ssó

KOSONG.


Akhir-akhir ini, cuaca sangat tidak mendukung. Selalu gerimis di pagi hari dan hujan deras di malam hari. Dingin-nya cuaca pagi ini tidak membuat Wei Wuxian, remaja berusia 18 tahun ini malas berangkat ke sekolah.

Dia adalah salah satu murid kelas III-IPA yang selalu saja malas mengerjakan PR. Setiap hari, kecuali hari minggu, dia akan selalu datang terlambat. Selalu membuat gaduh kelas dan teramat sangat jail. Tapi meski begitu, dia adalah salah satu murid laki-laki yang di sayangi teman-teman sekelasnya. Sejahil apapun tingkahnya, tidak pernah ada teman yang membencinya.


Saat bel berbunyi, dia mulai memasuki kelas. Dia sangat gembira ketika menyapa teman sekelasnya; Lan Wangji.


“WANGJI!!”

Dia menghampiri, “Eh, gimana PR dari Pak Qiren kemarin? Udah kamu kerjain belum?”

Lan Wangji hanya tersenyum. Tidak mengeluarkan sebuah suara. Sebagai gantinya, dia hanya mengangguk.

“Bagus! Aku juga udah. Biasanya aku males. Aku ngga suka mapel Pak Qiren. Tapi karena nilai aku turun terus, aku jadi harus produktif. Kamu juga selalu bantuin aku. Makasih ya.”

Wei Wuxian terus saja bergumam menjelaskan apa pun pada Lan Wangji.

Tak lama kemudian, Jiang Cheng duduk di bangku pojok sebelah kanan-nya. Ia berseru, “Wei Wuxian, PR uda belum?”

Wei Wuxian menjawab dengan wajah tengilnya, “Udah lah! Gila aja belum.”

Jiang Cheng hanya memberikan smirk tipisnya.

“Kayaknya setelah lu kecelakaan sebulan lalu, lu jadi lebih giat belajar ya?”

Wei Wuxian terlihat sangat menggemaskan. Hari ini dia sangat bersemangat.

“Masa sih? Emang sebelumnya gimana?”

“Sebelumnya kan lu males banget. Badung banget. Setiap hari lu telat mulu. Ngerjain PR kalo lagi mood doang.”

Wei Wuxian hanya tertawa.

“Harusnya lo seneng, temen lo sekarang jadi rajin gini.”

Jiang Cheng hanya tertawa kecil. Dia tidak menjawab apapun.


Suasana di kelas itu berjalan dengan seharusnya. Setelah 2 jam berlalu, bel istirahat pun berbunyi.

“Wangji, ke kantin bareng yuk?”

Ajak Wei Wuxian yang tiba-tiba saja bersuara.

Sebelum Lan Wangji menjawab, Jiang Cheng juga tiba-tiba melirik ke arah Wei Wuxian.

“Eh, ngapain lu? Ke kantin bareng yuk? Gue pengen beli gorengan deh.”

“Traktir gak?”

“Iya! Gue traktir deh. Lagian selama sebulan ini gue gak jajan bareng lu. Kangen, dikit. Hahaha.”

“Eh, lu duluan aja deh. Entar gue nyusul.”

Jiang Cheng sedikit bingung. Mereka seharusnya ke Kantin bersama.

“Lah, kenapa?”

Wei Wuxian mendekat dan berbisik ke dekat telinga Jiang Cheng.

“Gue mau ngobrol bentar sama Wangji. Dia keliatan aneh bgt hari ini.”

Jiang Cheng yang mendengar bisikan halus itu seketika kaget.

“Maksud lo? Lan Wangji?”

Wei Wuxian hanya menjawab dengan polos.

“Iya. Noh liat. Aneh banget kan dia dari tadi diem aja. Gue ajak ngobrol dari pagi tapi cuma di senyumin doang.”

Jiang seketika menoleh kearah tempat duduk Lan Wangji. Setelahnya, dia melihat wajah Wei Wuxian. Hal itu dia lakukan beberapa kali yang tentu saja membuat Wei Wuxian bingung.

“Eh, lu apaan dah. Aneh banget abis ngeliatin Wangji ngeliatin gue.”

Jiang Cheng tidak bisa berkata-kata lagi. Dia bingung sekaligus merasa heran.

“Lu yakin? Lu yakin disitu ada orangnya?”

“Hah? Maksud lo?”

Wei Wuxian merasa Jiang Cheng saat ini sedang bercanda.

“Hahaha .. Ya adalah. Kan di sebelah gue cuma ada lo sama Wangji doang dari kita setahun lalu. Posisi tempat duduk kita juga ngga boleh pindah-pindah kan? Gimana sih lo, Cheng.”

Wei Wuxian masih saja menganggap Jiang Cheng sedang bergurau.

Jiang Cheng hanya sanggup tercenggang. Saat itu juga Jiang Cheng mengatakan;

“Wei Wuxian.. Lan Wangji uda meninggal.”

“Hah? Apaan sih anjir. Orang dia masih di sebelah gue. Semalem aja dia masih dateng kerumah gue. Bahkan kita ngerjain PR bareng beberapa hari lalu. Ngaco lo ah. Males gue.”

Saat itu juga, Jiang Cheng menggenggam tangan Wei Wuxian. Mengajaknya keluar kelas menuju Mading sekolah.

Mading sekolah; Tempat untuk meletakkan segala informasi penting yang berhubungan dengan pendidikan, lomba, dan berbagai acara sekolah termasuk informasi penting lainnya mengenai perkembangan setiap murid di sekolah.


Jiang Cheng menarik pergelangan tangan Wei Wuxian dengan jantungnya yang berdebar. Setelah sampai di depan Mading, Jiang Cheng membiarkan Wei Wuxian melihat dan menamati apa yang ada di depan matanya. Apa yang saat ini di lihatnya.

“Nih. Lo baca dah tuh.”

Wei Wuxian membaca secara perlahan setiap info yang ada. Hingga saat dia ingin memalingkan wajahnya ke Jiang Cheng, ia melihat dengan jelas di bagian atas Mading. Tertempel jelas foto close up Lan Wangji memakai seragam sekolahnya. Disitu, tertulis dengan sangat jelas bahwa;

Reace In Peace

Our beloved student,

Lan Wangji Class III-IPA Thursday, October 31, 2021

Seketika, jantung Wei Wuxian terasa seperti ditarik paksa. Seluruh tubuhnya terasa kaku. Kaki tangan-nya terasa dingin. Wajahnya pucat pasi. Dia tidak percaya. Tidak ingin percaya tapi kenapa airmata-nya jatuh tanpa suara?


Jiang Cheng tahu Wei Wuxian akan menangis. Dia segera memeluknya.

“Jangan nangis. Dia udah nyelametin elo.”

Tentu saja. Wei Wuxian akan terus menangis. Bahkan, dia tidak bergerak sedikit pun dari tempat dimana dia berdiri saat ini.

Lan Wangi adalah satu-satunya murid yang selalu bersikap baik padanya. Selalu memberikan senyum hangatnya. Dia satu-satunya orang yang selalu berdiri di depan rumah Wei Wuxian setiap jam 6 pagi. Menjemputnya agar dia tidak selalu terlambat. Dia satu-satu nya orang yang rela menunggu nya saat dia mendapatkan hukuman berlari memutari lapangan 20 kali. Lan Wangji adalah satu-satunya yang rela membasahi tubuhnya demi menanggalkan tas miliknya untuk melindungi dirinya dari rintikan hujan. Lan Wangi adalah satu-satunya yang selalu tersenyum saat bersamanya.


“Waktu itu, lo hampir aja ketabrak truk di depan sekolah. Dan saat itu juga Wangji dateng nyelametin lo. Lo kelempar 10 meter, kepala lo kebentur. Lo koma sebulan.”

Jiang Cheng menceritakan kisah nyata itu. Sambil memeluk Wei Wuxian yang menangis. Mengelus kepala Wei Wuxian dengan lembut.

“Dia meninggal hari itu juga. Hari itu lo ulang tahun kan? Dan waktu di Rumah Sakit, dia sempet nitipin surat ke gue, katanya buat lo. Setiap hari suratnya gue bawa. Pengen rasanya gue buka, tapi gue gak bisa. Gimana pun juga itu peninggalan terakhir dia buat lo. Dan dua jam setelah itu, dia meninggal. Cuma sisa lo doang yang saat itu koma.”

Wei Wuxian masih menangis di pundak Jiang Cheng. Dia ingin bicara, tapi tidak bisa. Setiap untaian kata terasa berat bersandar di lidahnya.

“Maaf. Maafin gue karena gue baru ngasih tau lo sekarang. Gue kira, lo udah tau. Sampai akhirnya tadi, lo bilang lo ngobrol sama dia? Padahal dia jelas-jelas udah ngga ada.”

Wei Wuxian lemah. Lututnya seperti tak bertulang. Dia gemetar.

“Jangan nangis. Mungkin dia emang mau pamit sama lo.”


Hari itu, adalah hari terberat untuk Wei Wuxian. Entah perasaan apa yang dia punya untuk Lan Wangji, dia tidak tahu. Entah hal apa yang belum tersampaikan, dia juga tidak bisa berfikir.

Hanya air mata dan ke kosongan yang saat ini dia rasa.


Wei Wuxian kini berubah menjadi seorang yang sangat serius. Dia tidak pernah lagi datang terlambat. Tidak pernah lagi mengabaikan tugas sekolah. Bahkan dia lulus dengan nilai tertinggi dari semua murid yang ada di sekolah. Hanya saja, kali ini, dia susah untuk tersenyum. Dia seperti tidak memiliki dunia. Setiap hari dalam hidupnya, dia hanya belajar dan membaca.

