dikecupnya.

Untuk beberapa saat kecupan itu masih hangat. Sampai pada menit berikutnya, Xie Lian lah yang memulai segalanya.

Xie Lian mulai mengecap bibir manis Sanlang. Seperti memberi Sanlang peluang untuk mengeluarkan gairahnya.

Rasa suka dan sayang yang selama ini Xie Lian pendam di dalam dirinya, mulai menguar.

Xie Lian : “Mmhh ..”

Ciuman itu masih intens.

Lenguhan Xie Lian membuat Sanlang sadar.

Dia melepas perlahan tautan itu.

Saling memandang.

Wajah keduanya terlihat malu dan salah tingkah.

Sanlang : “Ma-maaf. A-aku .. Gak maksut ..”

Xie Lian tersenyum. Dia merasa bahagia tapi kebahagiaan itu masih dia tahan.

Xie Lian : “Ahh, perut aku sakit lagi.”

Tentu saja, bohong.

Xie Lian hanya mencoba mencairkan suasana diantara mereka.

Sanlang : “Tidur. Ok? Aku gak mau kamu kenapa-napa.”

Xie Lian : “Kak, temenin aku ya?”

Sanlang : “Hah? Temenin? Iya kan ini aku temenin kamu.”

Xie Lian : “Maksut aku, nginep sini.”


Seperti yang sudah di tebak. Tidak ada penolakan.

Sanlang tetap disana untuk memastikan Xie Lian baik-baik saja.

Keduanya terlelap di ranjang yang sama.

End Of Us.


tw // mcd , last moment , nsfw , separation , death of loved ones.


Malam itu terasa begitu hangat. Dengan kehadiran Shi Wu Du yang begitu menenangkan hati, Pei Ming menopang tangan kiri Shi Wu Du dengan tangan kiri miliknya. Sedang tangan kanan nya melingkar pada pinggang ramping nan sempit milik kekasihnya itu.

Berjalan perlahan menaiki tangga hingga masuk dalam ruang kamar minimalis milik Pei Ming.

Seolah-olah sedang memapah seorang Pangeran. Pei Ming begitu berhati-hati. Dan senyum tipisnya yang sesekali terlihat saat dia sedikit menolehkan wajah tampan nya pada kekasih di sampingnya itu sedikit terlihat.

“Pelan-pelan aja. Aku gak akan biarin kamu jatuh. Pegang tangan aku yang erat. Ok?”

“Kenapa sih? Aku bisa jalan sendiri. Kenapa harus di tuntun kaya orang sakit?”

Karena kamu memang sakit. — Batin Pei Ming.

Pei Ming hanya tersenyum dan membalas, “Aku pengen kaya gini. Aku pengen memperlakukan kamu kaya Pangeranku. Pangeran yang paling aku cinta.”

Shi Wu Du sedikit tersentak, “Oh? Sekarang uda cinta ya sama aku?”

“Ngga keliatan ya?”

Tentu saja, pertanyaan balik itu hanya di pandang oleh Shi Wu Du tanpa ada jawaban.

Sambil mendudukkan Shi Wu Du ke kasur empuknya, Pei Ming berkata, “Aku tau. Cinta aku ke kamu belum sebesar cinta kamu ke aku. Tapi aku janji, itu akan bertambah terus terus dan terus. Sampe kamu bisa ngerasain itu.”

Yang ini pun, hanya di balas dengan senyuman tipis oleh Shi Wu Du.


Entah apa yang Shi Wu Du pikirkan. Tapi, sungguh. Rasanya saat ini waktu akan berjalan sangat singkat.

Entah apa yang akan terjadi. Baik Shi Wu Du maupun Pei Ming seperti telah mempersiapkan diri untuk sebuah rasa kehilangan yang besar. Mereka seperti, sudah siap satu sama lain.


Disana, di kamar minimalis milik Pei Ming. Telah duduk seorang laki-laki berwajah pucat dan sedikit lemah. Ya! Itu, Shi Wu Du.

Terlihat ada sedikit keraguan saat ini. Entah ragu siapa yang akan memulai pembicaraan atau ragu apa yang harus di lakukan.

Untungnya Pei Ming cukup tidak sabar, sehingga dia lah yang memulai sebuah gerakan.

Memegang kedua tangan Shi Wu Du dan berkata, “Shi Wu Du, dengerin aku. Ngga peduli seberapa lama aku bisa jatuh cinta, ngga peduli seberapa lama aku atau kamu hidup, itu semua ngga akan buat aku ngurangin rasa cinta aku ke kamu. I love you, I really love you. With all my heart.”

Shi Wu Du tersenyum, berkaca-kaca dan berkata, “I love you more. Since the first time we met, till the death of me. Trust me.”

Keduanya duduk berhadapan begitu dekat. Setelah mendengar itu, Pei Ming menempelkan keningnya pada kening Shi Wu Du. Kemudian berkata, “I trust you. I love you, more. More more and more, Shi Wu Du.”

Shi Wu Du menangis. Air mata itu tidak lagi bisa ia bendung. Jauh di dalam hatinya, saat dia mendengar Pei Ming mengatakan bahwa dia mencintainya, dia benar-benar terharu. Dia benar-benar merasa penantiannya selama ini tidak sia-sia.


Pei Ming mengecup keningnya. Turun perlahan hingga ke kedua matanya, kini pangkal hidungnya, pipinya, dagunya, dan terakhir jatuh pada bibir manisnya.

Kecupan lembut dari bibir Pei Ming kini sedikit terbuka. Membuat Shi Wu Du sedikit gemetar karena belum terbiasa.

Meskipun begitu, dominasi kecupan Pei Ming begitu indah. Tidak sulit untuk Shi Wu Du mengikutinya dan bergerak terbuka.

Kini kecupan itu terasa begitu dalam. Dengan kedua mata mereka saling memejam. Memagut setiap inci bibir masing-masing dengan indah.

Baik Pei Ming maupun Shi Wu Du, keduanya sangat menikmati ciuman itu. Hingga tanpa sadar Shi Wu Du membuat sedikit erangan. Membuat hasrat Pei Ming sedikit naik tapi masih bisa di tahan.

Tapi tidak saat Shi Wu Du sendiri lah yang membuat segalanya menjadi semakin berantakan.

Di tengah-tengah ciuman itu, Shi Wu Du tanpa sadar mengerang, “Engh..”

Membuat Pei Ming menjadi sedikit liar.

Degupan kencang di dada Shi Wu Du tidak lagi bisa di sembunyikan.

Shi Wu Du melepas tautannya dan berkata,

“Pei Ming, aku mau.”

“Mau apa, hm?”

Tidak ingin berbohong pada dirinya sendiri bahwa Pei Ming juga menginginkannya.

“Sentuh aku.”

“Emang boleh?”

“Hm. Boleh. Sentuh aku. Dimana pun yang kamu mau.”

Pei Ming hanya merasakan hatinya bergetar. Tidak tau harus memulai sentuhan itu dari mana. Sampai pada akhirnya,

“Disini. Kaya gini. Sentuh kaya gini.”

SIAL!

Shi Wu Du benar-benar membuatnya gila.


Shi Wu Du memegang kendali tangan kanan Pei Ming. Mengarahkan pada bibirnya lalu kemudian tepat berhenti pada dadanya. — Ah tidak, bukan dada tapi jantung.

Dia berkata, “Pei Ming, kamu bisa ngerasain detak jantung ini kan?”

Pei Ming tidak menjawab. Sebagai gantinya, dia hanya mengangguk.

“Disini. Ada kamu. Cuma kamu. Sejak awal sampai sekarang akan selalu ada kamu. Ada nama kamu, ada Pei Ming.”

Entahlah. Detik itu rasanya seperti detik terakhir. Kalimat itu terdengar seperti sebuah kalimat perpisahan.

Ya memang. Itu memang perpisahan. Kata perpisahan yang keduanya sama-sama tahu, tapi dalam diam.

Pei Ming gila.

Pei Ming tidak bisa lagi menahan segala rasa. Hanya ingin memeluk hangat kekasihnya, menggenggam erat tangannya, dan menyandarkan tubuhnya pada dirinya. Menikmati setiap detik terakhir bersama cintanya.


Entah sejak kapan keduanya membuka setiap inci pakaian pada tubuhnya. Entah bagaimana keduanya bisa berada pada ranjang yang sama tanpa sehelai pun benang menempel pada lekuk tubuhnya.

Kini hanya ada Pei Ming yang berada diatasnya. Mata indah Pei Ming terus saja memandang wajah indah dan pucat milik kekasihnya, Shi Wu Du. Dan detik selanjutnya, kedua benda tipis tapi lembut itu berdecap perlahan hingga membuat beberapa erangan.

“Ngh ..”

“Angh ..”

Tentu saja. Itu suara erangan Shi Wu Du.

Shi Wu Du berhenti. Dia sedikit mendorong dada Pei Ming untuk memberikan dia tempat untuk bernapas dan berbicara.

“Pei Ming, aku cinta kamu.”

“Aku tau.”

“Pei Ming ...”

Seolah-olah mengerti. Pei Ming tidak lagi menahan hasratnya. Tentu saja dia akan memasuki laki-laki dibawahnya.

“Okay. Tapi dibawah selimut ya. Pake selimut. Aku gak mau kamu kedinginan.”

Shi Wu Du terharu sampai dia berkaca-kaca. Wajah pucatnya terlihat lebih tampan, memerah dan cantik. Sangat cantik!

Tubuh keduanya sudah berada dibawah selimut. Rasa hangat dan cinta mereka kini mendominasi suasana. Seakan mendukung keduanya untuk segera bercinta.

Pei Ming mengecup keningnya. Dan turun ke lehernya. Lalu menciumi setiap jengkal tubuh Shi Wu Du. Dan tanpa sadar ia mengerang, “Ngh ..”

Pei Ming mendengarnya, “Kalo sakit, bilang ya. Biar aku bisa berhenti.”

“Ngga akan sakit. Aku bisa tahan.”


Pei Ming mulai memasukkan batang merah miliknya pada lubang kecil milik Shi Wu Du. Perlahan-lahan masuk, sambil kedua tangan nya mengangkat kedua kaki Shi Wu Du.

Mencoba untuk mengeluar masukkan batang besar itu tanpa harus menyakiti Shi Wu Du.

“Ngh.. Iyah.. Disitu.”

“Suka?”

“Sukah.. Lebih.. cepet lagi.. Ngh.”

“Ahh..”

Shi Wu Du terus saja mengerang. Membuat Pei Ming semakin bergerak cepat tanpa henti. Ia hentakkan dengan tempo yang berkali-kali lebih cepat dari pada sebelumnya. Bertujuan untuk cepat mengakhiri hasrat panas ini. Karena saat ini, jujur, Pei Ming hanya ingin menghabiskan waktunya bersama Shi Wu Du.

Hanya ingin mendekap tubuh lemah kekasihnya. Tanpa ada rasa nafsu. Hanya ada rasa cinta.


“Ahhh.. Pei.. Pei Ming ..”

Erangan itu terdengar sangat indah di telinga Pei Ming. Pei Ming suka. Tapi ..