Sampai pada umurnya yang ke 25 tahun, ia masih merasakan kekosongan itu. Wei Wuxian menyadari bahwa ia mencintai Lan Wangji.

Hingga pada suatu malam, dia seperti bertemu dengan kerinduannya. Dia sangat merindukan teman sebangku-nya. Dia ingin mengatakan, “Wangji, Lan Wangji, aku suka kamu.” Tapi, kalimat indah itu tidak akan pernah tersampaikan.

Sampai pada suatu malam, ia berjalan di bawah derasnya hujan. Membiarkan hujan menyapu airmatanya. Dan membiarkan dirinya di terbangkan jauh oleh berbagai macam kendaraan yang menghampiri tubuhnya.

FIN.

True Love Story.


Suara deruan ombak senja itu sangat menenangkan. Tepian-tepian batu karang masih saja basah karena pasang surut air laut. Hawa dingin yang masuk kedalam pori-pori tubuh tidak terasa dingin sama sekali. Malah, membuatnya tetap tenang berada disana tanpa dia merasa ingin pulang dan kembali.


“HAHAHAHA .. LAN ZHAN DISINI, AKU DISINI, KEJAR AKU.”

Suara merdu itu datang dari seorang lelaki cantik yang sedang melambaikan tangannya pada kekasihnya, Lan Wangji.

“WEI YING, JANGAN LARI. NANTI JATUH.”

Sangat menyayanginya. Lan Wangji teramat sangat mencintai kekasihnya, Wei Wuxian atau yang selalu ia panggil Wei Ying.

Mereka saat ini sedang berada di tepi lautan. Bermain dan saling mengejar. Senja kala itu sangat sendu. Suasana laut dan suara ombak seperti menjadi saksi nyata bagaimana keduanya terlihat sangat mencinta dan bahagia.


Lan Wangji berhasil menangkap kekasihnya. Dia kemudian memeluknya sangat erat. Begitu erat sampai rasanya sesak. Tapi Wei Wuxian suka.

“Lan Zhan, jangan erat-erat kalo meluk. Sesak tau.”

“Biarin. Aku mau meluk Wei Ying seerat yang aku bisa. Aku cinta Wei Ying. Engga mau jauh-jauh. Mau deketan terus.”

Lan Wangji menjawab dengan begitu manis dan manja. Wajah tampannya begitu dekat dengan pipi kiri Wei Wuxian.

“Wei Ying, jangan pernah pergi dari aku, dari hidup aku. Kalo kamu pergi, aku bisa mati.”

Kalimat itu sangat lucu di telinga Wei Wuxian. Dia tertawa kecil, kemudian menggodanya.

“Hahaha.. Lan Zhan oh Lan Zhan.. Gimana aku bisa ninggalin kamu? Aku ngga bisa ninggalin dunia aku. Nanti dunia aku bisa runtuh.”

Lan Wangji sangat terpukau akan jawaban itu.

Dunia? Wei Ying benar-benar menganggap dirinya adalah Dunianya?

Itulah yang kini ada di pikiran Lan Wangji.

“Wei Ying, lihat aku.”

Wei Wuxian membalikkan badannya. Menghadapkan wajah cantiknya tepat di hadapan Lan Wangji-nya.

“Wei Ying, aku janji aku akan selalu cinta sama kamu. Aku mau jadi dunia kamu, aku mau jadi dunia yang paling indah buat kamu. Nikah sama aku, mau, ya?”

Wei Wuxian sangat terkejut. Satu kalimat yang baru saja dia katakan pada Lan Wangji, tidak di sangka-sangka bisa membuat dirinya begitu bahagia.

Matanya berkaca-kaca. Dia mulai menangis, air mata bahagia itu lepas begitu saja mengalir lambat di kedua pipinya.

“Mau!! Aku mau nikah sama kamu. Aku mau jadi isi dunia kamu. Aku mau Lan Zhan. Aku mau Er Gege.”

Kemudian mereka berpelukan.

“Wei Ying, maaf. Aku cuma bisa ngomong kaya gitu tanpa ngasih kamu sesuatu. Pulang dari sini nanti, kita ke toko perhiasan. Kita beli cincin yang paling indah buat jari kamu. Ok?”

Hanya di jawab anggukan pelan oleh Wei Wuxian.

Mereka berpelukan tanpa melupakan sebuah ciuman.


“Wei Wuxian!!! Bangun!! Hey, bangun gak. Ini udah sore banget ayo waktunya balik.”

Suara itu, suara itu membuyarkan ingatannya.

“Jiang Cheng.. Bentar dulu.”

Jiang Cheng yang tadinya memanggil namanya dari jauh, mulai datang mendekat. Duduk di sebelah Wei Wuxian yang saat ini sedang merebahkan tubuhnya di pinggir lautan sambil menatap langit senja.

“Udah, semuanya bakalan baik-baik aja. Yang uda pergi ngga akan bisa kembali.”

“Dia balik Cheng. Dia selalu dateng ke mimpi gue. Setiap kali dia dateng, dia selalu bilang cinta sama gue. Kadang sambil nangis dia bilang gitu.”

“Terus, apalagi?”

“Gitu doang sih. Setelah dia bilang gitu, terus ngilang lagi. Gitu terus selama 7 hari ini.”

“Itu tandanya dia kangen sama lo. Kesana gih. Gue temenin.”

“Beneran lo mau nemenin?”

“Iya bener. Gue temenin sampe lo kelar nangis. Kaya biasanya.”

Wei Wuxian hanya bisa memandang Jiang Cheng dengan rasa haru. Dia sangat berterima kasih pada sepupunya itu.

Sambil berkaca-kaca dia menjawab;

“Oke. Pulang dari sini kita langsung kesana. Gue kangen. Gue pengen meluk dia.”

“Iya iya. Sekarang aja gimana? Mau gak? Keburu malem. Ngga baik ke makam malem-malem.”

Kalimat itu hanya di jawab dengan airmata dan anggukan manis Wei Wuxian.


Jiang Cheng tidak bisa berbuat lebih. Dia sangat ingin mendekap Wei Wuxian. Dia ingin sekali memeluknya, mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Mengatakan betapa Jiang Cheng sangat menyukainya. Tapi semua rasa itu tidak bisa lagi dia ucapkan kembali.

Jiang Cheng masih ingat bagaimana dulu saat dia mengatakan segala rasa yang ia punya untuk Wei Wuxian.

“Gue tau gue ngga akan bisa jadi Lan Wangji. Tapi ijinin gue buat selalu ada buat lo. Nyeka airmata lo, meluk lo, dan ..”

“Apa?”

“Gue suka lo, Wei Wuxian.”

Masih teringat jelas suasana malam itu, malam dimana Jiang Cheng pernah mengutarakan isi hatinya pada Wei Wuxian. Tapi Wei Wuxian hanya memberikan satu kalimat jawaban.

Kalimat itu;

“Maaf, Cheng.. Gue masih pengen setia.”

Jiang Cheng tahu, kalimat itu masih di tujukan untuk Lan Wangi. Lan Wangji yang meninggal 3 tahun lalu karena kecelakaan mobil saat hendak menghadiri pernikahannya sendiri.

Lan Wangji, satu-satunya dunia untuk Wei Wuxian. Dunia yang sudah hilang walaupun tidak akan pernah runtuh. Dunia dimana akan selalu ada Wei Wuxian di dalamnya.

Selamanya seumur hidupnya.

FIN.

Jadian.


HuaLian One-Shot; Inspired song by Junas Monkay – Jadian.


Joining MadAuthor Event with 'Mask and 'Song' as the prompts.


“Gege, hari ini pulang bareng aku, ya?”

Ponselnya bergetar. Memperlihatkan satu kontak nama di ponselnya bernama; San Lang.

“Um, okay. Tapi San Lang, jangan berduaan, ya?”

“Oh, Gege mau berbanyak?”

“Hehe iya. Aku uda janji sama Shi Qing Xuan buat pulang bareng juga tadi.”

“Oke gapapa. Kita bisa pulang bareng Qing Xuan juga. Kebetulan aku juga uda janji sama He Xuan buat pulang bareng.”

“Oh gitu? Okay! Nanti kalau San Lang keluar kelas duluan, tunggu di gerbang sekolah, ya?”

“Iya, Gege. Sampai ketemu di gerbang sekolah!”


GERBANG SEKOLAH.

“Eh, lu nanti kalo di tanyain Gege bilang aja lu mau pulang bareng sama gua, ya?”

“Serah lo dah anjay. Gue cuma buat alesan doang ya. Dasar lo.

He Xuan sama sekali tidak menentang atau protes akan ajakan Hua Cheng untuk pulang bersama. Sejujurnya, mereka berdua sama sekali tidak punya janji apapun. Itu hanya ulah kecil Hua Cheng yang ingin lebih dekat dengan Xie Lian.

“Eh btw, yang sering jajan di kantin sama Xie Lian, siapa sih? Tau gak lo?”

“Hmm? Idk.”

“Anjir lo.”

“Ya emang gak tau anjrit. Lagian, gua taunya cuma Gege.”

“Cih! Bucin tolol.”

“Utang lo yang kem—”

“IYA IYA OK FINE.”

Kalimat He Xuan itu hanya di balas, “HA HA HA” oleh Hua Cheng.

Tak lama, Xie Lian dan Shi Qing Xuan mulai terlihat mendekati gerbang sekolah.

“GEGE, DISINI.”

Hua Cheng melambaikan tangan kanannya, mencoba memberi isyarat pada Xie Lian bahwa dia sudah berada disana dan sedang menunggunya.

“Heh! Gak usah begitu lo, dia juga uda tau kali kita disini. Gerbang sekolah cuma satu.”

“Bodo amat suka-suka gua.”

Memang.

Xie Lian tidak mungkin tidak melihat Hua Cheng disana. Itu hanya Hua Cheng saja yang terlalu merasa excited setiap kali akan bertemu dengannya.


“Jadi, Gege .. Um, Gege bakalan ikutan Promp-Night Party, ngga?”

“Mmh, aku belum tau San Lang. Lagian, aku ngga punya baju yang bagus buat dateng ke acara itu.”

“Gege, Gege pakai baju apa aja juga bagus. Pada dasarnya, Gege uda cantik.. Eh, maksutnya .. Gege tampan. Gege mau make baju compang-camping pun dimata aku tetep bakalan terlihat kaya bukan manusia, tapi Dewa. Ha ha ha!”

Xie Lian mendengar pujian itu. Tapi dia hanya diam. Dia hanya tersipu malu di samping Hua Cheng.

“Eh, lo tau ngga kalau Gengnya si Qirong bakalan perform di Prompt-Night entar?”

Itu suara He Xuan yang tiba-tiba saja menyahut.

“Tau sih, tapi gak peduli.”

Yang barusan adalah Hua Cheng.

“Pasti seru ya, liat temen-temen pada perform gitu.”

Itu Xie Lian.

Oh? Gege suka yang kaya gitu?”

Tiba-tiba saja Hua Cheng bertanya pada Xie Lian.

“Suka. Aku suka lihat acara-acara musik gitu.”

“Tapi ini Qirong. Gege suka lihat Qirong?”

He Xuan; “HA HA HA HA.”

He Xuan tahu betul pertanyaan Hua Cheng itu sangat ambigu.

Hua Cheng memberhentikan langkah kakinya. Dia yang sebelumnya berjalan berdampingan dengan Xie Lian, tiba-tiba mengarahkan dirinya tepat di hadapan Xie Lian.

“Gege, aku bisa jadi apapun yang Gege suka.”

Hanya Xie Lian yang tidak mengerti akan kalimat itu. Dia hanya bisa tersenyum bodoh dan berkata, “H-huh?” di hadapan Hua Cheng.

He Xuan dan Shi Qing Xuan yang melihat itu hanya bisa bergeleng-geleng kepala. Qing Xuan menyahut.

“Lian, ayo. Kita uda mau sampe. Gak usah di dengerin omongan San Lang-mu itu. Ayo pulang.”

Shi Qing Xuan dan Xie Lian adalah tetangga sebrang rumah. Mereka terbiasa pulang dan pergi ke sekolah bersama.

“San Lang, aku uda sampai. Duluan, ya. Kalian hati-hati di jalan.”

“Gege, nanti malem aku chat, ya? Boleh kan?”

“Chat aja. Kalau ngga aku bales jadi aku masih belajar.”

“Oke. Bye Gege.”


MALAM HARI.

Dering ponsel Xie Lian begitu berisik berbunyi. Tapi itu tidak akan mengganggu konsentrasi Xie Lian yang saat ini baru selesai menutup buku-nya.

Itu Hua Cheng.

“Gege, lagi ngapain?”

“Hai, San Lang. Baru selesai belajar nih. Mau tidur bentar lagi.”

“Yaah.. Padahal mau ngobrol sama Gege :((”

Ah, San Lang lucu banget. ; Ucap Xie Lian dalam hatinya.

“Iya, maaf ya. Besok lagi waktu di sekolah kita ngobrol. Kita istirahat ke kantin bareng, gimana?”

“Mmh, yauda gapapa. See you tomorrow, Gege ♥️”

Emoji hati itu semakin membuat Xie Lian tersenyum dan tersipu malu.

Ia menenggelamkan wajahnya pada bantal tidur empuk putih yang di genggamnya.

“Good night, San Lang 🥰”

Xie Lian tidak sadar bahwa dia juga membalas dengan emoji yang sangat lucu. Balasan itu ternyata juga membuat Hua Cheng tersipu senang. Membuatnya tidak bisa berkata-kata selain dia berbicara, “Anjrit anjrit anjrit!! Gegeee!! Arrgh gemes!! Suka banget sama dia! Arggh!!! Mau jadian!!”

Tapi tentu saja. Ungkapan itu tidak dia katakan pada Xie Lian. Itu sedikit memalukan, pikirnya.

Balasan terakhir Xie Lian sukses membuat Hua Cheng gila. Dia tidak sanggup lagi berfikir dan berkata-kata.

Saat ini, pikirannya hanya ingin berkata, “Selamat malam, Gege.” Tetapi, kalimat lain malah muncul dibenaknya.

Kalimat itu adalah;

“Gege, di langit ada banyak bintang tapi hanya ada satu bulan. Well, Tuhan ngga bakalan marah kalau aku ambil satu bintang buat nemenin Gege bobo. Good night, Gege! ♥️”

Xie Lian membacanya. Dia pun sama saja. Sama-sama tidak bisa berkata apa-apa. Hanya tersenyum sampai rahangnya mulai terasa pegal.

San Lang-nya itu benar-benar gombal dan nakal. Tapi, dia suka.

“Hehehe, San Lang bisa aja 😅 Tapi, makasih ya. Gn!”

Ah sungguh, jika He Xuan melihat ini dia pasti akan mengatakan dengan lantang di telinga Hua Cheng; “BUCIN TOLOL!!” atau mungkin juga; “Cih, najis!”

Yah, mungkin akan seperti itu reaksi He Xuan.


A PROMP-NIGHT.

“Duh anjir, nih gimana ya!!!”

Hua Cheng masih saja berjalan mondar mandir di depan He Xuan.

“Apaan sih lo? Berhenti kek, bikin gue pusing aja liat lo mondar mandir kek spg.”

“Diem lo.”

“Lagian kenapa dari tadi gelisah banget??”

“Nih masalahnya, ini pertama kalinya gua naik panggung. Demi Gege nih. Gua gak mau Gege terpesona sama Qirong makanya gua harus ikutan perform juga.”

“ANJRIT???? LO???? SUMPAH CHENG LO—??!”

He Xuan kaget. Dia sama sekali tidak tahu dan tidak menyangka bahwa Hua Cheng akan berkontribusi dalam acara malam ini.

“Apa?”

“Kaget jir! Lo gak ngasih tau gue lo bakalan ikutan kya gini.”

“Ck ah! Itu gak penting. Lagian ngapain juga gua ngasih tau lu.”

He Xuan tidak bisa berkata-kata lagi. Mungkin di pikirannya saat ini hanya begini; ”???????”

“Pantes aja lo sibuk mondar-mandir dari tadi.”

“Xuan, menurut lo gua cakep gak?”

“Hah?? HA HA HA HA b aja sih.”

Jawaban itu sangat memukau untuk Hua Cheng. Saking memukaunya, dia sampai melempari He Xuan dengan benda apapun yang ada di dekatnya.


THE NIGHT.

Acara itu begitu meriah. Semua murid dan guru terlihat hadir disana. Sorak sorai gembira serta warna-warni cahaya lampu diatas panggung terlihat begitu mewah dan megah.

Qirong baru saja turun dari panggung. Ia tampak berjalan menuju arah Xie Lian. Ketika Qirong hendak menyapa Xie Lian, tiba-tiba saja lampu panggung bersinar kembali. Menampakkan sosok lelaki tinggi besar dengan uraian rambut hitam legamnya yang semakin membuatnya terlihat mempesona. Semua murid dan guru seperti tersihir akan sosok tampan itu.

Oh, apakah XianLe School punya siswa seperti dia? Tentu saja, punya. Dia adalah; Hua Cheng.

Semua orang termasuk Xie Lian sangat terkesima akan kehadirannya di panggung itu. Dia adalah penampilan terakhir untuk acara malam ini dan semua orang terlihat sangat tidak sabar akan apa yang akan dia lakukan.

Hua Cheng berdiri di panggung itu. Memakai setelan merah-hitam warna favoritnya. Tubuhnya tinggi dan teramat sangat tampan. Kulitnya putih mulus seperti seolah-olah dia tidak hidup. Hua Cheng menggenakan sepatu boot hitamnya. Memakai dua accecories piercing di telinga kirinya. Sepuluh jari kuku-nya berwarna hitam yang dengan sengaja dia warnai hanya untuk acara malam ini. Dan yang lebih memukai lagi adalah; Hua Cheng juga menutupi wajah tampannya dengan sebuah topeng bercorak black-gold di sisi wajahnya.

Kemudian, musik dan sebuah lagu terdengar menggema di seluruh aula sekolah.

Aku suka dia, tapi ku tak tahu untuk, bilang kepadanya jika aku suka jatuh cinta kepadanya.

Dia cinta yang pertama. Dia yang bisa membuat aku, merasa deg-degan, berdebar di dada, diam saat mengingatnya.

Bulan tolong katakan bintang bantu bisikkan, kepada dirinya kalau aku mau jadi kekasihnya.

Aku yakin diriku, nanti pasti membuatnya, suka kepadaku, cinta kepadaku dan kita akan jadian.

Bulan tolong katakan, bintang, bantu bisikkan, keepada dirinya kalau aku mau jadi kekasihnya.