Tapi Pei Ming benar-benar tidak bisa lagi melakukannya. Dia ingin menangis. Nafsu yang awalnya begitu terasa, kini semakin memudar. Ia melihat wajah Shi Wu Du semakin pucat dan berkeringat.

Dia ingin berhenti.

Dan pada akhirnya dia memang berhenti.

“Maaf.”

Shi Wu Du mendengarnya. Tapi dia tidak menjawab.

“Maaf aku ngga bisa lagi ngelanjutin.”

Shi Wu Du sedikit terengah-engah. Erangan indah kini tak lagi di dengar oleh Pei Ming. Sebagai gantinya, dia malah mendengar getaran nafas lemah milik Shi Wu Du.

Pei Ming mendekat. Berbaring di samping tubuh Shi Wu Du. Memandang dari samping wajah Shi Wu Du dan kemudian berkata, “Sayang, kita berhenti ya?”

Shi Wu Du hanya mengangguk pelan. Lalu dia menoleh dan mengecup bibir Pei Ming.

Mereka berpelukan. Begitu erat dan rapat. Pei Ming mengelus surai hitam Shi Wu Du. Memandangi wajahnya, berkaca-kaca. Hingga pada akhirnya air mata itu menetes.

“Hey, kamu nangis?”

Shi Wu Du tahu.

“Pei Ming, kenapa nangis?”

Pei Ming diam.

“Jawab aku. Kenapa kamu nangis?”

Pei Ming masih diam.

“Jangan nangis. Lihat aku.”

Shi Wu Du mengarahkan wajah Pei Ming untuk menatapnya. Lalu dia berkata;

“Kamu uda tau kan?”

Pei Ming tetap diam.

“Kamu tau. Iya kamu pasti tau. Qing Xuan pasti uda ngasih tau kamu.”

Pei Ming terpuruk. Dia ingin berbicara tapi lidahnya seperti hilang entah kemana.

“Jadi karena ini? Karena kamu tau aku sakit, kamu suka sama aku? Cinta sama aku?”

“Engga!” — Jawab Pei Ming secara tegas.

“Aku memang tau dari Qing Xuan tapi aku udah ngerasa aku cinta sama kamu sebelum Qing Xuan ngasih tau. Kamu harus percaya sama aku.”

Kali ini, giliran Shi Wu Du yang diam.

“Shi Wu Du, aku berani sumpah aku cinta sama kamu bukan karena penyakit kamu. Tapi karena memang aku cinta. Tolong percaya.”

Shi Wu Du menangis. Air mata bening itu jatuh perlahan diatas pipi halusnya.

“Please jangan nangis. Maafin aku. Aku cinta kamu, Shi Wu Du.”

Mengusap kasar air mata nya. Shi Wu Du sedikit tersenyum dan menjawab, “Aku titip Qing Xuan, ya? Jaga dia buat aku.”

Pei Ming diam.

Shi Wu Du diam.

Mereka hanya saling menatap satu sama lain.

Detik kemudian, Pei Ming menarik tubuh indah Shi Wu Du dalam dekapannya. Memeluknya begitu erat. Baru beberapa saat setelah itu, Pei Ming mengambil baju mereka yang berserakan di lantai. Memakaikannya pada Shi Wu Du dengan sabar dan lembut. Seperti dia tidak ingin jika helaian benang ini sampai menyakiti kulit Shi Wu Du. Baru setelah itu dia memakai baju nya sendiri dan kembali memeluk Shi Wu Du hingga keduanya terlelap.


Ruangan itu sangat sunyi. Hanya suara detik jam yang terdengar. Pei Ming terbangun dari lelapnya. Menatap sosok ranum yang sedang tidur di sebelahnya.

Tersenyum. Menghela nafas. Menunduk kemudian mengangkat wajah tampannya yang sekali lagi ingin meneteskan airmata.

Perlahan ia coba untuk membangunkan Shi Wu Du. Sudah waktunya dia bangun untuk pulang. Sudah waktunya Shi Wu Du beristirahat di tempat yang lebih baik dari pada di kamar minimalis Pei Ming.

Pei Ming mencoba mengelus pipi halus Shi Wu Du. Membisikkan perlahan sebuah kata;

“Sayang, bangun. Waktunya pulang.”

Tidak ada jawaban.

Sekali lagi, “Sayang, Shi Wu Du, ayo bangun.”

Masih tidak ada jawaban.

Sekali lagi, kali ini dengan mencium pipi lembutnya.

“Shi Wu Du, liat aku. Ayo bangun, buka mata kamu.”

Tidak ada jawaban. Bahkan nafas pun, juga tidak ada.

Hilang.

Pergi.

Tanpa suara.

Hening.

Pei Ming terdiam.

Menatap dalam pada wajah cantik itu. Wajah itu, dingin. Wajah itu, pucat. Wajah itu, memutih. Wajah itu, tak lagi hidup.

Mati.

Kekasihnya telah pergi.


Pei Ming.

Dia tidak bergerak. Masih tersipu lemah dihadapan kekasihnya yang telah pergi.

Pei Ming.

Masih menatap wajah cantik Shi Wu Du yang kini tak bernafas.

Pei Ming.

Tanpa suara. Tanpa gerakan. Kini merasakan sesak, sakit, gemetar. Seperti separuh nafasnya telah dicabut oleh sang penguasa surga.

Pei Ming.

Meneteskan begitu banyak airmata. Tidak bisa menjerit hanya bisa menahan sesak yang seperti mengiris dadanya.

Perih.

Luka.

itu adalah semuanya yang saat ini sedang ia rasa.


“Shi Wu Du.”

“Shi Wu Du.”

“Shi Wu Du.”

“Aku cinta kamu.”

FIN.

Sakit dan Rasa.

cw // mention of kissing , bxb sex , nsfw 🔞 , mature content , mention of blood


“Mpphh.. Eunghh ..”

“Jiih, kenapa lo nyium gue tiba-tiba?”

“Kangen. Gua kangen sama lo, Yan.”

Suara parau itu, terdengar sangat lirih dan tulus di telinga Weiwuxian. Nadanya seperti berbeda, tidak seperti biasanya.

Weiwuxian tidak mau lagi berfikir terlalu lama. Ia segera menarik ceruk leher lelaki di depannya. Dia melumat kembali bibir Lan Wangji. Setiap jengkal tak terlewatkan, semakin lama semakin basah.

“Ngh— Jii, gue ngga tahan.”

“Lo mau?”

Sambil mengangguk gemas, Iyan berkata, “Mau.”

“Tapi lo bukan punya gua, Yan.”

“Jii, please?”

“Yan, lo punya SanLang. Bukan gua.”

“Ngh, please. Ya?”

“Weiwuxian mau. Dia terus saja memohon. Membuat Lan Wangji semakin tak kuasa menahan segala birahinya.


Wangji bergerak cepat. Melumat bibir Iyan, menikmati setiap sentuhan dan gigitan yang ia berikan.

Lenguhan-lenguhan yang disuarakan Weiwuxian semakin sukses membuat birahinya menjerit dan meronta. Membuat batang besarnya semakin membesar dan menegang.

Dia begitu tak sabar. Sosok inilah yang selalu ia rindukan.

Wangji membuka setiap helaian baju yang Iyan gunakan. Ia mulai memasukkan batang miliknya pada lubang merah milik Weiwuxian.

Perlahan masuk dan menggerakkan dalam-dalam.

“Akh .. Akhh .. Jjiihh .. Pel—akh.. Pelan-pelan.”

“Enak? Hm?”

“Angh .. Sukaa.. Gue suk—akh.. Sukaahh..”

Sambil terus menusukkan batangnya, sambil memainkan nipple merah milik Weiwuxian, Wangji berkata,

“Yan, Sebut nama gua. Bilang lo mau gua enakin.”

Tentu saja. Weiwuxian yang sudah dipenuhi nafsu akan menurut. Ia terenguh-enguh menahan birahi nafsu.

“Anghh.. Wang—akhh.. Wangjiih.. Lanh—Aghh.. Lanhh Wangji..”

Desahan nama itu membuat Wangji semakin menegang dan memuncak. Birahinya tak bisa lagi ditahan. Klimaksyang ia berikan mungkin akan sedikit gila. Karena kali ini, ia benar-benar merindukan Weiwuxian.

Wangji sangat rindu. Sakit. Sakit hatinya karena rindu ia lampiaskan pada setiap sentuhan dan hentakkan.

Hingga ia mulai sadar ada sesuatu yang aneh. Sesuatu seperti mengalir di hidungnya. Ia coba cari tahu dengan menyentuh pangkal hidungnya, ia dapati darah telah keluar dari sana. “Kenapa?” — Batinnya.

Weiwuxian tidak tahu. Karena posisi mereka saat ini ialah Iyan ada dibawahnya. Tubuh tengkurap lemah yang hanya mengexpose bagian belakang punggungnya beserta bongkahan binal empuk dengan sebuah lubang merah kecil yang sedang dimasuki.

Gua kenapa sih? Ada-ada aja make mimisan segala.” — Batinnya.

Sebentar lagi Lan Wangji sudah sampai pada klimaksnya. Terus ia hentakan batang keras itu pada lubang anal milik Weiwuxian. Beberapa kali menusuk dalam-dalam membuat lelaki dibawahnya itu sedikit merintih kesakitan disertai lenguhan manis yang memanjakan telinga.

Sedikit lagi. Tapi sayang, kepalanya mulai terasa nyeri.

Kini Wangji menahan dua gejolak pada dirinya. Satu, rasa klimak yang baru saja akan dikeluarkannya. Dua, sakit kepala hebat yang membuat konsentrasinya melemah.

Dia tahan rasa sakit di kepalanya. Pucat di wajahnya semakin terlihat. Keseimbangannya sedikit goyah tapi ia masih sanggup bertahan.

Bukan karena keinginan untuk menguasai lelakinya. Melainkan, menahan rasa sakit agar Weiwuxian tidak tahu.

Hentakan itu berangsur melemah. Tapi tetap Wangji keluarkan cairan kental itu diatas bongkahan pantat indah milik kesayangannya.

Bau manis menguar. Lengket dan kental.

“Yan, gua cape. Boleh gua tidur?”

Iyan yang masih sedikit terengah-engah dan merasakan sakit di lubangnya hanya bisa menjawab dengan lenguhan pasrah.

“Eungh, tidur aja. Tidur di samping gue, ya.”

“Yan, sini. Gua mau tidur kaya gini sambil meluk elo.”

Iyan tidak begitu memikirkan tentang mengapa kali ini Lan Wangji hanya bergerak satu ronde. Karena biasa mereka melakukan hingga 3 ronde.


Keduanya berbaring lemah. Rasa lelah dan segala nafsu birahinya masih sedikit tersisa. Namun melihat Wangji seperti ini, Weiwuxian hanya bisa pasrah.

Kedua insan ini pada akhirnya menghabiskan satu malam bersama. Berpelukan hangat diatas ranjang dibawah selimut. Saling memeluk hingga mata perlahan mulai tertutup.

Keduanya seperti lupa bahwa Iyan sudah mempunyai kekasih dan tak seharusnya mau untuk di dominasi.