Itu adalah sebuah lagu yang Hua Cheng nyanyikan malam itu. Semua orang terlihat bahagia dan sangat menikmati. Lagu itu sangat manis seperti seseorang yang sedang jatuh cinta sedang menyatakan perasaannya.

Dan apakah itu artinya Hua Cheng sedang mengatakan cintanya pada Xie Lian?

Yah, tentu saja.


Sebelum Hua Cheng turun dari panggung besar itu, dia berkata pada seluruh manusia yang ada disana.

“Lagu barusan itu, lagu khusus yang aku nyanyikan buat kamu. Buat seseorang yang selama ini aku suka. Dia manis dan indah. Aku mau jadi kekasihnya.”

Dia berhenti sejenak dan kemudian turun dari panggung, berjalan menuju arah dimana Xie Lian berdiri sekarang.

“Gege, Xie Lian Gege, Aku suka Gege. Ayo jadian, jadi pacarku. Mau?”

Xie Lian sungguh teramat sangat kaget dibuatnya. Lelaki di depannya ini benar-benar gila. Di depan lebih dari seratus orang yang hadir disana, dia bisa bernyanyi begitu merdu dan menyatakan perasaannya dengan sangat lantang?

Xie Lian masih saja diam. Dia diam bukan karena ingin menolak, tapi justru ia malah menangis.

“Gege, jangan nangis. Lebih baik peluk aku, hm?”

Mendengar itu, Xie Lian benar-benar malu.

Semua orang yang melihat pemandangan itu juga ikut bersorak sangat berisik. Berharap Xie Lian menerima Hua Cheng secepatnya untuk menjadi kekasihnya.

Setelah beberapa menit berkaca-kaca, akhirnya Xie Lian dengan lembut berkata;

“Aku mau! Aku mau jadian! Aku mau jadian sama San Lang!”

FIN.

SAVE ME.

tw // poison, preg!xian, kidnapping, heavy-angst, hurt!wwx, hurt-comfort, depression, happy ending.


author's note; this is my first entry of MadAuthor Event. The story based on my recent-on going AU. Please bear with me.


Saat mengetahui bahwa Wei Wuxian sedang mengandung anak Lan Wangji, Wen Qing sangat marah. Hatinya seperti terbakar oleh setiap kalimat yang baru saja ia dengar dari mulut Lan Wangji, tunangannya.

“Kamu tau kan Wei Ying suami aku. Dia ada sebelum kamu. Dan sekarang dia hamil. Gimana aku gak seneng? Kita harus pulang. Aku akan kelarin semua urusan aku di Paris.”

Kalimat itulah yang kini perlahan menggerogoti hatinya.

Siapa Wei Wuxian yang berani mengambil miliknya?

Siapa Wei Wuxian yang berani mengandung seorang anak yang akan membuat Lan Wangji-nya berpaling darinya?

Wen Qing mulai benci. Dia harus melakukan sesuatu sebelum Lan Wangji mulai mengabaikan dia lagi.


Lan Wangji pernah mengabaikan Wen Qing beberapa kali. Dan alasan dia melakukan itu adalah suaminya; Wei Wuxian.

Saat itu Wei Wuxian terjatuh dari tangga. Dia terluka dan menelfon Lan Wangji untuk datang menolongnya. Bagaimana bisa seorang Lan Wangji mengabaikan itu?! Dia tidak akan mungkin melakukannya. Dia bergegas pulang meninggalkan Wen Qing saat itu juga.

Hal lain terjadi lagi.

Saat Wen Qing sedang menikmati liburannya ke Itali bersama Lan Wangji, Wei Wuxian mengabari bahwa dirinya sedang terkena flu. Ya, hanya flu. Hal seperti itu pun sanggup membuat Lan Wangji seketika membeli tiket untuk pulang dan mengabaikan Wen Qing yang saat itu sedang sendu-sendunya ingin memadu kasih.

Terlihat jelas bahwa Lan Wangji tidak akan pernah bisa mengabaikan Wei Wuxian sekali pun ia sedang bersama wanita lain.


Kemarahan dan iri hati Wen Qing seperti sedang di dukung oleh semesta. Dia berencana untuk menemui Wei Wuxian dengan alasan memberikan ucapan selamat atas kehamilannya, dan akan memberikan dia sesuatu yang jelas dia pun tahu Wei Wuxian akan sangat menyukainya.

Ia bergegas pergi.

Dalam perjalanan menuju rumah Wei Wuxian, Wen Qing menghubungi seseorang.

“Oke. Aku mau mastiin dulu dia ngga lagi sama Lan Wangji. Aku lagi otw ke rumahnya.”

“Oke! Kabarin aja kalau uda beres.”

Wen Qing menutup ponselnya.


Bel rumah Wei Wuxian 2 kali telah berbunyi.

Buru-buru Wei Wuxian membukan pintu. Ia tahu itu bukan Lan Wangji, karena saat ini Lan Wangji sedang tidak berada dirumah bersamanya. Lan Wangji baru saja keluar mengurus pekerjaannya.

Jadi, siapa?

“Oh, Wen Qing?”

Wei Wuxian sedikit kaget tapi masih biasa saja.

“Hai?! Boleh masuk?”

“Oh boleh, masuk aja. Tapi Lan Zhan ngga ada di rumah. Dia baru aja pergi.”

“Iya, aku tau. Pak Wangji ada meeting sama client.”

Wen Qing sangat manipulative.

“Hm. Terus kenapa kamu kesini? Bukannya harusnya nemenin dia? Kamu sekertarisnya.”

“Engga. Aku kesini bentar aja kok.”

Mereka berbicara sambil berjalan menuju ruang tamu.

“Anyway, congrats and i'am happy for you, Wei Wuxian.”

“Selamat ya bakalan jadi daddy. Sehat terus buat bayi sama daddy-nya.”

Wei Wuxian hanya tersenyum. Dia sama sekali tidak mengerti akan arti sebenarnya dari kalimat itu.

“Thank you, Wen Qing.”

Wen Qing memberikan bingkisan kecil yang telah dia siapkan untuk Wei Wuxian.

“Nih. Aku beli cake kesukaan kamu. Tadinya mau beliin makanan kesukaan kamu yang pedes itu, tapi orang hamil gak boleh makan pedes, kan? So, ini aja.”

Wei Wuxian terkesima.

“Wow. What's this? Kayaknya beneran manis dan enak.”

“Coba gih.”

Wei Wuxian mencobanya. Hanya 3 sendok suap cake yang baru saja ia telan sudah membuatnya mual.

“Mmhh.. Kok, mual ya?”

“Mungkin karena bayi-nya? Atau mungkin cake-nya gak enak ya?”

Wen Qing sungguh sangat pandai berpura-pura.

Tak lama setelah itu, Wei Wuxian merasa mengantuk. Matanya berat dan kemudian tertidur di sofa, di depan Wen Qing.

Wen Qing memastikannya. Dia mencoba memanggil Wei Wuxian tapi tidak ada jawaban.

Wen Qing segera menghubungi seseorang itu.

“Well, uda sesuai rencana. Kamu bisa masuk.”

“Oke, aku masuk sekarang.”


Wei Wuxian merasa gerah. Ruangan itu begitu engap dan sepi. Ada banyak debu-debu terlihat jelas di sekitarnya. Rasa mualnya masih terasa. Kepalanya pun masih terasa berat. Tetapi ia paksakan dirinya untuk sadar.

“Dimana?”

“Sepi banget?”

“Asing.”

Dia mencoba mengingat kembali apa yang sebelumnya terjadi.

Dia ingat saat itu dia sedang berada di ruang tamu rumahnya bersama Wen Qing.

Dia ingat hal terakhir yang dia lakukan sebelum berada disini adalah memakan kue pemberian Wen Qing.

Lalu, semuanya menjadi gelap.

Dan sekarang dia berada di tempat sempit ini.

Sebuah gudang kecil yang engap dan sedikit gelap.

Tak lama setelah itu, keluar dua orang yang sangat dikenalnya.

“Uda bangun, ya?”

Itu Wen Qing.

Wei Wuxian teramat sangat tak menduga bahwa Wen Qing berada disana.

“Wen Qing?”

“HAHAHA! Yea, it's me. Wei Wuxian, kue yang tadi, enak ngga? Mau lagi?”

Wen Qing sedikit sarkas. Tawanya telah menjelaskan segalanya.

“Jadi.. Kamu sengaja? Buat apa semua ini?”

“Hmm.. Sebenernya aku ngga mau sih kaya gini. Nyulik seseorang kaya gini, apalagi orang itu kamu, jelas ngerepotin banget. Tapi ya, aku harus ngelakuin itu.”

“Iya tapi kenapa?”

“Kenapa? Hmm ..”

Wen Qing berkata sangat santai di depan Wei Wuxian.

“Gila! Wanita gila kamu, Wen Qing!”

“Terserah!!”

“Aku bisa lebih gila lagi kalau sampai Lan Wangji ninggalin aku demi kamu!!”

Wen Qing mencengkeram dagu Wei Wuxian.

“Selama aku hidup, Lan Wangji harus jadi milik aku! Bukan milik orang lain apalagi kamu. Cih!”

Di ujung pintu sana. Masih berdiri satu orang yang sepertinya sudah geram melihat tingkah laku Wen Qing.

“Wen Qing? Uda bisa di mulai ngga sih? Aku ngga sabar pengen nikmatin tubuh lelaki hamil. HAHAHAHA!!”

Itu, Wen Rouhan.

Wen Qing menghela napasnya dalam-dalam.

“Sure! Do it now! Lebih cepat lebih baik.”

Kemudian Wen Qing keluar dari gudang sempit itu.


Lan Wangji merasa sangat khawatir. Wei Wuxian sama sekali tidak menjawab panggilan telephone-nya. Semua spam chat-nya juga tidak mendapat jawaban dari Wei Wuxian.

Well, Lan Wangji memang selalu khawatir dengan Wei Wuxian. Tapi, kekhawatirannya saat ini jauh lebih besar karena Wei Wuxian sedang mengandung anaknya.

Mengingat bahwa usia kandungan Wei Wuxian masih sangat muda, dia tidak ingin hal-hal buruk terjadi pada Wei Wuxian. Dan meskipun Lan Wangji mempunya hubungan dengan Wen Qing, bagaimana pun juga Lan Wangji akan tetap memilih Wei Wuxian.

Lan Wangji sesegara mungkin kembali pulang. Ia ingin memastikan bahwa cintanya baik-baik saja.


Sesampainya Lan Wangji di rumah, dia sama sekali tidak melihat suaminya.

Dia telah memanggil dan mencari di semua ruangan, tetap saja kesayangannya itu tidak ia temukan.


Ponselnya berbunyi. Memperlihatkan contact name itu dan ternyata yang menghubunginya adalah Lan Wangji.

Wen Qing sedikit gemetar. Tangannya dingin. Ia bingung bagaimana harus menjawab panggilan itu.

Ia mencoba tenang. Menghela napas panjang lalu berbicara.

“Iya, sayang?”

“Kamu dimana?”

“Aku? Mm .. Aku di .. Di luar. Kenapa?”

Lan Wangji masih biasa saja.

“Aku dirumah, tapi Wei Ying ngga ada.”

“Oh?? Mmm .. Mungkin dia mandi? Atau pergi keluar gitu?”

“Ngga mungkin. Dia pasti ngabarin aku. Dia lagi hamil Wen Qing.”

“Ya ampun biasa aja dong, sayang. Tunggu aja entar juga dia nongol ih. Khawatir banget.”

“Jelas aku khawatir. Kalo bisa kamu cepet dateng kesini ya, bantu aku ca—”

Lan Wangji seketika diam. Dia seperti mendengar suara Wei Wuxian. Memang samar, tapi dia sangat yakin itu adalah suara lelakinya.

“Itu siapa?”

Wen Qing panik.

“Wen Qing jawab aku itu siapa?”

“Hah? Apasih? Aku lagi di luar, itu suara orang lah.”

“Jangan bohong! Itu kaya suara Wei Ying.”

“Hahaha no, bukan. Ya udah aku lagi mau pulang nih, uda dulu ya. Bye!”

Wen Qing benar-benar memutuskan panggilannya.

Jantungnya seperti tergelincir parah. Bergetar ketakutan akan dosa-dosanya.

Suara Lan Wangji yang baru saja menelponnya seperti menyadarkan dirinya bahwa kelakuannya sangat-sangat tidak normal dan salah.

Bagaimana mungkin dia bisa melakukan semua ini?

Dia membuat orang lain yang dia benci sangat menderita.

Bahkan, dia membiarkan sepupunya; Wen Rouhan menyetubuhi Wei Wuxian.

Bagaimana jika Lan Wangji tahu?

Bagaimana jika Wei Wuxian malah berakhir mati akan hal ini?

Pasalnya, tidak semua orang akan baik-baik saja ketika mereka telah diperkosa.

Apalagi, Wei Wuxian sedang mengandung.


Dia sudah terkulai lemah. Tubuhnya kini ringkih. Gemetar hebat masih saja ia rasakan. Tubuhnya, satu-satunya yang selalu ia jaga. Kesukaan Lan Wangji, kini telah ternoda.

Tidak hanya tubuh dinginnya yang sakit. Tapi juga hatinya.

Apa yang sudah ia perbuat sebenarnya? Dosa apa yang pernah ia lakukan sehingga dia mendapat hukuman sedahsyat ini.

Dia tak sanggup lagi berdiri. Jangan kan berdiri, berbicara saja dia tidak bisa.

Sentuhan-sentuhan kasar yang ia dapatkan dari Wen Rouhan membuat seluruh tubuhnya memar. Rasa sakit di pinggangnya, pangkal pahanya, dan juga lubangnya sangatlah nyata.

Mereka merusaknya. Mereka merusak milik Lan Wangjinya.

Wei Wuxian menangis. Dia tersipu dan tubuhnya melemah. Yang ada di pikirannya saat ini hanya; Tolong dan Lan Zhan.


Wen Qing kembali masuk ke dalam gudang engap itu.

Hatinya teramat sangat sakit melihat lelaki lemah yang sedang menangis di ujung sana.

Ia ikut terpukul melihat air mata Wei Wuxian meniti seperti meminta ampun pada siapapun yang berada disana. Tapi, sebaliknya, Wen Qing lah orang yang berada disana. Namun dia tidak menolongnya, malah dia membiarkan hal kotor itu terjadi dengan sengaja.

Wen Qing melihat tubuh Wei Wuxian yang masih telanjang. Dia seperti jalang. Tapi, siapa disini yang jalang sebenarnya??

Bukan.

Bukan Wei Wuxian yang seperti jalang tapi dirinya sendirilah yang melebihi jalang itu sendiri.


Apapun yang di rasakan oleh Lan Wangji tentang Wei Wuxian akan selalu benar.

Dia percaya bahwa suara yang baru di dengarnya saat dia berbicara dengan Wen Qing adalah suara suaminya.

Tapi kenapa merintih?

Kenapa suara itu seperti seseorang yang sedang terluka? Seperti seseorang yang merintih meminta pertolongan?

Dan lagi, Lan Wangji ingat bahwa Wei Wuxian saat ini tidak tahu dimana keberadaannya.

Hal itu membuatnya semakin percaya bahwa suara tadi adalah suara Wei Wuxian.

Lan Wangji bukanlah lelaki bodoh yang akan diam saja tanpa mencari tahu segalanya.

Segera, ia mencoba untuk melacak keberadaan Wen Qing menggunakan nomor ponselnya.

Dan tidak begitu lama. Dia tahu dimana sekarang Wen Qing berada.


“Kenapa? Kenapa kamu ngelakuin ini, Wen Qing?”

Rintih Wei Wuxian bertanya pada Wen Qing yang saat ini hanya sendu menatapnya.

Wen Qing tidak mampu menjawab itu.

“Wen Qing.”

Kali ini suara itu datang dari sepupu brengseknya.

“Ini pertama kalinya aku nge-rape orang hamil. Dan dia laki-laki. Hahaha, jadi gini ya rasanya.”

Wen Qing merasa muak. Sepupunya itu memang sedikit brengsek, dia tahu. Tapi sama saja dengan dirinya, Wen Qing pun jauh lebih brengsek karena dia sendirilah yang merencanakan semua ini.

“Awalnya gak yakin sih cowok bakalan seenak cewek. Tapi setelah masukin lubangnya, ternyata dia enak juga. Apalagi dia nangis-nangis tadi HAHAHA enak banget. Pantes Lan Wangji suka.”

Wei Wuxian rasanya ingin mati saat itu juga. Jika saja bisa, dia akan melakukannya.

Dia hanya takut Lan Wangji akan marah. Dia takut Lan Wangji akan sangat kecewa melihat dirinya seperti ini.

Dia tidak bisa menjaga dirinya. Dia tidak bisa menjaga bayi-nya.

Air matanya terus saja mengalir membasahi pipi lebamnya.

Sekali lagi ia coba untuk berdiri. Mengangkat tubuhnya perlahan tapi tetap saja, ia terduduk lagi.

Dia terisak.

“Sssakiittt.”

Wen Qing hendak menolong.

Baru satu langkah dia bergerak, tiba-tiba saja pintu gudang itu terbuka tertatap sangat keras.


“WEI YING!!!!”

Itu Lan Wangji.

Dia berlari kearah Wei Wuxian. Dia segera memeluknya, mendekap tubuh telanjangnya.

Lan Wangji sangat shock. Dia pun ikut menangis.

Suaranya sangat lembut memanggil Wei Wuxian.

“Wei Ying ..”

Wei Wuxian sangat terpukul. Ia menangis sekencang-kencangnya memanggil dan meremas erat tubuh Lan Wangji.

“Lan Zhan aku— Akk—akuu— Maafin aku.”

“Sssstttt .. Udah. Jangan ngomong lagi.”

Lan Wangji menoleh kearah Wen Qing. Sedangkan Wen Qing sudah tidak bisa lagi berkata-kata. Dia tetap diam di tempatnya.

“Maaf.”

Itulah yang di dengar oleh Lan Wangji.

Sedangkan Wen Rouhan, dia buru-buru keluar dari ruangan itu tanpa diketahui siapapun.

“Maaf, huh? MAAF???”

Lan Wangji berdiri. Berjalan mendekati Wen Qing. Menatap Wen Qing dengan penuh amarah murka.

“Plaaaaaaakkk!!”

Lan Wangji menamparnya.

“Plaaaaaaakk!!”

Sekali lagi menamparnya.

Lan Wangji teramat sangat kehilangan kendalinya.

Tangannya sudah berada pada leher Wen Qing dan hendak membunuhnya.

“Lan Zhan jangan! Tolong, jangan.”

Itu Wei Wuxian.

Kalimat itu membuat Lan Wangji sedikit melonggarkan genggamannya.

“Lan Er Gege, jangan sakitin Wen Qing. Dia perempuan.”

Hah? Perempuan macam apa dia?

Itulah yang ada di pikiran Lan Wangji saat ini.