Peluk.

tw // mention of kissing


Iyan mempoutkan bibirnya saat Wangji datang. Dia terlihat sedikit pucat tapi tetap menggemaskan seperti bayi.

“Kenapa lama banget?”

“Iya maaf ya, tadi rada macet hehe.”

“Masa sih? Boong ya lo?”

“Apaan sih. Uda gak usah dibahas, sekarang kan gua disini.”

Weiwuxian hanya diam. Dia masih sedikit kesal karena Wangjinya terlambat datang.

“Coba sini liat, masih demam apa engga?”

Iyan masih tetap diam diatas kasur empuknya. Sambil memegangi selimut hangatnya yang menutupi hingga ke jengkal pinggangnya.

Dia menolak untuk bergerak. Hingga akhirnya Lan Wangji lah yang harus menghampirinya diatas ranjang.

Sambil memegang dahi Weiwuxian ia berkata, “Pusing ngga? Ini lumayan tinggi sih demamnya. Lo kenapa bisa sakit?”

“Gak tau. Kecapean kali. Lagian beberapa hari ini gue sering keluar terus pulangnya malem, sempet kena hujan juga.”

“Makanya, istirahat. Jangan keluar mulu.”

“Ya gimana, uda punya pacar sih. Diajakin keluar terus ya mau lah gue.”

Wangji diam. Dia bingung harus bereaksi apa. Terlebih lagi, topic yang dibahas Iyan adalah jelas si San Lang.

Iyan menyahut lagi, “Ji, mau di peluk. Gue kedinginan. Gak enak banget sakit.”

Sambil sedikit merengek, Iyan menarik-narik manja baju Wangji. Isyaratkan Wangji untuk segera memeluknya.

“Yauda sini. Gua peluk yang erat.”

Keduanya berpelukan diatas ranjang. Batin dan pikiran Wangji seperti terbentang, ia katakan dalam hatinya,

Gua sayang banget sama lo, Iyan. Lo kaya gini gua mana bisa tahan. Yang ada gua malah makin gila sama lo.

Memeluk seseorang yang selalu ia damba seperti ini adalah hal yang paling bahagia untuknya. Ingin rasanya Wangji merebut dan menjadikan Iyan satu-satunya miliknya.

Tapi tidak, Wangji tidak mungkin melakukannya.

Waktu seakan membuyarkan cuitan-cuitan gila dalam pikirannya. Karena tiba-tiba saja kepalanya begitu terasa sakit dan menyiksa. Seperti urat-urat dalam otaknya sedang ditarik paksa. Seperti ada yang memalu kepalanya.

Begitu sakit dan nyeri. Hingga Wangji tak sengaja berdecik lirih,

“Aahh ...”

Dan sudah jelas, Weiwuxian pasti mendengarnya.

sambil memegangi kepalanya, ia juga merasa pandangannya sedikit kabur.

“Ji, lo gapapa?”

Wangji hanya diam. Dia diam sejenak menahan rasa sakit di kepalanya.

“Ji, lo kenapa? Jangan bikin gue khawatir.”

“Engga, gua gapapa.”

“Beneran? Lo aga pucet tapi. Gue jadi khawatir tau. Lo sakit?”

“Gua bilang gua gapapa. Gak usah bawel ya, Iyan.”

“Tap—Mmmpphh.”

“Enghh—Hmmggh.”


Wangji, menciumnya.

Yah, mencium Weiwuxian secara tiba-tiba agar temannya itu tidak terus menerus bertanya.

Nafsu dan asmara.

tw // mention of kissing | alpha x alpha | crack pair – nsfw | bxb | sex | rated 🔞


Selama 20 menit San Lang menggenggam kemudi mobil miliknya. Tampan wajahnya terus menerus menoleh pada sosok laki-laki yang duduk di sebelahnya. Ia khawatir, ia gelisah. Lan Wangji, sahabatnya, tak pernah mabuk begitu parah. Tapi entah mengapa, malam ini ia bisa begitu gila.

Mobil telah sejajar di parkirkan. Keduanya sampai di hotel terdekat. Saat mereka mabuk, tidak salah satu dari mereka kembali pulang ke kost minimalist milik mereka. Karena disana, ada larangan khusus untuk tidak memperbolehkan masuk dalam keadaan mabuk.

Perlahan ia bangunkan Lan Wangji.

“Ji, uda sampe. Ayo turun.”

Wangji masih tidak menjawab. Dia masih saja memejamkan mata.

“Ji, uda sampe nih. Ayo buruan turun. Sadar bentar kek elah.”

Karena dirasa Lan Wangji tidak akan sadar. San Lang berinisiatif untuk menopang tubuh Wangji sahabatnya.

Ia terpaksa mendekat. Wajah dan tubuhnya tidak cukup jauh dari sosok laki-laki di hadapannya.

“Ji, sadar bentar please? Ini gua gimana mau bawa lo?”

Sambil menepuk tipis pipi hangat Lan Wangji, Sanlang masih berusaha untuk membuatnya sadar.

“Ji, bang—mmpphh.”

Sanlang kaget. Lan Wangji tiba-tiba saja maraup bibirnya.

“Mmpphh—Jiih.”

“Nghh.. Mmphh..”

Sanlang sadar. Ia mendorongnya. Ia mendorong pelan dada Lan Wangji untuk sedikit menjauh darinya.

“Ji, jangan kaya gini. Lo mabok jadi gila gi—Mmphh..”

Sekali lagi, Lan Wangji menerkam hangat bibir merah San Lang. Malah kali ini terasa lebih merangsang.

Pengaruh alkohol begitu kuat dan baunya cukup menguar. Cukup bisa membuat San Lang terlena oleh lenguhan tipis Lan Wangji.