“Lan Er Gege, peluk aku. Bawa aku pergi dari sini. Aku.. Akkuuh..”

Suaranya hilang. Kesadarannya melemah. Wei Wuxian jatuh pingsan di hadapan keduanya.


Rasa hangat menyelimuti tubuhnya. Aroma sandalwood Lan Wangji menguar di dekatnya. Perlahan-lahan Wei Wuxian membuka matanya.

Rasa sakit di seluruh tubuhnya masih saja bisa dia rasa. Sakit itu membuatnya ingat kembali akan peristiwa tragis yang bebarapa hari lalu ia alami.

Ia mulai takut dan menangis.

“Wei Ying..”

Suara lembut suaminya, Lan Wangji sedikit mengagetkannya.

Lan Wangji mencoba menyentuh pipi Wei Wuxian. Tapi seketika Wei Wuxian menepisnya.

“Jangan!! Jangan sentuh aku!”

Dia masih terisak menangis di hadapan Lan Wangji.

“Wei Ying, kenapa? Aku Lan Wangji. Aku rindu. Aku rindu Wei Ying.”

Lan Wangji dengan lembut mengatakan itu.

“Jangan sentuh aku. Lan Er Gege, akuu ..”

“Wei Ying..”

“Er gege, aku kotor! Maafin aku, aku ngga bisa jaga diri aku.”

“Sssstttt .. Bukan salah Wei Ying. Wei Ying masih kesayangan Lan Wangji. Wei Ying ngga pernah kotor. Wei Ying hebat. Wei Ying udah berjuang dan bertahan sampai sekarang.”

Kalimat dan pujian-pujian itu semakin mengiris hatinya.

Dia tiba-tiba ingat. Akan satu hal yang paling berharga di hidupnya.

“Bayi? Bayi kita?? Er gege ..??”

“Wei Ying, bayi kita aman. Meskipun dia sedikit lemah di perut Wei Ying saat ini, tapi aku yakin anak kita sama kuatnya seperti Wei Ying.”

Sungguh.

Lan Wangji adalah segalanya bagi Wei Wuxian. Segala pemikiran akan dirinya di tinggalkan oleh Lan Wangji tidak terjadi dan tidak akan pernah terjadi.

“Wei Ying, Aku cinta kamu. Selama-lamanya. Dalam keadaan apapun, ada atau ngga ada seorang anak, Lan Wangji ini akan selalu cinta sama Wei Ying.”

Lalu Lan Wangji mencium kening Wei Wuxian. Memeluknya dengan penuh kasih dan sayang.

“Gege, Wen Qing..??”

“Ngga usah di pikirin. Wen Qing sama sepupunya itu uda jauh pergi dari kehidupan kita.”

“Huh?”

Wei Wuxian tidak mengerti.

“Lan Er Geg—Mmmmpphh..”

Lan Wangi membungkamnya.

Untuk beberapa bulan kedepan, sepertinya mereka tidak akan melakukan apapun. Lan Wangji harus menahannya sampai anak mereka lahir.

FIN.

Desire.

tw // fluff, tears, nsfw, kiss, explicit mature content, bathroom sex.


Lan Wangji melumat bibir Wei Wuxian yang sedari tadi ia rasa terlalu banyak bicara.

Tangan kanan yang Wei Wuxian ingin gunakan untuk menamparnya, kini berada pada genggaman erat suaminya.

“Mmmhhh .. Ngghhh.. Lep— Ngggh .. Lepaaassh.”

Lan Wangji tidak mau melepaskan ciuman yang berangsur basah itu.

Tidak ingin berbohong pada hatinya. Ia pun sebenarnya juga merindukan Wei Wuxian kesayangannya.

Ia rindu untuk menyentuhnya. Rindu untuk memanjakkannya. Rindu untuk membelainya serta rindu akan semua perilaku manisnya.

Wei Wuxian merasa sesak.

Ciuman Lan Wangji terlalu manis dan tiba-tiba sehingga membuat dirinya tidak sanggup untuk menepisnya.

“Langhhh.. Lan Zh-nggh.. Lan Zhan!!!”

Akhirnya Wei Wuxian bisa bernapas dengan bebas. Ia berhasil melepaskan ciuman paksa itu.

Keduanya hanya saling menatap. Getaran hebat di dada mereka seperti bergemuruh ingin meronta. Mencabik segala rindu diantara mereka berdua.

“Kamu gila!!”

“Iya! Aku gila! Aku emang gila, Wei Ying.”

“Tch!”

Wei Wuxian hanya tak sanggup lagi berkata-kata. Jawaban Lan Wangji benar-benar memuakkan dirinya.

Ia seperti orang bodoh.

Tangannya dingin dan gemetar. Ia masuk ke kamar mandi untuk mencuci muka. Berharap dengan membasuh wajahnya dapat menjernihkan pikirannya.

Namun, tidak di sangka-sangka Lan Wangji juga ikut masuk ke dalam kamar mandi minimalis yang berada di ujung Flat milik Wei Wuxian.

“Ngapain?! Pergi sana! Gak usah macem-macem.”

“Wei Ying. Maafin aku, aku mohon?”

“Udahlah. Semuanya cukup sampai sini aja. Setelah semuanya selesai aku urus, kita bisa pergi masing-masing dan tolong jangan ganggu aku lagi.”

Wangji tahu bahwa semuanya akan segera berakhir. Tapi sungguh, dia sangat mencintai Wei Wuxian.

Bahkan Wen Qing, tidak bisa menggantikkan sosok Wei Wuxian sampai kapanpun juga.

Bisa melihat lagi suami manisnya membuat dirinya sadar betapa ia sangat mencintai Wei Wuxian dan menginginkannya kembali.

“Wei Ying, waktu itu aku sibuk sama kerjaan aku. Wen Qing disana buat nemenin dan bantuin aku. Setiap hari aku di kantor, aku ngga bisa pulang. Aku bahkan gak kepikiran kamu karena mungkin kerjaan aku terlalu banyak. Yang aku lihat setiap menit cuma Wen Qing. Aku ..”

“Itu bukan salah aku, Lan Zhan. Aku selalu support kamu, kan? Aku bahkan gak pernah sedikit pun ganggu kamu saat kamu kerja. Tapi kenapa malah aku yang kamu giniin?”

Wei Wuxian menangis di hadapan Lan Wangji saat ini.

Rasa ingin berteriak dan melemparinya apapun benda yang ada disana sangat besar. Tetapi sekali lagi, hatinya seperti melarang.


Lan Wangji mencoba mendekat.

Ingin sekali dia memeluk Wei Wuxian-nya. Menenangkan amarahnya tapi semua itu malah menjadi satu tarikan dari tangan kirinya.

Ia menarik pinggang Wei Wuxian untuk lebih mendekat padanya kemudian sekali lagi mengecup bibir Wei Wuxian dengan indah.

Kali ini, ciuman itu lebih lembut di bandingkan sebelumnya.

Sudah lama keduanya menginginkan sentuhan ini.

Hasrat dan rindu yang saat ini menaungi keduanya kian terasa.

Tautan demi tautan bibir keduanya semakin gila.

Erangan-erangan kecil Wei Wuxian begitu samar menggoda.

Wei Wuxian jelas tak menginginkan ini. Dia hanya ingin lari.


“Nngghh.. Lanhh.. LanZhanh.”

Entahlah.

Erangan itu malah membuat Lan Wangji semakin gila.

Ia terus melumat bibir merah Wei Wuxian. Kali ini, ia coba gigit.

Darah terasa pada kecapannya. Wei Wuxian merasakan bibirnya begitu manis sekaligus perih. Tapi justru rasa perih seperti ini yang ia rindukan dengan Lan Wangji.

Lan Wangji meraba setiap inci tubuh Wei Wuxian. Ia tahu bagian mana saja yang akan membuat suaminya menegang dan melemah pasrah.

Tangan Lan Wangji berhenti tepat pada bongkahan pantatnya. Meremas lembut dengan tangan kanannya. Sedang tangan kirinya masih belum beralih dari pinggang ramping Wei Wuxian.

Wei Wuxian seperti mulai lengah. Ia harus menolak setiap sentuhan lembut suaminya.

“Jangh—an.. Langhh.. Lan Erhhg.. Ge..ge ..”

Wangji tetap saja meremas pantatnya. Tanpa seinci-pun melepas ciumannya.

“Er gege .. Sssstoph!”

Wei Wuxian sedikit meronta. Mencoba melepaskan tubuhnya dari dekapan Lan Wangji.

“Jangaaanh.. Pleassse.. Jangaanh..”

Lan Wangji sudah tidak bisa lagi menahan segalanya. Ia harus segera mengeluarkan apa yang ada dalam pikirannya.

Ia buka paksa apapun yang Wei Wuxian kenakan.

Sedang Wei Wuxian hanya terus merintih dan memohon di hadapannya.


Kini tubuh Wei Wuxian telah di telanjanginya.

Membungkam bibir Wei Wuxian dengan ciuman panasnya. Memasukkan perlahan lidahnya dan bermain di dalam mulut hangatnya.

Wangji sangat tidak sabar sampai dia harus membalikkan tubuh Wei Wuxian menghadap cermin yang menempel pada dinding kamar mandi, menyatu dengan wastafel di depannya.

Oh sial!

Posisi ini adalah posisi sex favorite mereka, dulu.

Dan kini, mereka melakukannya lagi.

“Liat Wei Ying. Liat di kaca itu. Kamu cantik banget. Kamu seksi. Kesayangan Lan Wangji.”

Kalimat itu. Pujian-pujian itu seakan membakar suhu tubuhnya.