Di dalam mobil, ciuman panas itu semakin lama semakin bergairah.

Mereka tanpa sadar terus melanjutkan ciuman itu. Semakin berdecik dan basah.

Bermain lidah keduanya. Mendecap setiap jengkal lidah dan sesekali Wangji mengigit bibir bawah San Lang.

“Engh.. Mmph ..”

Tangan San Lang tak mampu lagi ia kendalikan. Mulai meraba setiap jengkal tubuh panas Lan Wangji. Memasukkan dan menelusuri badan hangat itu.

Dan kini tangan besar milik San Lang sampai pada nipple mungil Lan Wangji. Memainkannya dengan kedua jarinya. Sedang bibir mereka masih saling bertaut manja.

Wangji mulai meraung gila. Ia buka perlahan baju milik San Lang. Mulai menandai leher San Lang dengan gigitan birahi yang semakin liar.

“Nghh.. Jii.. Janganh disinihh.

Wangji masih terus menciumi.

“Jjih.. Di dalemhh .. Kita masukh dlu..”

Batang Wangji sudah mengeras dibawah sana. Ia sudah ingin memasukkan batang besarnya. Namun San Lang masih membuatnya frustasi. Mau tak mau ia harus turuti.

Keduanya buru-buru masuk pada kamar yang telah di pesan San Lang. Membuka kasar pintu ruangan dan menutupnya tanpa peduli setan.

Wangji mencium kembali bibir SanLang. Melumat setiap jengkal bibir manis nan tebal milik alpha di depannya.

Tangan mulai berliku nakal. Melepas baju SanLang sambil terus berciuman.

Keduanya jatuh diatas ranjang king size dengan lampu yang telah sengaja di matikan.

Gemuruh nafsu kedua alpha itu kian memuncak. Giliran SanLang yang kali ini bergerak mendominasi. Lan Wangji yang awalnya berada diatas kini telah berpindah posisi.

“Mmph.. Nghh..”

Desah keduanya menikmati ciuman basah itu.

Sambil terus berciuman dan bermain lidah. Tangan kiri San Lang kini mulai menjalari tubuh Lan Wangji. Terus menyusuri hingga berhasil ia genggam batang milik Wangji yang sudah mengeras dibawah sana.

Ia remas manja. Dengan nada penuh birahi ia bertanya,

“Jiihh, enak ngga?”

“Boleh gue emutin?”

“Boleh gue masukin, hm?”

Dahi keduanya menyatu. Deruh nafas hangat San Lang dengan bau alkohol tercium kuat saat ia bertanya. Membuat Lan Wangji semakin hilang akal dan tak berdaya.

Hingga akhirnya sebuah jawaban memecah segalanya.

“Bolehh, Weiying.”

DEG.

Sesak— Sedikit sakit tapi masih bisa ia tahan. Ternyata, selama beberapa menit mereka bertautan, Wangji tidak benar-benar menginginkan San Lang.

Kini, nafsu dan hasrat ingin menyentuh seolah sirna seketika. Ia lupa, San Lang lupa bahwa Wangji masih bertaut dengan masa lalunya. Ia lupa bahwa kehadirannya takkan bisa menggantikan mantan terindah.

FIN.

Sebenernya, kita apa?


Wangji membuka pintu kost itu perlahan. Menyaksikan sosok indah yang kini ada di hadapannya, mengubah hatinya yang tadi sempat mati rasa menjadi luluh lemah.

Ia rindu, Wangji rindu.

Ingin memeluknya erat karena Iyan terlambat datang. Ingin meraih tangan Iyan dan menggenggamnya kuat tak mau lepas. Sedang dihadapannya hanya memberikan muka suram seperti tak nyaman dan ingin melontarkan banyak pertanyaan.

“Itu yang barusan, siapa?”

“Itu? Temen SMA.”

“Cewek kok masuk kesini sih, Ji? Ngapain dia?”

“Tadi ada urusan bentar. Uda yuk, masuk.”

Iyan mulai berjalan mendahului Lan Wangji. Memasuki kamar kost yang tidak begitu lebar. Kemudian melepas Jaket miliknya, meletakkannya di sebuah sofa kecil di ujung sana.

Memposisikan dirinya dengan bersandar pada lemari kecil di dekat sofa. Sedang Lan Wangji menyandarkan pantatnya pada ujung meja disebelah tempat tidurnya.

“Sorry ya. Tadi gue sama Kak Sanlang makan dulu. Jadi rada lama gue datengnya.”

“Iya, santai elah. Gue gapapa kok. Lo mau dateng jam berapa aja juga terserah.”

“Eh, Ji. Lo kemarin mabok ya? Kenapa? Ada masalah?”

“Haha. Uda, lupain aja uda gak penting. Lagian kemarin itu cuma minum gak jelas.”

“Beneran?”

“Mn. Beneran.”

“Yauda kalo gitu.”

“Lo mau susu anget ngga, Yan? Hujan kaya gini lo biasanya suka minum coklat anget kan? Gua bikinin, ya?”

“Engga. Gak usah. Gua cuma pengen ketemu lo aja. Lagian gue uda kenyang, uda banyak minum juga tadi.”


Weiwuxian beranjak. Ia berpindah dari posisi yang tadinya berdiri. Mulai merebahkan tubuh kecilnya diatas ranjang milik Lan Wangji.

“Ji..”

“Hm?”

“Maafin gue, ya?”

“Maaf buat?”

“Selama gue sama Kak Sanlang, gue sering nyuekin elo. Dan gue sadar itu.”

Wangji hanya diam mematung. Tidak merespon.