Membuat getaran pada dadanya kian bergemuruh panas tak sabar ingin disentuh.


“Lan Er Gege .. Jangan. Jangan kaya gini ak—Nghhh”

Lan Wangji benar-benar memasukkan batang merahnya ke lubang mungil Wei Wuxian.

Membuat Wei Wuxian sedikit tersentak dan nyeri.

“Lan Er Geg—Nngghhh.. Ssshhitt.. Sssttoop.”

Kalimat-kalimat itu Wei Wuxian ucapkan sembari tangannya mencoba meraih batang Lan Wangji untuk ia lepaskan. Namun sayang, Tangan kekar Lan Wangji menahannya.

Tidak mungkin Lan Wangji akan membiarkan klimaksnya tertunda.

“Aku cinta kamu, Wei Ying. Kembali sama aku, hm? Mau, ya?”

Permintaan itu ia bisikkan tepat di telinga kiri Wei Wuxian.

“Kasih aku kesempat— Oh shittt! Kamu enak banget, Wei Ying.”

Wei Wuxian benar-benar panas dibuatnya. Ia sudah tak lagi punya kekuatan untuk melawan. Satu-satunya hal yang bisa dia lakukan hanyalah; menikmati setiap sentuhan Lan Wangji.


Entah pikiran apa yang begitu saja datang secara tiba-tiba.

Pikiran dimana saat Wei Wuxian dimasuki oleh Lan Wangji, dia malah membayangkan Lan Wangji melakukannya dengan Wen Qing.

Sial! Dia seperti dibunuh oleh pikirannya sendiri.

Hatinya teriris lagi.

Matanya menangis lagi.

Ia menundukkan kepalanya. Mencoba menyembunyikan airmatanya dari Lan Wangji yang kini masih saja sibuk menghentakkan batangnya pada lubang panas miliknya.

Saat ini, apa yang ada dalam pikiran Wei Wuxian adalah;

Apakah seperti ini Lan Wangji melakukannya pada Wen Qing?

Apakah di kamar tidur atau kamar mandi?

Apakah Lan Wangji juga akan memuji Wen Qing seperti dia memujinya?

Apakah Lan Wangji juga melumati bibir wanita itu?

Entahlah.

Yang bisa dia lakukan saat ini hanyalah mendesah dan menangis.

Tbc.

Sebuah kesempatan.


Lan Wangji datang dengan membawa Mobil Luxury hitam miliknya.

Sesegera mungkin ia memarkirkan mobilnya dan pergi menuju lantai atas kamar Wei Wuxian.

Memasuki Flat bernuansa putih itu. Membunyikan bel dua kali sampai akhirnya sosok yang ingin sekali ia temui terlihat jelas di depannya.

Parasnya masih tetap cantik. Meskipun dia adalah lelaki, tapi keindahan serta ke-ayu'an Wei Wuxian tidaklah bisa pudar.

Hitam legam rambutnya sangat berkilau. Matanya begitu tulus. Tubuhnya begitu putih nan ramping yang jika di lihat mungkin akan seperti Malaikat tanpa sayap.

Lan Wangji merasa sedikit canggung dan gemetar. Detak jantungnya begitu terdengar di telinganya.

Tempat ini, Flat ini sangat nyaman.


Di depannya, adalah sosok suami yang selama ini sudah ia rindukan. Lan Wangji-nya, Lan Zhan-nya, Lan Er Gege-nya.

Ah sungguh, Wei Wuxian teramat sangat rindu padanya.

Balutan Tuxedo putih yang Lan Wangji pakai saat ini, dia masih ingat betul. Itu adalah Tuxedo pemberian Wei Wuxian saat mereka masih bersama.

Ruar-ruar wangi yang di hirupnya adalah aroma Sandalwood dari tubuh Lan Wangji. Aroma ini, aroma kesukaannya. Aroma ini, adalah candunya.

Apa yang ia lihat di hadapannya adalah, sesungguhnya adalah miliknya.


Keheningan itu pecah saat Lan Wangji berbicara.

“Wei Ying, boleh aku masuk?”

Wei Wuxian masih diam. Dia berfikir sebelum akhirnya menganggukkan kepalanya.

“Tempat yang bagus.”

“Jadi, apa yang mau kamu jelasin?”

Lan Wangji perlahan menghela napas. Bersiap untuk mengatakan yang sejujurnya.

“Maaf. Maafin aku, Wei Ying.”

“Itu aja?!”

“Aku salah. Aku uda berhubungan sama Wen Qing cukup lama dan aku..”

Wangji mencoba melanjutkan.

“Aku tunangan sama dia. Dan aku .. Aku tinggal sama dia. Disini. Tempat yang kamu datangi waktu kamu pertama kali dateng kesini, itu rumah aku yang aku beli buat Wen Qing. Maaf!”

GILA. Memang Lan Wangji gila.

Wei Wuxian hanya tahu tentang hubungan gelapnya dengan Wen Qing. Selebihnya, tentang tunangan dan rumah itu, dia benar-benar tidak tahu.

Dia merasa bodoh sekarang.


Rasa sakit yang belum hilang itu tiba-tiba terasa kembali. Bertambah dan terus bertambah saat ia mendengar segala penjelasan gila dari suaminya.

Tetapi Wei Wuxian mencoba menahannya. Air mata beningnya tidak akan dengan mudah jatuh di depan Lan Wangji.

Meskipun setiap penjelasan dari Lan Wangji membawa luka. Ia akan tetap tahan.


“Aku balik ke China bukan berarti aku bakalan diem aja. Aku akan urus semuanya. Perpisahan kita. So, kamu bisa bebas ngapain aja sama dia.

Wei Wuxian mencoba tegas meskipun kalimat itu seperti menggores lidahnya.

“Wei Ying. Kasih aku kesempatan, ya?”

Wei Wuxian semakin gila di buatnya.

“Hah? Kesempatan apa? Aku udah kasih kamu kesempatan kan? Aku kasih kamu kesempatan buat terus berhubungan sama dia, udah kan?”

Bukan. Bukan itu yang di inginkan Lan Wangji.

“Aku mau kesempatan itu kamu. Bukan Wen Qing.”

“Gila kamu. Lan Zhan, udah cukup.”


Lan Wangji benar-benar membuatnya gila. Sakit di hatinya semakin berantakan setelah mendengar keinginan suaminya.

“Aku ngga bisa! Aku uda cukup sakit sama semua ini. Kamu hianati aku. Kamu nyakitin hati aku. Kamu ngga tahu gimana rasanya jadi aku saat itu. Saat dimana—”

Wei Ying hendak menceritakan segalanya, tapi hati dan lidahnya seakan kaku dan mati rasa.

“Wei Ying. Boleh aku peluk kamu, hm?”

Wei Wuxian seketika mendongakkan wajahnya kearah Lan Wangji.

Bisa-bisa-nya manusia di depannya ini ingin memeluk tubuhnya di saat semua amarah ingin sekali dia luapkan?

Rasa ingin menampar pipi Lan Wangji ada begitu besar. Tetapi, sebelum tangan lembut Wei Wuxian menyentuh pipinya, Lan Wangji lebih dulu telah melumat bibirnya.

Tbc on Privatter.

Reasons.


Wei Wuxian lagi-lagi terisak. Terpukul akan kenyataan yang sedang ia hadapi saat ini.

Suaminya, Lan Wangji, kecintaannya telah mendua. Membiarkan dirinya berjuang sendiri tanpa dia disisinya.

Hari ini, hari dimana dia teramat sangat membutuhkan Lan Wangji, Wangji pun tidak hadir untuknya.

Hari ini, tepat saat dia datang ke Paris. Dia kehilangan bayinya. Rasa sakit macam apa yang Tuhan beri untuknya?

Rasa rindu dan cinta yang begitu besar dibalas dengan sebuah penghianatan dan kehilangan.

Rasa sakit dan luka itu telah menikam jantungnya. Semua hal-hal indah telah menjadi buram hingga tak bisa lagi dia rasa.

Dia mengingat kembali saat dirinya hendak berangkat ke Paris.

Delay pesawat membuat dirinya lelah. Kram di perutnya sudah mulai dia rasa saat itu.

Lalu, saat dia datang ke Paris, dia berjalan cukup lama dan jauh hanya untuk mencari sebuah Flat murah.

Belum lagi hatinya yang saat itu terluka. Membuat fokus pikirannya terbelah. Membuat kepalanya berdenyut ngilu saat itu.

Dan pada akhirnya, keletihannya itulah yang membuat bayi-nya pun lemah.

Dan terakhir adalah, di saat-saat terakhir Wei Wuxian mencoba mempertahankan kandungannya, tidak ada satupun manusia yang datang menolongnya.

Bahkan suaminya, Lan Wangji, malah tertidur pulas bersama kekasih gelapnya.

Sungguh. Dunia begitu kejam menghukumnya.

Sungguh. Semesta seperti perlahan menghancurkannya.

Ia tak lagi punyai rasa.

Dia benci.

Dia membenci segalanya.

Paris.

Negara ini bukan lagi negara Romantis.

Dia mulai membenci Paris. Dia mulai membenci Lan Wangji, dia mulai muak dengan hidupnya saat ini.

Dia ingin pulang.

Dia ingin pergi.

Dia ingin sendiri.

Dia .. Ingin ..

Tbc.

Setelah membaca pesan dari Lan Wangji, Wei Wuxian memutuskan untuk segera pergi dari tempat dimana ia sekarang menunggu.