“Kak Sanlang baik banget ke gue. Lo juga. Kita temenan udah 13 tahun. Lo selalu ada dan jagain gue. Gue merasa bersalah banget kalo harus nyuekin elo. Maaf.”

Hanya itu yang Iyan sanggup katakan.

Kali ini, Wangji sedikit serius. Dia terbawa suasana. Dia bertanya,

“13 tahun kita temenan. Beberapa kali kita ngelakuin itu. Kita gituan juga sama-sama mau. Sebenernya, kita apa?”

“Kita temen kan, Ji?”

“Temen?”

“Iya. Kita temen kan?”

“Temen ngga ada yang ciuman, Yan. Temen ngga ngesex.”

Kali ini, Wangji beranikan diri untuk memberi penegasan. Dia masih berdiri, menatap lekat pada teman mungilnya dengan sedikit kekhawatiran.

“Iya, ya. Temen ngga ngesex, temen ngga ciuman. Terus kita apa ya, Ji? Kita ngelakuin semua itu, mana uda beberapa kali lagi.”

Wangji sedikit tak mengerti. Ia bangkit, berjalan menuju ranjang. Mendekati Iyan dan menatapnya tajam.

“Yan, lo pernah suka sama gua, ngga?”

“Hah? Suka? Suka yang gimana ya? Kalo sayang iya, gue sayang banget sama lo.”

“Waktu kita gituan, lo ngerasa pengen milikin gua, ngga?”

“Gue gak tau. Kadang kayaknya iya tapi kadang juga engga. Dan lo tau kan, gue suka sama Kak Sanlang?”

DEG.

Gue suka sama Kak Sanlang. — kata yang sukses menusuk jantungnya. Membuat Wangji tak lagi ingin berkata.

“Ji, gue hari ini nginep disini, ya? Gue males di kost.”

“Lo pulang aja ya, Yan? Gue lagi pengen sendiri.”

“Tumben? Lo beneran gapapa kan? Lo gak biasa nolak gue. Lo marah sama gue?”

“Engga. Gua cuma pengen sendirian aja. Mungkin gua lagi cape aja. Cape sama kerjaan gua. Bengkel lagi rame soalnya.”

“Hm gitu. Yauda, gue ngerti kok. Mungkin lo emang cape gak mau di ganggu.”

“Yauda. Gue balik aja, ya?”

“Gua anterin.”

“Gak usah. Biar gue minta tolong sama Kak Sanlang aja. Kan lo lagi cape. Lo istirahat aja, oke?”

“Hm.”— Adalah jawaban akhir dari Lan Wangji.

Jangan pergi.


tw // nsfw , mention of kissing , fwb , explicit content , rated 🔞


Kedua insan manusia itu telah sampai di sebuah tempat tidur. Kost Iyan tidak begitu besar tapi sangat nyaman. Yaaah, walaupun bulanannya memang sedikit mahal daripada kost milik Lan Wangji.


Wangji— Menidurkan Weiwuxian dengan hati-hati. Menempatkan kepalanya pada bantal empuk kesayangan Iyan.

Menatap lekat pada wajah sayu itu. Yang terlihat polos dan lelah.

Wangji yang kini tengah duduk di samping tempat tidur Iyan, hanya bisa terus menerus berkata dalam batin dan lamunannya.

Yan, gua gak tega liat lo kaya gini. Lo terlalu indah buat ada di tempat yang penuh dosa kaya gitu.”

Namun, suara lirih membangunkan Wangji dari lamunan seriusnya itu.

“Ji, kepala gue panas banget. Pusing, mau muntah.”

“Mau gua bikinin teh anget, hm? Biar enakan.”

“Engga, gak mau. Jangan kemana-mana, jangan pergi. Lo disini aja, ya?”

“Hm, gua disini. Gua temenin lo sampe besok.”

“Makasih ya, Ji. Lo selalu ada buat gue, maafin gue udah sering ngerepotin lo, daridulu.”

“Apasih Yan, gua suka kok direpotin sama lo.”

“Ji, gantiin gue baju.”

Deg.

Jantung Lan Wangji seakan berhenti. Kaget sekaligus bingung. “Gantiin gue baju” yang artinya dia akan membuka baju Iyan? Melihat tubuhnya telanjang? Untuk yang ketiga kalinya? Gila!


“Ji, ayo. Gue uda risih banget.”

Jantung Lan Wangji sedikit berdegup kencang. Ia mencoba menahan nafsunya yang sudah beberapa menit lalu muncul karena ucapan Iyan.

Namun apa daya? Tangan Wangji yang kini mulai membuka baju milik Weiwuxian malah membuat birahinya menguar.

Tiba-tiba saja,

“Ji, cium gue.”

“H-hah? Cium?”

“Cium bibir gue, please?”

“Tapi, yan. Lo harus isti—mmpph..”

Terlalu lama. Hingga Weiwuxian sendiri yang bergerak. Mencium bibir manis Lan Wangji dan, perlahan melumatnya.

“Mmpphh.. Enghh.. Jii, gue pengen.”

“Yan, lo mabok?”

“Gak tau. Gue cuma pengen di sentuh lo. Pengen dimainin lo. Pengen dimasukkin lo.”

“Tapi Yan ..”

“Lo gak mau?”

“Mau. Jujur gua nahan nafsu daritadi.”

“Yauda, lakuin. Telanjangin gue, masukin lubang gue.”

“Aah, Yan. Lo bikin batang gue keras.”

Weiwuxian hanya tersenyum tipis. Ia melingkarkan kedua tangannya pada leher Lan Wangji. Ia ciumnya bibir manis itu. Memainkan lidahnya dengan lincah. Beberapa kali terdengar decapan nafsu dari ciuman itu.