Tidak mudah untuk dirinya berjalan seorang diri. Terlebih lagi dia sedang berada di tempat asing saat ini.

Dia hanya bisa mengandalkan G-Maps serta G-translator untuk dapat berkomunikasi dengan orang-orang Paris.

Dia beranjak.

Mendorong membawa kopernya yang sedikit berat. Mengelus melindungi bayi mungilnya yang saat ini berada dalam perut kecil miliknya.

Perlahan berjalan menyusuri kota. Mencoba berbicara dan menemukan tempat tinggal untuk dirinya.

Siang ini hujan.

Gerimis dan mendung seolah menyamarkan setiap tetes airmatanya. Namun, tidak dengan luka hatinya.

Ia bawa setiap rasa sakitnya dibawah rerintikan hujan yang kian membuat tubuhnya basah.

Tidak ada payung, tidak ada seseorang yang merangkul. Dia sendiri – ah tidak, dia bersama bayi kecil dalam perutnya. Berdua, hanya berdua.

Akhirnya, 3,5 jam setelah ia berputar-putar di kota ini, dia bisa menemukan Flat yang sedikit murah. Tidak begitu besar tempatnya dan terlihat begitu nyaman untuk dirinya.

Dia bisa dengan mudah melihat indahnya Paris dan Eiffel dari dalam Flat barunya. Melihat betapa indah dan romantisanya negara ini. Tetapi tidak dengan luka yang baru dia ingatnya.

gambar

Setelah membereskan segala hal yang dia bawa, Wei Wuxian mencoba merebahkan tubuhnya pada kasur empuk yang berada pada Flat barunya. Ia kembali mengingat segala kenangan manis dan berharga yang pernah dirinya dan Lan Wangji lakukan bersama.

Saat itu di Spanyol.

Tempat mereka menghabiskan waktu bersama. Bulan Madu itu, sentuhan itu, ciuman serta pelukan yang dulu dia dapatkan dengan mudah kini teramat sangat sulit untuknya. Bahkan membayangkannya saja, rasanya sakit.

Segala hal itu, selalu diberikan oleh Lan Wangji di setiap pagi dan malam. Tapi kini, semua seperti di angan-angan.

Kehadiran wanita lain seolah mencabik hatinya. Memusnahkan segala impian barunya.

Sudah 45 menit Wei Wuxian berbaring di tempat tidurnya. Rasa mual, lapar, dan lelah masih saja ia rasa.

Mencoba untuk keluar mencari sepotong roti yang selalu ingin dia coba saat dia bisa ke Paris. Namun sakit di perutnya kian membelenggu, membuat dirinya melenguh menahan rasa nyeri itu.

“Ngghhh.. Sakit..”

Ia membungkukkan badannya. Memegangi perutnya yang mulai terasa ngilu dan panas.

Mencoba mendial nomor kontak Lan Wangji. Hanya dia lah satu-satunya yang ‘mungkin’ akan menolongnya.

Panggilan itu berdering tapi tidak ada sekalipun suara seseorang yang ia sangat rindukan menjawab.

Sekali lagi mencoba menghubungi.

Tetap saja, tidak ada suara yang bisa ia dengar.

Dia berfikir, “Apakah Lan Zhan sibuk? Atau Lan Zhan tidak membawa ponselnya? Atau mungkin, dia sedang bersama wanita itu?”

Dia tersenyum tipis sembari menahan rasa ngilu di perutnya. Entahlah, untuk apa dia tersenyum, hanya dia dan pikirannya yang tahu. Orang lain? Orang lain hanya bisa menerka-nerka itu.

Rasa sakit di perutnya sudah tidak bisa lagi Wei Wuxian tahan. Ketika dia hendak melangkah keluar, darah sudah berada di atas lantai. Tepat di ujung-ujung jemari kakinya.

I know what I saw.


Rasa sakit di hatinya semakin nyata. Tangannya yang beberapa jam lalu berhenti gemetar kini kembali lagi membawa setiap kepalan pada buku-buku jarinya. Hatinya teriris pilu melihat kedua insan di depan matanya terbaring bersama.

Suaminya, Lan Wangji.

Satu-satunya manusia yang paling dia percaya. Satu-satunya manusia yang sudah ia anggap seperti Surga, telah menghianatinya.

Segala kenyataan ini telah terlihat jelas di depan matanya. Dan kedatangannya ke negara ini pun tidaklah sia-sia.

Hanya saja, expetasi akan dirinya datang dan di sambut oleh sang suami benar-benar tidak terjadi. Rasa lelah dan cintanya yang ia bawa kemari seperti terbakar oleh panasnya rasa cemburu.

Apa yang telah Wei Wuxian lakukan sehingga Lan Wangji-nya tega mengkhianati dirinya?

Apa yang kurang pada dirinya sehingga Lan Wangji-nya berbaring memeluk tubuh orang lain ketimbang tubuhnya?

Apa yang belum pernah dia lakukan sehingga Lan Wangji-nya mendapatkan semua hal itu dari orang lain yang dikenalnya?

Dan apa, apakah Lan Wangji-nya bosan dengan dirinya? Apakah Lan Wangji-nya bosan dengan seorang pria?

Entah. Entahlah.

Semua terjadi begitu nyata dan seketika memberikannya luka. Terlalu dalam sehingga itu membuat kepalanya sedikit berdenyut ngilu. Membuatnya merasa mual.

“Hueek.. Mmhh..”

Suara itu spontan. Membuat kedua insan yang tadinya terbaring hangat di ranjang besar itu terbangun dan melihat sosok Wei Wuxian berdiri di hadapannya.

Masih memegang gagang Koper besar miliknya. Dan kini mencoba keluar dari pandangan mereka.

“WEI YING?!!!”

Teriak Lan Wangji begitu spontan. Membawa kesadarannya pada Wen Qing yang kini tengah terduduk di sebelahnya.

“Hashhhh!! Sial!”

Dia berdiri. Mencoba mengejar Wei Wuxian keseluruh arah ruangan.

“WEI YING?”

Dia terus mencari pada setiap tempat. Pada setiap sudut ruangan. Tapi sosok lelaki mungilnya tetap saja tak ia temukan.

Dia yakin.

Lan Wangji yakin bahwa saat ini Wei Wuxian telah meninggalkan rumah megah miliknya.

Ia mencoba kembali ke kamarnya. Mengambil ponsel miliknya dan mencoba men-dial kontak suaminya.

Nomor itu tersambung. Namun sosok di luar sana, yang kini sedang menangisi segala rasa kecewa enggan berbicara dengannya.


“Sayang, kamu mau kemana?”

Tanya Wen Qing sedikit khawatir melihat Lan Wangji yang saat ini sedang terburu-buru di depannya. Bahkan setiap pertanyaan darinya, tak ia dapatkan jawabannya.

“Lan Wangji! Aku tanya, kamu mau kemana?”

“Wei Ying!! Aku mau cari dia.”

“Apasih? Suami kamu palingan juga keluar bentar. Entar dia juga balik kesini lagi. Lagian dia kan gak ngerti jalanan Paris! Udahlah gak usah di peduliin.”

Kalimat itu tidak mendapat jawaban dari Lan Wangji. Dengan terburu-buru, Lan Wangji kini keluar dari rumahnya. Meninggalkan Wen Qing disana tanpa sebuah kata.

Next chapter ..

Rasa dan Percaya.


Saat itu, Wei Wuxian tak lagi mampu menahan airmatanya. Getaran di dadanya terus saja menggebu seakan dirinya telah melakukan sesuatu yang dia sendiripun tak tahu.

Di sebuah tempat duduk sofa di dalam Waiting Room Airport itu ia terus saja mengingat-ingat suara yang baru saja di dengarnya. Suara itu ia yakini betul adalah suara Wen Qing. Sekertaris Lan Wangji yang selama setahun ini bekerja disana.

Wei Wuxian mengingatnya. Karena dia pernah beberapa kali bertemu dan berbicara dengannya.

Sosok yang cantik dan mempesona. Wanita yang sempurna yang bahkan tidak mungkin ada satupun pria yang akan menolak dirinya.


Wei Wuxian merasa sesak. Dadanya terasa nyeri. Mencoba mengalihkan pikirannya pada hal-hal bahagia yang selalu Wangji berikan padanya. Mencoba sebisa mungkin menjernihkan pikirannya.

Menggenggam erat buku-buku jarinya. Mengelus dadanya. Mengusap pelan perut kecilnya.

“Sayang, papi kamu namanya Lan Wangji. Dia pria yang baik. Dia segalanya buat kita. Kita harus percaya sama dia, ya? Semoga yang barusan itu tadi, itu salah. Itu cuma salah dengar. Papi kamu pasti ngga akan ngelakuin hal-hal kaya gitu. Kita harus tetep positive, Okay baby?”

Kesabaran hatinya dan rasa cintanya yang besar terhadap Lan Wangji seperti tidak mengizinkannya untuk percaya. Meskipun firasatnya tentang Lan Wangji selalu saja bener, tapi kali ini Wei Wuxian seperti ingin memberi kesempatan.

Kesempatan untuk dirinya sendiri membuktikan bahwa apa yang saat ini sedang bertaut di pikirannya adalah salah.


Penerbangan itu kini telah dibuka. Semua awak kabin sudah siap untuk segera Take Off.

Wei Wuxian seperti maju-mundur ragu akan kepergiannya. Dia ragu, dia takut, dia masih gemetar. Tetapi, rasa rindu pada suaminya lebih besar dari segalanya.

Ia pun memutuskan untuk tetap pergi kesana dan ingin segera memeluk suaminya.

Next chapter ..