Tak lama. Iyan sudah terlihat polos tanpa busana.

Lidah saling bertaut. Tubuh saling menempel. Kini baik Iyan dan Wangji sudah tak lagi memakai apapun. Mereka telanjang bulat diatas kasur hangat dan di bawah lampu kamar yang baru saja sengaja dimatikan.

“Akh, Wangji.. Lebihh kerash ..”

“Yanhh .. Lubang lo sempit banget sih, hm?”

“Eegh, Lo sukah kannhh.”

“Suka, Yan. Apapun yang ada di diri lo, gua suka.”

“Yan, lo punya gua, ya?”

“Akh .. Engh .. Ahhh .. Iyaahh, punya lo. Gua punya lo.”

“Jii, gue gak tahan. Mau keluarh.”

“Sebentar, gua masihhh belomh.”

“Lebih dalemhh, pleaseeh.”

Tak kuasa menahan setiap erangan Iyan. Lan Wangji makin menjadi gila. Nafsu birahi nya makin memuncak dan membuatnya frustasi hebat.

Ia hentakkan dalam-dalam batang miliknya ke lubang merah milik kesayangannya. Membuat Iyan makin terengah-engah dan merengek manja.

“Jiihh, sakitthh. Pelanh-pelanhh.”

Rengek kesakitan itu Iyan ucapkan beberapa kali. Tapi Wangji, sebentar saja tak ingin berhenti.

Kali ini Wangji mencoba sesuatu yang baru. Apa yang baru saja ia bayangkan, ia lakukan.

Lubang merah yang kini penuh itu, tengah dimasuki sebuah jari. Batang dan jari tengah tangan sebelah kiri milik Wangji masuk secara bersamaan dan mendominasi. Sementara tangan kanan Wangji tengah sibuk mengocok batang mungil milik kesayangannya, Iyan.

“Akhh!! Jii, penuhh! Eunghh, sakith!”

“Ssttt, jangan keras-keras Yan ngedesahnya.”

“Ya soalnya sakithh! Pelan dikit, yahh?”

“Mau pelan? Bilang yang bener coba.”

“Enghh, kakh Wangjiihh, Pelanh-pelanhhh, ya? Sakith.”

“Shiitt.”

Wangji tak lagi bisa menahan gejolak hasrat dalam dadanya. Semakin memohon Iyan, semakin dalam hentakkan itu dibuatnya.

Terus dan terus saja ia lakukan hingga keduanya kehabisan tenaga. Malam itu berakhir begitu panas dan indah.

Tapi tetap saja, status mereka masih seorang teman.

Namun teman, tidak berciuman. Teman tidak merengek untuk sebuah kenikmatan.

Rasa, nafsu, dan teman.


Sore yang seharusnya terang terlihat mendung karena tuangan air hujan. Dingin yang dirasa sanggup menusuk tulang takkan lagi bisa dirasakan jika dunia menyertai dua insan berpagut dalam sebuah kehangatan.

Wangji yang baru saja datang dengan tubuh basahnya, kini mulai masuk dalam sebuah ruangan. Tidak sempit juga tidak lebar. Benar-benar ruangan yang pas untuk dua orang.

Dua orang tanpa status. Selain, teman.


“Gila, di luar dingin banget.”

“Kan uda gue bilang, ujan. Malah lo trabas aja.”

“Yakan demi lo?”

“Haha, yauda sini. Gue handukin. Atau mau mandi sekalian? Liat tuh badan lo basah banget.”

“Mandi sama lo, ya?”

“Jii, mau langsung banget?”

“Biar anget? Hehe.”

“Yauda ayo.”

Yauda ayo, adalah kata yang membuat mereka berakhir bersetubuh dalam kamar mandi minimalis itu.

Yaah, untung saja kamar mandi Weiwuxian ada water heathernya, jadi tidak akan membuat keduanya semakin kedinginan saat bercinta.

Sore itu, keduanya seperti memenjarakan tubuh mereka pada guyuran shower air hangat diatasnya. Saling berpagut dan menyentuh. Saling menghisap dan meraba. Keduanya memang suka, suka melakukan hal penuh nafsu itu bersama.

“Jii, pelan-pelan, ya?”

“Kenapa? Sakit?”

“Ngh, iya. Masih sakith.”

“Maafin gua, ya. Lo jadi kesakita—Mmpphh..”

Weiwuxian menciumnya.

“Jangan ngomong lagi. Gue gapapa, bisa gue tahan.”

“Akh, iyaan. Kenapa gua sayang banget sama lo, ya?”

“Gue juga .. Akh .. Sayangh sama lo, Jii..”

“Lo suka gua kaya gini?”

“Sukahh..”

Kata suka yang baru saja dilontarkan si gemas itu makin membuat Wangji tak kuasa. Tak kuasa menahan birahi yang terus saja bergemuruh hebat dalam dadanya.

Ia kemudian mempercepat tempo gerakan itu dan membuat Weiwuxian semakin merengek dan memohon.

“Iyan, panggil gua Kak. Kak Wangji.”

“Eungh, Kakh .. Wanghjiih..”

“Shit! Lo makin gemes aja sih kalo kaya gini.”

Sambil memegang pinggul Weiwuxian. Wangji terus menerus menembakkan batang miliknya ke dalam lubang kecil itu dalam-dalam. Lubang merah milik temannya sedang ia masuki dan ia nikmati.

Dua tubuh yang sedang basah itu masih menempel dan berpagut hangat hingga 3 ronde. Tidak ada yang mengaku lelah hingga keduanya mencapai klimaks untuk yang kesekian kalinya.

Puas dan lega.